Yang Kita Hadapi dan yang Bisa Kita Lakukan

oleh: Ali Akbar Alfata

(unsplash.com)



Sudah 30 menit aku tertegun di depan laptopku, aplikasi Microsoft Word masih terbuka secara default, lengkap dengan layar putih dan fon calibri ukuran 11. Kuakui, sudah berapa bulan aku tidak pernah menulis lagi, banyak sekali faktor yang sebenarnya tidak menjadi alasan kemalasanku. Namun, kalau bisa beralasan, maka mungkin bisa dibilang aku sedang nihil ide.

Dalam undang-undang menulisku, menulis merupakan suatu kesakralan, dimana ide-ide yang kutumpahkan harus kokoh tanpa celah. Keyakinan ini didasari rasa, bahwa segala gagasan harus disampaikan dengan kebijaksanaan yang luhur. Akan tetapi, kepedeanku ini tampaknya tidak sesuai dengan ide dan substansi yang kumiliki. Terdapat banyak sekali celah yang semoga hal ini bisa menjadi momentum untuk maju di kemudian hari.

Kenihilan ide ini membuat apapun yang kutulis tidak pernah selesai. Aku selalu merasa tulisanku sering kehilangan kekuatan dan rasa di sepertiga akhir, substansi yang ingin kusampaikan selalu choe ujong sehingga tidak cukup niat bagiku untuk membangun kembali argumentasi. Alih-alih terus maju dan menyadari ketidaksempurnaan merupakan peranan yang memajukan, aku malah urung dan menunda demi utopia yang belum pernah kupijaki itu, anyway, it is what it is.

Berbeda dengan kali ini, aku mendapati bahwa sesuatu yang sifatnya empiris lebih mampu kuceritakan ketimbang menganalisa isu-isu yang kulihat, kemudian berusaha menemukan celah solusi, hal ini juga disebabkan kurangnya metodologi analisis. Maka kali ini, apa yang akan pembaca jumpai merupakan seutas rasa dariku atas isu-isu sosial-agama yang terjadi.

Yang Kita Hadapi

Kebetulan aku sedang berada di bumi seuramoe mekkah, sudah hampir dua bulan aku berseliwuran. Mungkin untuk menjelaskan, tentang apa yang pertama kita hadapi, adalah masyarakat. Dengan segala keragaman ide dan pemikiran, masyarakat yang kita hadapi sekarang sangat mobile dan aktif pergerakannya. Artinya, apa yang menjadi permasalahan 3-5 tahun yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Kecepatan yang luar biasa ini yang membuat kita menjadi kalang kabut.

Masyarakat selalu berada di tengah dua keberadaan, yaitu komitmen terhadap budaya dan tradisi, kita mengenalinya sejak dulu dan sedang terdegradasi. Tetapi di saat yang sama, tuntutan demokratisasi di tengah masyarakat tidak dihiasi kesemangatan berpikir. Masyarakat mulai menjauhi nilai-nilai agama atau bahkan agama itu sendiri dengan dalih tidak menemukan jawaban darinya terhadap problematika realistis.

Realitas di samping itu, fitrah manusia membutuhkan agama. Pada akhirnya, secara tidak sadar, masyarakat mencari “ideologi” lain yang tidak mampu menjawab problematika di tengah terpaan materialisme. Hal ini lah yang dikenal sebagai social gap (kesenjangan sosial). Dimana ketidakseimbangan prinsip dan ideologi yang berwibawa di tengah masyarakat. Mereka kehilangan pegangan sehingga akhirnya berujung pada kemerosotan moral, ekonomi, serta keimanan.

Juga mengalami powerlessness, mereka yang punya kemerdekaan sosial terus maju, sementara yang tidak memiliki kemandirian ekonomi dan kemerdekaan sosial akan terus jatuh. Hak-hak dimonopoli oleh para pemangku power tadi, kemudian masyarakat hanya kecipratan janji-janji manis belaka.

Masyarakat kita juga mengalami meaninglessness dalam menjalani agama, artinya kehilangan nilai dan konteks. Ini terjadi karena perubahan sosial begitu cepat, kehilangan kemampuan untuk menangkap perubahan karena berada dalam pusaran itu, dan sulit untuk keluar. Mereka kehilangan harapan, menganggap bahwa manusia dihidupkan di dunia ini, dicampakkan kemudian Tuhan pergi meninggalkan mereka. Yang tersisa dari keimanan akhirnya hanyalah agama sebagai ritual-ritual yang dijalani dengan template tanpa peran dan kontribusi atau output bagi sekitar. Bahkan agama jadi hambar bagi kebanyakan orang dan tidak lagi bersemayam rasa.

