Pesona Pulau Rubiah dan Sederet Narasi Spritual di Masa Lampau

Oleh : Muhammad Yusran*

(Sumber: Instagram, ujung.pulau)
Ketika nama pulau Rubiah disebutkan, maka yang terlintas di benak sebahagian orang adalah pulau kecil dengan keindahan alam bawah laut yang begitu mempesona. Saat ini ia menjelma menjadi destinasi wisata populer kebanggaan Aceh yang menawarkan sejuta pesona bagi para penyelam dan penikmat alam.

Memiliki hamparan laut berwarna biru dengan air yang jernih, garis pantai yang indah, ratusan spesies ikan-ikan lucu, bahkan kekayaan terumbu karang alami yang berbagai bentuk, menjadi suatu keunggulan tersendiri bagi pulau ini. Kita juga akan ditawari sensasi bercanda ria dengan ikan-ikan kecil tanpa ada dinding yang membatasi, membuat pengunjung seolah sedang berenang di akuarium raksasa. Maka tak salah jika pulau ini kerap kali disebut surga dunia, terkhusus bagi para pecinta diving dan snorkeling.

Secara geografis pulau ini masuk ke bagian dari kota Sabang, provinsi Aceh. Memiliki luas 2.600-an Hektar dan jarak tempuh sekitar 350 Meter dari bibir pantai Iboih. Adapun untuk akses menuju pulau tersebut, pengunjung bisa memilih berbagai pilihan jenis boat dengan variatif harga dan keseruan. Mulai dari boat kayu, speed boat, hingga boat kaca yang mana acapkali menjadi prioritas pengunjung yang tak ingin berenang dan menyelam namun tetap ingin menikmati alam bawah laut pulau Rubiah.

Bagi sebahagian orang, sayangnya pulau ini hanya dikenal dari sisi sebagai tempat wisata dan menikmati suasana alam. Padahal terlebih dari pada itu, siapa sangka ada nuansa lain yang jarang diketahui, yaitu nuansa islami dan situs sejarah.

Awal Mula Penamaan Pulau Rubiah

Sebagaimana yang diyakini oleh beberapa pihak masyarakat, kisah bermula dari sepasang suami istri yang hidup pada masa lampau, diperkirakan sesudah kepemimpinannya Sulthanah Ratu Syafiatuddin. Sang suami merupakan seorang Ulama asal Pidie, beliau bernama Tengku Ibrahim atau akrab dikenal dengan sebutan Tengku Iboih. Sedangkan sang istri bernama Ummi Sarah Rubiah, berasal dari Aceh Singkil. Adapun tujuan Tengku Iboih bermusafir ke Sabang yaitu untuk mencari ketenangan spiritual dan mengajarkan ilmu agama. Disusul beberapa waktu setelahnya oleh sang istri untuk menemani Tengku Iboih.

Kedatangan sang istri yang seharusnya menjadi suatu kebahagiaan bagi Tengku Iboih menjadi awal dari cek-cok antar keduanya. Hal ini disebabkan Ummi Rubiah datang tak hanya seorang diri, melainkan membawa keponakan dan seekor anjing peliharaan. Tengku Iboih meyakini bahwa memelihara anjing adalah suatu hal yang dilarang karena air liurnya merupakan najis, sehingga menentang pendapat Ummi Rubiah yang menganggap bahwa anjing tersebut hanya untuk mengusir binatang pengganggu, sekaligus berfungsi melindungi ternak, kebun dan rumah. Selisih paham antara keduanya pun terjadi.

Pada suatu waktu, Tengku Iboih dan Ummi Rubiah mengadakan musyawarah bersama masyarakat setempat, guna menyelesaikan masalah dan perselisihan yang terjadi. Siti Rubiah diminta untuk meninggalkan daerah Iboih dan tinggal di pulau terdekat beserta hewan-hewan ternak. Sedangkan rumah dan perkebunan menjadi hak Tengku Iboih. Hingga sampai saat ini, pulau tersebut dikenal dengan Sebutan Pulau Rubiah oleh masyarakat setempat, sedangkan nama Tengku Iboih Diabadikan sebagai salah satu nama gampong di kota Sabang.

Pulau Rubiah Sebagai Tempat Karantina Pertama Jamaah Haji Indonesia

Selain memiliki daya tarik keindahan bawah laut, pulau Rubiah juga menyimpan sebuah situs bersejarah istimewa. Yaitu tempat karantina pertama jemaah haji asal Indonesia yang hendak pergi dan kembali dari Tanah Suci. Bangunan kompleks yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920 ini mengumpulkan seluruh jemaah haji dari berbagai pelosok Indonesia.

Adapun alasan utama kolonial Belanda mengadakan karantina bagi jemaah haji yaitu disebabkan oleh dua dalih. Pertama, agar tidak membawa dan menularkan penyakit ke wilayah Indonesia. Kedua, mempermudah pendataan. Ketika mereka kembali ke masyarakat ditakutkan melakukan pergerakan untuk melawan kolonialisme. Beberapa saksi sejarah menyebutkan bahwa itulah alasan mengapa orang yang telah melaksanakan ibadah Haji disebut Pak Haji atau Bu Haji. Tujuanya agar orang-orang Belanda mudah mengidentifikasi dan mengawasi pergerakan mereka.

