Sudah 30 menit aku tertegun di depan laptopku, aplikasi Microsoft Word
masih terbuka secara default, lengkap dengan layar putih dan fon calibri
ukuran 11. Kuakui, sudah berapa bulan aku tidak pernah menulis lagi, banyak
sekali faktor yang sebenarnya tidak menjadi alasan kemalasanku. Namun, kalau
bisa beralasan, maka mungkin bisa dibilang aku sedang nihil ide.
Dalam undang-undang menulisku, menulis merupakan suatu
kesakralan, dimana ide-ide yang kutumpahkan harus kokoh tanpa celah. Keyakinan
ini didasari rasa, bahwa segala gagasan harus disampaikan dengan kebijaksanaan
yang luhur. Akan tetapi, kepedeanku ini tampaknya tidak sesuai dengan ide dan
substansi yang kumiliki. Terdapat banyak sekali celah yang semoga hal ini bisa
menjadi momentum untuk maju di kemudian hari.
Kenihilan ide ini membuat apapun yang kutulis tidak
pernah selesai. Aku selalu merasa tulisanku sering kehilangan kekuatan dan rasa
di sepertiga akhir, substansi yang ingin kusampaikan selalu choe ujong
sehingga tidak cukup niat bagiku untuk membangun kembali argumentasi. Alih-alih
terus maju dan menyadari ketidaksempurnaan merupakan peranan yang memajukan,
aku malah urung dan menunda demi utopia yang belum pernah kupijaki itu, anyway,
it is what it is.
Berbeda dengan kali ini, aku mendapati bahwa sesuatu yang
sifatnya empiris lebih mampu kuceritakan ketimbang menganalisa isu-isu yang kulihat, kemudian berusaha menemukan celah solusi, hal ini juga disebabkan
kurangnya metodologi analisis. Maka kali ini, apa yang akan pembaca jumpai
merupakan seutas rasa dariku atas isu-isu sosial-agama yang terjadi.
Yang Kita Hadapi
Kebetulan aku sedang berada di bumi seuramoe mekkah,
sudah hampir dua bulan aku berseliwuran. Mungkin untuk menjelaskan, tentang apa
yang pertama kita hadapi, adalah masyarakat. Dengan segala keragaman ide dan
pemikiran, masyarakat yang kita hadapi sekarang sangat mobile dan aktif
pergerakannya. Artinya, apa yang menjadi permasalahan 3-5 tahun yang lalu telah
mengalami banyak perubahan. Kecepatan yang luar biasa ini yang membuat kita
menjadi kalang kabut.
Masyarakat selalu berada di tengah dua keberadaan, yaitu komitmen
terhadap budaya dan tradisi, kita mengenalinya sejak dulu dan sedang
terdegradasi. Tetapi di saat yang sama, tuntutan demokratisasi di tengah
masyarakat tidak dihiasi kesemangatan berpikir. Masyarakat mulai menjauhi
nilai-nilai agama atau bahkan agama itu sendiri dengan dalih tidak menemukan
jawaban darinya terhadap problematika realistis.
Realitas di samping itu, fitrah manusia membutuhkan agama.
Pada akhirnya, secara tidak sadar, masyarakat mencari “ideologi” lain yang tidak
mampu menjawab problematika di tengah terpaan materialisme. Hal ini lah yang
dikenal sebagai social gap (kesenjangan sosial). Dimana
ketidakseimbangan prinsip dan ideologi yang berwibawa di tengah masyarakat. Mereka
kehilangan pegangan sehingga akhirnya berujung pada kemerosotan moral, ekonomi, serta
keimanan.
Juga mengalami powerlessness, mereka yang punya
kemerdekaan sosial terus maju, sementara yang tidak memiliki kemandirian
ekonomi dan kemerdekaan sosial akan terus jatuh. Hak-hak dimonopoli oleh para
pemangku power tadi, kemudian masyarakat hanya kecipratan janji-janji
manis belaka.
Masyarakat kita juga mengalami meaninglessness
dalam menjalani agama, artinya kehilangan nilai dan konteks. Ini terjadi karena
perubahan sosial begitu cepat, kehilangan kemampuan untuk menangkap perubahan
karena berada dalam pusaran itu, dan sulit untuk keluar. Mereka kehilangan
harapan, menganggap bahwa manusia dihidupkan di dunia ini, dicampakkan kemudian
Tuhan pergi meninggalkan mereka. Yang tersisa dari keimanan akhirnya hanyalah
agama sebagai ritual-ritual yang dijalani dengan template tanpa peran
dan kontribusi atau output bagi sekitar. Bahkan agama jadi hambar bagi
kebanyakan orang dan tidak lagi bersemayam rasa.