Hal selanjutnya yang dialami yaitu normlesness yaitu norma-norma kemasyarakatan yang sakral kehilangan wibawa dan karismanya. Konsep-konsep kehidupan individualistis di perkotaan juga secara tidak sadar terjadi, semuanya berdalih dalam bayang-bayang kebebasan dan liberasi. Pemuka agama, atau yang paham agama tidak lagi memiliki kekuatan besar layaknya dulu, hingga masyarakat alih-alih bebas dan merdeka, malah menjadi “liar”.

Persoalan yang akan kita hadapi kemudian adalah realita. Kita bicara perubahan, revolusi, semangat keilmuan dan moral, di atas kondisi perut yang lapar. Masyarakat tidak akan kenyang dengan ide, tidak juga dengan ilmu. Oleh karena itu, sebelum transfer ilmu (aku tidak mengatakan “dakwah” agar tidak mengekang istilah transfer ilmu tersebut), diperlukan sekali kepedulian terhadap sosial ekonomi masyarakat.

Berbicara tentang pengalaman lagi, aku dan beberapa rekan lembaga sosial menyusuri ke berbagai daerah-daerah dan gampong-gampong untuk menyalurkan sedekah kitab. Titik fokus kami saat itu penyaluran kebutuhan belajar kepada balee-balee beut kecil yang non-resmi, yang tidak memiliki sumber ekonomi yang konsisten. Dari beberapa penuturan teungku-teungku yang kami dapati, banyak sekali yang mengeluhkan kecilnya perhatian orang tua terhadap pendidikan dasar agama, dan kurang melihat hal itu sebagai spend-worthy, baik secara finansial maupun moral.

Pernah kami dapati beberapa teungku (baik laki-laki maupun perempuan) harus mengajar iqra dengan kitab iqra yang terbatas, sehingga harus dibagi jatah pemakaian kitab. Mereka menuturkan bahwa mereka sudah pernah menghimbau para orang tua untuk membeli kitab-kitab itu, kita tidak membicarakan kitab-kitab mahal, tapi kitab-kitab beut kecil seperti iqra, masaila al-muhtadi, dan lain-lain. Namun demikian, berbagai keterbatasan menjadi kenyataan yang menjegal idealisme.

Di tengah perubahasan sosial yang cepat, dalam transfer ilmu kita malah terpaksa melambat, dan hadir menyelesaikan permasalahan. Sebelum akhirnya kita bisa bertindak dari sisi intelektual. Peran itu akhirnya harus diiisi, dan kita tidak punya pilihan selain gloeng  aki berusaha semaksimal mungkin.

kemudian adalah tentang hilangnya rasa kepedulian tanpa pamrih. Setiap tindakan selalu difinalisasi dengan istilah untung dan rugi. Berujung kepada kebermanfaatan individual yang lebih superior dibandingkan manfaat umum. Masing-masing peu aman lampoh droe.

Semangat-semangat kepedulian dan simpati selalu diakhiri dengan politisasi, there is no free lunch. Cuma lagi-lagi masyarakat tidak memiliki banyak pilihan selain tunduk terhadap peraturan tak tertulis ini.

Mungkin, hal terakhir dari sesuatu yang kita hadapi adalah sedikitnya relasi. Relasi dibutuhkan demi jalan transfer ilmu atau dakwah. Pendidikan tinggi tidak menjamin uluran tangan yang instan dari masyarakat, ijazah hanya tanda pernah sekolah, semua soal kontribusi. Terdengar klise, tapi memang nyata, dengan kemampuan apa saja kita bisa berkontribusi di masyarakat, asalkan memiliki relasi yang sehat. Kita sebagai orang-orang yang diajarkan sifat peduli oleh al-Azhar harus membawa pulang sifat itu. Apapun yang kita lakukan hendaknya tidak didahului intrik sosial, politik, apalagi intrik ekonomi.