Pada sejarah lain juga menyebutkan bahwa istilah penyebutan Serambi Mekah untuk Aceh berawal dari sini, disebabkan orang-orang yang ingin berangkat ke Mekah terlebih dahulu menetap di Aceh. Sebelum melakukan perjalanan, jemaah diberikan sedikit gambaran tentang Arab Saudi dan ilmu seputar ibadah haji.

Salah satu tempat manasik dan pembekalan Haji berada di komplek mesjid tertua kota Sabang, yaitu Masjid Baiturrahim, dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Mesjid Kampung Haji. Terletak di Gampong Kuta Timu, Kecamatan Sukakarya. Setelah pembekalan selesai, mereka dibawa ke tempat karantina di Pulau Rubiah sebelum diberangkatkan.

Sumber : Google.com

Jamaah haji yang pergi ke tanah suci tak hanya menunaikan ibadah semata, mereka juga mengiringinya dengan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di sana. Bahkan ada yang menghabiskan waktu bertahun-tahun hingga diberikan kepercayaan untuk mengajar ketika pulang ke kampung halaman.

Ketika kembali pulang ke tanah air, para jamaah Haji tadi membuka balai-balai pengajian dan menyalurkan ilmu agama yang telah mereka pelajari. Tak sedikit pula di antara mereka ketika pulang tak lagi kembali ke kampung halamannya, melainkan menetap dan menikah dengan warga Aceh. Keseimbangan ilmu agama dan syariat antara Kota Mekah dan Aceh juga menjadi salah satu alasan julukan Serambi Mekah.

Namun, saat ini kondisi situs bersejarah tersebut sangat memprihatinkan, kurangnya perhatian dan penjagaan menjadikan nilai sejarah mahal yang terkandung di dalamnya menjadi lemah dan terkesan biasa saja. Kondisi bangunan mulai rapuh dan nyaris dinilai hanya sebatas gedung tua biasa tanpa penghuni.

Kita berharap tempat tersebut mendapat perhatian lebih dari banyak pihak dan mampu menjadi salah satu pusat edukasi bagi para pengunjung. Sehingga pesona wisata pulau Rubiah tak hanya menawarkan keindahan alam, tapi juga kekayaan sejarah dan bahan pembelajaran. Hal ini juga selaras dengan misi pariwisata dan akan menunjang keksistensian Aceh sebagai daerah wisata islami.

Makam Aulia 44

Sisi lain daya tarik pulau Rubiah adalah makam Ummi Sarah Rubiah. Terletak di dekat gapura, seringkali pengunjung bertanya mengapa tempat ini sangat disakralkan, bahkan ada beberapa masyarakat yang sampai menziarahinya ketika berwisata di Pulau Rubiah. Ternyata makam Siti Rubiah (Ummi Sarah Rubiah) merupakan salah satu dari 44 makam keramat aulia yang masyhur di kota Sabang.

Berbagai asumsi terkait bagaimana awal kedatangan hingga akhir hayat para ulama yang digolongkan oleh masyarakat sebagai Aulia 44. Sebahagian menyebutkan bahwa kisah bermula dari salah satu rombongan yang sedang berlayar hendak menunaikan ibadah ke tanah suci. Namun, kapal yang membawa mereka terkena hantaman gelombang air laut besar, sehingga kapal tersebut rusak dan harus segera berlabuh ke Pulau Weh. Namun, setelah mendengar kabar bahwa kapal tersebut tak bisa diperbaiki lagi, mereka bersepakat untuk menetap dan mengajarkan agama Islam di beberapa pelosok daerah sembari menunggu pembuatan kapal baru.

Sumber : Google.com
Setelah penantian yang cukup panjang, kapal yang mereka nantikan tak kunjung selesai, Sebahagian di antara mereka mencari jalur alternatif untuk pulang ke daerah asal masing-masing. Sedangkan sebahagian lain memutuskan untuk menetap dan terus mengajarkan ilmu agama di Sabang dan sekitarnya hingga akhir hayat.

Sejak belasan hingga puluhan tahun lalu, makam 44 keramat ini sempat terbengkalai. Akibatnya, letak keberadaan makam banyak yang tak teridentifiki lagi. Namun, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, para penggiat wisata mulai bekerjasama dengan masyarakat setempat, termasuk para petinggi agama dan ibu-ibu pengajian dalam mengembalikan dan memperkenalkan kembali situs tersebut. Alhasil, kini pengunjung yang ingin berziarah tak lagi kesusahan dalam mengakses tempat-tempat tersebut.

Kita berharap pulau Rubiah yang dikenal sebagai tempat wisata dan lokasi menikmati keindahan alam terus terjaga kelestariannya, begitu pula dengan situs sejarah yang ada. Sehingga bisa menjadi manfaat bagi orang banyak, juga sebagai ajang dakwah dalam menyebarkan dan memperkenalkan Islam. []


*Penulis merupakan mahasiswa tingkat tiga Ushuluddin, Universitas Azhar 

 Editor : Muhammad Farhan Sufyan

 

 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top