Hal selanjutnya yang dialami yaitu normlesness
yaitu norma-norma kemasyarakatan yang sakral kehilangan wibawa dan karismanya.
Konsep-konsep kehidupan individualistis di perkotaan juga secara tidak sadar
terjadi, semuanya berdalih dalam bayang-bayang kebebasan dan liberasi. Pemuka
agama, atau yang paham agama tidak lagi memiliki kekuatan besar layaknya dulu,
hingga masyarakat alih-alih bebas dan merdeka, malah menjadi “liar”.
Persoalan yang akan kita hadapi kemudian adalah realita.
Kita bicara perubahan, revolusi, semangat keilmuan dan moral, di atas kondisi
perut yang lapar. Masyarakat tidak akan kenyang dengan ide, tidak juga dengan
ilmu. Oleh karena itu, sebelum transfer ilmu (aku tidak mengatakan “dakwah”
agar tidak mengekang istilah transfer ilmu tersebut), diperlukan sekali
kepedulian terhadap sosial ekonomi masyarakat.
Berbicara tentang pengalaman lagi, aku dan beberapa rekan
lembaga sosial menyusuri ke berbagai daerah-daerah dan gampong-gampong untuk
menyalurkan sedekah kitab. Titik fokus kami saat itu penyaluran kebutuhan
belajar kepada balee-balee beut kecil yang non-resmi, yang tidak
memiliki sumber ekonomi yang konsisten. Dari beberapa penuturan teungku-teungku
yang kami dapati, banyak sekali yang mengeluhkan kecilnya perhatian orang tua
terhadap pendidikan dasar agama, dan kurang melihat hal itu sebagai spend-worthy,
baik secara finansial maupun moral.
Pernah kami dapati beberapa teungku (baik laki-laki
maupun perempuan) harus mengajar iqra dengan kitab iqra yang
terbatas, sehingga harus dibagi jatah pemakaian kitab. Mereka menuturkan bahwa
mereka sudah pernah menghimbau para orang tua untuk membeli kitab-kitab itu,
kita tidak membicarakan kitab-kitab mahal, tapi kitab-kitab beut kecil
seperti iqra, masaila al-muhtadi, dan lain-lain. Namun demikian,
berbagai keterbatasan menjadi kenyataan yang menjegal idealisme.
Di tengah perubahasan sosial yang cepat, dalam transfer
ilmu kita malah terpaksa melambat, dan hadir menyelesaikan permasalahan.
Sebelum akhirnya kita bisa bertindak dari sisi intelektual. Peran itu akhirnya
harus diiisi, dan kita tidak punya pilihan selain gloeng aki berusaha semaksimal mungkin.
kemudian adalah tentang hilangnya rasa kepedulian tanpa
pamrih. Setiap tindakan selalu difinalisasi dengan istilah untung dan rugi.
Berujung kepada kebermanfaatan individual yang lebih superior dibandingkan
manfaat umum. Masing-masing peu aman lampoh droe.
Semangat-semangat kepedulian dan simpati selalu diakhiri
dengan politisasi, there is no free lunch. Cuma lagi-lagi masyarakat
tidak memiliki banyak pilihan selain tunduk terhadap peraturan tak tertulis
ini.
Mungkin, hal terakhir dari sesuatu yang kita hadapi
adalah sedikitnya relasi. Relasi dibutuhkan demi jalan transfer ilmu atau dakwah.
Pendidikan tinggi tidak menjamin uluran tangan yang instan dari masyarakat,
ijazah hanya tanda pernah sekolah, semua soal kontribusi. Terdengar klise, tapi
memang nyata, dengan kemampuan apa saja kita bisa berkontribusi di masyarakat,
asalkan memiliki relasi yang sehat. Kita sebagai orang-orang yang diajarkan
sifat peduli oleh al-Azhar harus membawa pulang sifat itu. Apapun yang kita
lakukan hendaknya tidak didahului intrik sosial, politik, apalagi intrik
ekonomi.
Baca juga; Abu Paloh Gadeng, Ulama Kharismatik Aceh Pemegang Sanad Keilmuan Syekh Yasin Al-Fadani
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Dalam isu-isu sosial kemasyarakatan, yang bisa kita
lakukan adalah menciptakan jembatan antar jarak-jarak ini. Dalam hal ini, di
bidang agama linear dengan spesialisasi kita. Kita harus memperkenalkan agama
sebagai suatu yang sakral, karena kewibawaan agama harus diangkat sebagaimana
firman Allah:
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا
الَّذِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْٓا اِÙ†ْ تَÙ†ْصُرُوا اللّٰÙ‡َ ÙŠَÙ†ْصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ
اَÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika
kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.