Baca juga; Abu Paloh Gadeng, Ulama Kharismatik Aceh Pemegang Sanad Keilmuan Syekh Yasin Al-Fadani

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Dalam isu-isu sosial kemasyarakatan, yang bisa kita lakukan adalah menciptakan jembatan antar jarak-jarak ini. Dalam hal ini, di bidang agama linear dengan spesialisasi kita. Kita harus memperkenalkan agama sebagai suatu yang sakral, karena kewibawaan agama harus diangkat sebagaimana firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

 

Tapi di saat yang sama, kesakralan itu tidak boleh membuat jarak lagi antara agama dengan masyarakat. Artinya, seraya mengangkat agama, kita hendaknya membawa masyarakat bersama terangkatnya agama. Sehingga agama tidak menjadi sesuatu yang melangit, yang seakan tidak melihat realita. Agama itu menjawab problematika, namun penyampaian kata agama ini sendiri dengan sifatnya yang sakral dan berdasarkan metafisika, menjadikan solusi-solusi agama menjadi bias. Solusi yang dianggap mitos dan tidak ilmiah.

Pembahasan agama menjadi begitu tersegmentasi karena menganggapnya sebagai entitas terpisah dari diri manusia atau masyarakat secara umum. Ia dijaga takarannya, beralasan bahwa mengkonsumsinya secara berlebihan akan memabukkan, dianggap sebagai obat dalam konotasi negatifnya, bagai opium yang mempersembahkan delusi sejenak.

Sebagaimana yang disampaikan Karl Marx, “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness conditions. It is the opium of the people” Kutipan terkenal ini memberitahu posisi Marx tentang agama. Agama hanyalah delusi dari mahluk tertindas, kemudian ia hanyalah opium. Agama bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah yang dialami manusia itu sendiri. Alih-alih memberikan petunjuk untuk memberi solusi ketika bertemu masalah, ia malah menjadi opium atau penenang. Opium di sini artinya sebagai sebuah obat yang dapat meringankan atau melupakan rasa sakit yang nyata. Penenang di sini bermaksud ilusi belaka, yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah sebenarnya yang ada di masyarakat. Singkatnya agama merupakan sebuah fake/hoax.

Padahal pandangan seperti ini sangat egosentris, gagal melihat agama sebagai way of life sebagaimana yang Islam ajarkan pada kita. Mereka menganggap agama adalah zirah, tombak, serta tameng yang digunakan ketika perang, yang padahal agama adalah baju yang digunakan sehari-hari, makanan yang kita konsumsi, serta minuman yang menghilangkan dahaga. Agama tidak didatangi ketika kita butuh solusi, agama adalah apa yang kita jalani, yang rentetan perjalanan itu bermuara pada solusi. Agama bukan suatu hal yang memecahkan kebuntuan, akan tetapi menggenggam rasa dalam agama itu yang membuat kita bahkan tidak sampai pada hal tersebut. Demikian hematku melihat bagaimana agama dipandang.

Selalu ada oknum dalam setiap kebenaran,  masyarakat kebanyakan gagal paham, sehingga mencukupkan diri melihat agama pada permukaan, dimana permukaan itu tidak representatif. Bukanlah substansi agama, jika melihatnya dari kacamata permasalahan yang dihadapi, yang sebenarnya telah menyediakan solusi yang tidak diimplementasi. Keinginan mendalami agama itu sulit untuk muncul karena doktrin-doktrin pemisahan agama dari ranah hidup yang digugah dalam corong materialisme.

Peran kita sebagai yang mempelajari agama ini adalah menyampaikan nilai-nilainya secara kontekstual pada setiap lapisan masyarakat. Sehingga, setiap orang bisa memahami dan berkontribusi terhadap agama sesuai dengan konteks yang dia miliki. Hingga tugas kebaikan tidak tersegmen kepada pihak atau golongan yang kecil, dan bisa menjangkau skala yang lebih luas demi menarik tuas-tuas perubahan.

Adapun dalam menghadapi masyarakat, kebijaksanaan kita tampaknya memang diuji, dimana kita harus menghadapi mereka yang kehilangan Kekuatan/kuasa, makna, dan norma. Sebagai pemuka agama, mau tidak mau kita harus membantu menjembatani masyarakat dan pemangku kebijakan.