Tapi di saat yang sama, kesakralan itu tidak boleh
membuat jarak lagi antara agama dengan masyarakat. Artinya, seraya mengangkat
agama, kita hendaknya membawa masyarakat bersama terangkatnya agama. Sehingga
agama tidak menjadi sesuatu yang melangit, yang seakan tidak melihat realita.
Agama itu menjawab problematika, namun penyampaian kata agama ini sendiri dengan
sifatnya yang sakral dan berdasarkan metafisika, menjadikan solusi-solusi agama
menjadi bias. Solusi yang dianggap mitos dan tidak ilmiah.
Pembahasan agama menjadi begitu tersegmentasi karena
menganggapnya sebagai entitas terpisah dari diri manusia atau masyarakat secara
umum. Ia dijaga takarannya, beralasan bahwa mengkonsumsinya secara berlebihan
akan memabukkan, dianggap sebagai obat dalam konotasi negatifnya, bagai opium
yang mempersembahkan delusi sejenak.
Sebagaimana yang disampaikan Karl Marx, “Religion is the sigh of
the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness
conditions. It is the opium of the people” Kutipan terkenal ini memberitahu posisi Marx tentang
agama. Agama
hanyalah delusi dari mahluk tertindas, kemudian ia hanyalah opium. Agama
bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah yang dialami manusia itu sendiri.
Alih-alih memberikan petunjuk untuk memberi solusi ketika bertemu masalah, ia malah menjadi
opium atau penenang. Opium di sini artinya sebagai sebuah obat yang dapat
meringankan atau melupakan rasa sakit yang nyata. Penenang di sini bermaksud ilusi belaka, yang sama
sekali tidak menyelesaikan masalah sebenarnya yang ada di masyarakat.
Singkatnya agama merupakan sebuah fake/hoax.
Padahal pandangan seperti ini sangat egosentris, gagal
melihat agama sebagai way of life sebagaimana yang Islam ajarkan pada
kita. Mereka menganggap agama adalah zirah, tombak, serta tameng yang digunakan
ketika perang, yang padahal agama adalah baju yang digunakan sehari-hari,
makanan yang kita konsumsi, serta minuman yang menghilangkan dahaga. Agama
tidak didatangi ketika kita butuh solusi, agama adalah apa yang kita jalani,
yang rentetan perjalanan itu bermuara pada solusi. Agama bukan suatu hal yang
memecahkan kebuntuan, akan tetapi menggenggam rasa dalam agama itu yang membuat
kita bahkan tidak sampai pada hal tersebut. Demikian hematku melihat bagaimana
agama dipandang.
Selalu ada oknum dalam setiap kebenaran, masyarakat kebanyakan gagal paham, sehingga
mencukupkan diri melihat agama pada permukaan, dimana permukaan itu tidak
representatif. Bukanlah substansi agama, jika melihatnya dari kacamata permasalahan
yang dihadapi, yang sebenarnya telah menyediakan solusi yang tidak
diimplementasi. Keinginan mendalami agama itu sulit untuk muncul karena
doktrin-doktrin pemisahan agama dari ranah hidup yang digugah dalam corong
materialisme.
Peran kita sebagai yang mempelajari agama ini adalah menyampaikan
nilai-nilainya secara kontekstual pada setiap lapisan masyarakat. Sehingga,
setiap orang bisa memahami dan berkontribusi terhadap agama sesuai dengan
konteks yang dia miliki. Hingga tugas kebaikan tidak tersegmen kepada pihak
atau golongan yang kecil, dan bisa menjangkau skala yang lebih luas demi
menarik tuas-tuas perubahan.
Adapun dalam menghadapi masyarakat, kebijaksanaan kita
tampaknya memang diuji, dimana kita harus menghadapi mereka yang kehilangan
Kekuatan/kuasa, makna, dan norma. Sebagai pemuka agama, mau tidak mau kita
harus membantu menjembatani masyarakat dan pemangku kebijakan.