Dalam penerapan syariah islamiyyah misalnya, selain menjelontorkan dana untuk penerapan syariat, pemerintah juga harus berani untuk mengucurkan dana dalam mengelola kesadaran masyarakat kepada syariat itu sendiri. Aku sendiri memandang bahwa kebijakan terkait hal ini masih terlalu up to bottom (atas ke bawah) dan terlalu menuntut sehingga menimbulkan kesenjangan dalam kesadaran menjalani syariat. Tidak selalu mengenai pengetahuan tentang substansi agama, tapi tentang keberagamaan itu sendiri yang perlu dididik dan dikelola dengan baik. Paksaan adalah cara, tapi bukan cara satu-satunya.

Kita juga harus memanifestasi makna dalam menjalani agama pada masyarakat. Bahwa simbol-simbol yang mereka jalani itu memiliki hikmah yang pengetahuannya tentang hikmah itu akan menambah kesyahduan dan kekhusyukan dalam menjalani agama. Keintiman yang didasari kekokohan iman, bahwa Dia adalah zat Ma’bud Haqq yang membalas segala kebaikan walau sebiji dzarrah yang dengan sendirinya akan memberikan output nyata dalam kontribusi sosial, karena semua lillah atas nama-Nya yang Maha Agung. Kita pun membutuhkan kesabaran dan progress serta target dalam mencapai tujuan itu.

Adapun terkait norma keacehan, hal tersebut harus didahului pengetahuan  bahwa norma keacehan adalah norma keislaman, tidak ada beda. Aceh adalah Islam dan Islam adalah Aceh. Dan masyarakat Aceh harus menggali potensi itu, dan dengan norma-norma kita, etika kita, Aceh dapat maju lebih jauh.

Tinggal bagaimana kita mereinkarnasi norma tersebut lebih progresif, sistematis, dan aktif. Demikian membuat norma-norma itu dapat didengar atau dapat dengan yakin dilaksanakan. Fakta bahwa Aceh sangat kental dengan keislaman lantas tidak menjadikan kita masyarakat eksklusif yang apatis terhadap isu-isu di sekitar, tapi menjadi masyarakat inklusif yang mampu terbuka tanpa harus menanggalkan identitas keacehan atau keislaman kita.

Terkait masalah sosial ekonomi, mau tidak mau peran kita sangat ditunggu di masyarakat. Hendaknya kita belajar dan bergabung dalam lembaga-lembaga sosial yang teruji. Tidak perlu melihat jumlah kontribusi secara materil yang besar, kuantitas tidak menjadi prioritas. Namun, bantuan sosial ini harus tepat sasaran. Peran lembaga sosial sangat besar di sini, karena seringkali bantuan sosial dari pemerintahan mengalami intrik politik yang membuat ketepatan sasaran bantuan itu terganggu. Ini merupakan kerja berat yang harus dilakukan bahu-membahu oleh berbagai lapisan.

Kontribusi atas dasar keikhlasan -dengan tanpa melebih-lebihkan- sangat sedikit hari ini. Kalau tidak meminta upah materil di depan, maka diminta di balik layar. Lagi aku katakan, bahwa attitude seperti ini sangat diperlukan, karena secara birokrasi negara ini masih berkembang, sehingga kebijakan pemerintah belum cukup, harus dibantu tindakan-tindakan seperti yang aku contohkan di atas.

Terakhir, aku dapati ketika aku berada di Aceh, bahwa ide adalah apa yang berputar di kepala kita, sementara realita adalah hal lain yang bergulir di luarnya. Ide adalah sebuah anomali, dan dia menjadi normal ketika ia berada di atas kaki kita, ketika ia mampu kita jalankan, aplikasikan, implementasikan. Idealisme kita memang harus lunak dan memberi ruang pada realita kemudian berjalan bersamaan. Karena masalah-masalah di atas butuh penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang. Penerapan filosofi dan pemikiran selalu harus diimbangi dengan hasil yang baik.

Terakhir, percaya atau tidak, pemuka agama, orang paham agama, dalam hal ini, kita, sangat dinanti di masyarakat. Bukan di ruang kerja, bukan di AC kantor, bukan di hangatnya rumah, akan tetapi dalam rindangnya pepohonan di perkampungan atau dalam padatnya pemikiran di tengah kota. Keringanan ini didapatkan dengan berusaha menghilangkan sekat-sekat individualis dalam diri kita. Namanya perubahan selalu punya penarik tuas perubahan itu, sebelum tuas itu ditarik oleh orang-orang jahat, siapa yang bertanggung jawab atas tuas perubahan itu, siapa lagi, siapa, siapa? []

Editor: Setia Farah Dhiba

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top