Dalam penerapan syariah islamiyyah misalnya,
selain menjelontorkan dana untuk penerapan syariat, pemerintah juga harus
berani untuk mengucurkan dana dalam mengelola kesadaran masyarakat kepada
syariat itu sendiri. Aku sendiri memandang bahwa kebijakan terkait hal ini
masih terlalu up to bottom (atas ke bawah) dan terlalu menuntut sehingga
menimbulkan kesenjangan dalam kesadaran menjalani syariat. Tidak selalu
mengenai pengetahuan tentang substansi agama, tapi tentang keberagamaan itu
sendiri yang perlu dididik dan dikelola dengan baik. Paksaan adalah cara, tapi
bukan cara satu-satunya.
Kita juga harus memanifestasi makna dalam menjalani agama
pada masyarakat. Bahwa simbol-simbol yang mereka jalani itu memiliki hikmah
yang pengetahuannya tentang hikmah itu akan menambah kesyahduan dan kekhusyukan
dalam menjalani agama. Keintiman yang didasari kekokohan iman, bahwa Dia adalah
zat Ma’bud Haqq yang membalas segala kebaikan walau sebiji dzarrah
yang dengan sendirinya akan memberikan output nyata dalam kontribusi
sosial, karena semua lillah atas nama-Nya yang Maha Agung. Kita pun
membutuhkan kesabaran dan progress serta target dalam mencapai tujuan
itu.
Adapun terkait norma keacehan, hal tersebut harus
didahului pengetahuan bahwa norma keacehan
adalah norma keislaman, tidak ada beda. Aceh adalah Islam dan Islam adalah Aceh.
Dan masyarakat Aceh harus menggali potensi itu, dan dengan norma-norma kita,
etika kita, Aceh dapat maju lebih jauh.
Tinggal bagaimana kita mereinkarnasi norma tersebut lebih
progresif, sistematis, dan aktif. Demikian membuat norma-norma itu dapat
didengar atau dapat dengan yakin dilaksanakan. Fakta bahwa Aceh sangat kental dengan
keislaman lantas tidak menjadikan kita masyarakat eksklusif yang apatis
terhadap isu-isu di sekitar, tapi menjadi masyarakat inklusif yang mampu
terbuka tanpa harus menanggalkan identitas keacehan atau keislaman kita.
Terkait masalah sosial ekonomi, mau tidak mau peran kita
sangat ditunggu di masyarakat. Hendaknya kita belajar dan bergabung dalam lembaga-lembaga
sosial yang teruji. Tidak perlu melihat jumlah kontribusi secara materil yang
besar, kuantitas tidak menjadi prioritas. Namun, bantuan sosial ini harus tepat
sasaran. Peran lembaga sosial sangat besar di sini, karena seringkali bantuan
sosial dari pemerintahan mengalami intrik politik yang membuat ketepatan
sasaran bantuan itu terganggu. Ini merupakan kerja berat yang harus dilakukan
bahu-membahu oleh berbagai lapisan.
Kontribusi atas dasar keikhlasan -dengan tanpa
melebih-lebihkan- sangat sedikit hari ini. Kalau tidak meminta upah materil di
depan, maka diminta di balik layar. Lagi aku katakan, bahwa attitude
seperti ini sangat diperlukan, karena secara birokrasi negara ini masih
berkembang, sehingga kebijakan pemerintah belum cukup, harus dibantu
tindakan-tindakan seperti yang aku contohkan di atas.
Terakhir, aku dapati ketika aku berada di Aceh, bahwa ide
adalah apa yang berputar di kepala kita, sementara realita adalah hal lain yang
bergulir di luarnya. Ide adalah sebuah anomali, dan dia menjadi normal ketika
ia berada di atas kaki kita, ketika ia mampu kita jalankan, aplikasikan,
implementasikan. Idealisme kita memang harus lunak dan memberi ruang pada
realita kemudian berjalan bersamaan. Karena masalah-masalah di atas butuh penyelesaian
jangka pendek dan jangka panjang. Penerapan filosofi dan pemikiran selalu harus
diimbangi dengan hasil yang baik.
Terakhir, percaya atau tidak, pemuka agama, orang paham agama, dalam hal ini, kita, sangat dinanti di masyarakat. Bukan di ruang kerja, bukan di AC kantor, bukan di hangatnya rumah, akan tetapi dalam rindangnya pepohonan di perkampungan atau dalam padatnya pemikiran di tengah kota. Keringanan ini didapatkan dengan berusaha menghilangkan sekat-sekat individualis dalam diri kita. Namanya perubahan selalu punya penarik tuas perubahan itu, sebelum tuas itu ditarik oleh orang-orang jahat, siapa yang bertanggung jawab atas tuas perubahan itu, siapa lagi, siapa, siapa? []
Editor: Setia Farah Dhiba

Tidak ada komentar: