Mekarnya KDRT di Masyarakat

Oleh: Izzan Aghnin Ilmi*
(Sumber gambar: https://iqra.id/)

Pada zaman yang mengalami globalisasi dan digitalisasi ini, dunia telah memperlihatkan kepada kita berbagai kemajuan peradaban manusia dari segala bidang. Namun hal ini diimbangi juga dengan munculnya berbagai permasalahan yang kompleks. Salah satu dari masalah-masalah ini adalah perihal kekerasan dalam rumah tangga, atau yang disingkat KDRT. Tidak salah lagi, KDRT adalah masalah serius yang belakangan ini ramai terjadi dan menjadi bahan perbincangan khalayak umum, terutama masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, tidak sedikit organisasi atau lembaga masyarakat dan media massa ternama yang secara serius membahas isu KDRT. Apa sebenarnya KDRT dan dampaknya terhadap generasi bangsa?

Pada dasarnya, KDRT merupakan masalah yang ruang lingkupnya sangat sempit, yaitu keluarga dalam suatu rumah. Disebutkan dalam UU no.23 tahun 2004, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bila kita uraikan pengertian KDRT dalam undang-undang tersebut, kekerasan fisik berarti segala tindakan yang dapat melukai fisik seseorang, baik luka ringan maupun berat, atau bahkan berakibat kematian. Rasa sakitnya dirasakan langsung oleh korban. Lalu, kekerasan seksual berarti segala tindakan yang dianggap sebagai pelecehan seksual, seperti pemaksaan untuk berhubungan seksual, hubungan seksual yang disertai kekerasan dan tidak wajar, dan juga pengabaian kebutuhan seksual antara suami dan istri dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan kekerasan psikologis adalah segala tindakan yang menyebabkan terganggunya psikologi seseorang, seperti menakut-nakuti, menjatuhkan mental dan sejenisnya. Efeknya dapat menimbulkan trauma dan depresi berkepanjangan, hingga bunuh diri. Dan penelantaran rumah tangga, dapat dimaknai seperti tidak memberi nafkah, mengeksploitasi SDM anggota keluarga, dan pemaksaan untuk bekerja atau tidak bekerja. Dikhususkannya perempuan dalam teks undang-undang di atas menunjukkan bahwa kasus yang sering terjadi, menimpa perempuan.

Dari uraian di atas, dapat kita ringkas bahwa segala jenis tindakan yang melukai segala aspek kehidupan atau hak asasi suatu individu terutama perempuan, dalam kehidupan rumah tangga, dianggap sebagai bentuk KDRT. Berangkat dari sini pula, kita mengerti bahwa masalah ini sifatnya sangat privat dan tidak hanya terbatas pada permasalahan suami istri saja. Dan juga, dapat dipahami bahwa KDRT bukanlah masalah yang secara langsung memberikan efek negatif terhadap masyarakat sekitar. Lalu mengapa masalah ini begitu intens dibicarakan?

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan tahun 2020, tercatat bahwa kasus KDRT di Indonesia sebanyak 299.911 kasus. Angka tersebut berkurang 31% dari tahun 2019, yaitu 431.471 kasus. Namun pengaduan meningkat drastis ke angka 60%, dari 1.413 kasus pada tahun 2019 menjadi 2.389 di tahun 2020. Dari 8.243 kasus yang ditangani Komnas Perempuan, yang paling menonjol adalah KDRT pada ranah personal, atau disebut juga KDRT/RP (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) sebanyak 79% atau 6.480 kasus. Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama dengan persentase 50% atau sebanyak 3.221 kasus, kemudian dalam ranah pacaran, terdapat sebanyak 20% atau 1.309 kasus.

Angka-angka di atas bukanlah angka yang sedikit. Dan juga, itu bukan sekedar angka, melihat akibat yang ditimbulkan oleh KDRT sangat berbahaya. Banyak sekali faktor yang memiliki andil besar dalam meledaknya KDRT. Memang, apabila dilihat dari latar belakang pendidikan, masih banyak keluarga yang belum mendapatkan akses untuk sekedar bersekolah. Alasan jauh dari rumah, biaya mahal, prosedur pendafataran yang berbelit, sistem pengajaran yang tidak sesuai standar, tidak dapat lagi dielakkan dan disanggah. Tidak heran apabila pengajaran tentang cara berumah tangga yang baik atau bahkan sesuai tuntunan agama yang benar belum dipahami. Selain faktor pendidikan, para remaja yang belum benar-benar dewasa juga tidak sedikit yang memilih untuk menikah muda, dengan beralasan cinta dan menghindari perzinaan. Padahal menikah bukan hanya sekedar urusan cinta, namun ia adalah perihal yang sangat serius dan butuh kesiapan matang untuk membangun keluarga yang ideal. Sekarang pun banyak lembaga yang menyediakan sekolah pra nikah demi menjaga kelangsungan hidup antara suami, istri, anak-anak, bahkan hingga cucu dan cicitnya nanti. Faktor ekonomi juga merupakan inti permasalahan yang banyak melatarbelakangi suburnya masalah KDRT. Suami yang dituntut oleh istrinya untuk memberikan harta yang lebih banyak demi kepentingan anak-anaknya, masalah hutang piutang, keuangan yang tidak transparan antara kedua belah pihak, juga mertua yang saling berseteru masalah pembagian warisan. Tidak lupa juga kecurigaan akan terjadinya perselingkuhan yang kerap kali mengundang amarah dan emosi yang tidak tertahankan.

Kebanyakan kasus KDRT yang terjadi terbatas antara suami dan istri. Mengapa demikian? Bila dilihat dari sisi agama, budaya, dan adat istiadat yang ada di Indonesia, masyarakat kita cenderung menggunakan sistem patriarki, yaitu kaum pria sebagai pemegang kekuasaan di atas wanita. Ini menimbulkan para lelaki merasa memiliki wibawa dan kehormataan di antara para wanita. Sebenarnya, sistem yang demikian sah-sah saja digunakan oleh suatu entitas, organisasi, maupun negara. Namun yang sangat disayangkan, banyak orang yang salah persepsi terhadap konsep patriarki. Tidak ada agama maupun adat yang memerintahkan atau menghalalkan seorang suami untuk berlaku semena-mena terhadap istrinya. Adanya sistem patriarki, memang bermanfaat untuk menjaga wibawa, kehormatan, dan kepantasan antara lelaki dan perempuan. Namun, sistem ini justru juga menghendaki agar kaum pria lebih memperhatikan tanggungjawabnya terhadap apa yang saat itu dipimpin olehnya, terlebih istrinya. Poin inilah yang harus benar-benar dipahami oleh para lelaki sebagai suami dan pemimpin keluarga.

KDRT yang marak terjadi adalah permasalahan yang berputar di antara suami dan istri. Namun imbasnya sangat berbahaya untuk anak dari kedua pasangan yang sedang bertengkar itu. Apabila pertengkaran berlangsung saat istri sedang hamil, lalu sang suami memukulnya di area rahim, ada kemungkinan bahwa bayi akan terluka, dilahirkan prematur, perkembangan fisik dan mental yang lambat, dan bahkan bisa menyebabkan peradangan saat ia dewasa. Dilansir dari liputan6, para peneliti memperkirakan bahwa antara 4,5 juta dan 15 juta anak di dunia terpapar kekerasan fisik di rumah. Apabila KDRT antara pasutri terjadi saat anak berusia balita atau seumuran, maka anak yang melihatnya akan berpotensi mengalami kegelisahan dna kecemasan yang mendalam. Dia akan menjadi pribadi yang anti sosial, pemalu, terintimidasi karena di-bully teman-temannya di sekolah. Dampak yang lebih berbahaya, anak akan mengalami gangguan pasca trauma, atau yang biasa disebut PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Dia akan mengalami mimpi buruk, pola tidur yang tidak teratur, emosi dan amarah yang tidak terkontrol, dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Lebih parahnya lagi, penglihatan sang anak akan orangtuanya yang bertengkar akan tersimpan di dalam memori otaknya, dan suatu saat si anak akan mempraktekkan kembali apa yang telah diamati dari pertengkaran itu. Selain itu, anak juga akan mengalami depresi yang berkepanjangan. Apabila berada di situasi yang sama di luar rumah, seketika anak akan teringat dengan peristiwa KDRT itu. Ini bisa mengakibatkan dia sakit kepala, mual, hingga malas makan, stres, lalu berlanjut ke penyakit lainnya yang lebih parah, seperti maag, penyakit jantung, dan sebagainya. Jika sudah demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa si anak akan mencari jalan keluar agar tidak tersiksa dengan stresnya itu, seperti halnya mengkonsumsi narkoba, menyalurkan nafsunya melalui seks bebas, ikut tawuran antar pelajar, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung, KDRT dapat memundurkan kualitas generasi bangsa yang akan datang.

Tidak hanya itu, KDRT juga bisa berdampak pada hubungan antar keluarga kedua belah pihak dan masyarakat. Kebanyakan keluarga dari suami dan istri pasti membela salah satu dari mereka, yaitu yang memiliki hubungan darah. Kita tidak boleh naif bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih subjektif dalam melihat permasalahan, terkhusus KDRT ini. KDRT yang terjadi juga menjadi bahan gunjingan yang sangat digandrungi tetangga sekitar rumah. Masing-masing individu akan berasumsi sesuai dengan persangkaan mereka. Ini akan mencoreng nama baik pasutri yang sedang bertengkar, terlebih nama mertua, dan keluarga besar dari masing-masing pihak, apalagi kalau keluarga tersebut adalah keluarga yang ternama dan dihormati. Sang anak juga tidak akan terlepas dari olokan teman-temannya.

Apabila permasalahan yang menimbulkan KDRT sudah tidak dapat diselesaikan lagi, maka jalan terakhir dan terburuknya adalah perceraian. Meskipun yang akan menanggung rasa malu adalah keluarga besar dari suami dan istri, sang anaklah yang lebih dirugikan. Ia pasti akan mengalami stres berat. Dia akan bingung harus memilih tinggal bersama siapa. Masalah yang lebih serius lagi, dia akan kehilangan kasih sayang dari salah satu di antara keduanya. Sifatnya akan condong keibuan apabila dia memilih untuk ikut tinggal bersama ibunya dan sebaliknya. Dan ini tidaklah baik bagi masa depannya, karena ketidakseimbangan sikap dan sifatnya.

Melihat bahwa akibat yang ditimbulkan KDRT sangatlah besar dan berbahaya, maka perlu ada pencegahan agar tidak terjadi. Mempelajari agama adalah salah satu caranya. Meski berbeda keyakinan, namun semua agama mengajarkan kebaikan dan ketenangan dalam hidup. Ini juga berkaitan dengan konsep ketenangan dan penciptaan kedamaian dalam rumah tangga. Lalu, pendidikan pra nikah juga merupakan suatu hal yang sangat penting sebelum akad dilakukan. Mengapa? Selain karena kegiatan menikah adalah sesuatu yang besar, lelaki dan perempuan diciptakan dengan fitrah, emosi dan logika yang berbeda. Maka, harus terjadi kesepakatan ide, pedoman dan gagasan hidup di antara calon suami dan istri. Pendidikan moral, adab, tata krama, dan cara bersosial yang baik adalah materi yang harus diberikan oleh orangtua kepada anaknya sejak balita hingga dewasa. Ini akan menumbuhkan rasa kemanusiaan dalam diri sang anak. Dia akan menjadi orang yang berbudi, peka terhadap masalah dan perasaan orang lain, terlebih pasangan hidupnya nanti. Lalu yang tak kalah penting adalah penyuluhan atau sosialisasi tentang KDRT yang harus diselenggarakan di setiap daerah oleh pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat.

Namun, ketika KDRT sudah terlanjur terjadi, harus ada penanganan yang bijak dan tepat guna. Jalan yang pertama ditempuh adalah diskusi antara dua pihak yang berseteru, terlebih apabila masalah yang menjadi duri adalah masalah yang sepele, seperti masakan istri yang kurang enak, dan sejenisnya. Jalan kedua adalah mempertemukan antara suami, istri, mertua pelaku dan korban. Ini dilakukan demi berjalannya transparansi antar kedua belah pihak, hingga mereka menemukan titik temu atau titik terang yang terbaik. Apabila melalui jalan yang kedua ini masih belum bisa terselesaikan, maka terlebih dahulu melaporkan masalah ini ke perangkat negara yang terdekat, seperti kepala desa. Kalau masih belum terbuka jalan keluar, bisa melaporkan kepada pihak yang berwajib, seperti polsek, atau polres. Bila semua jalan sudah ditempuh, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka dengan terpaksa kasus KDRT ini harus dibawa ke pengadilan, hingga kedua pihak menerima dengan ikhlas segala keputusan hakim.   

Dari semua ini, bisa kita tarik suatu kesimpulan. Dalam berumah tangga, seharusnya keluarga adalah suatu lingkungan yang paling aman dan nyaman untuk bertingkah dan berdiskusi. Ini dikarenakan keluarga terdiri dari orang-orang yang terdekat, saling memiliki hubungan darah, dan terbentuk dari ikatan rasa cinta dan kasih sayang. Maka hal yang lazimnya terjadi dalam suatu keluarga adalah mencoba untuk saling memahami apabila terjadi permasalahan, atau pandangan yang saling bertolak belakang. Maraknya KDRT dikarenakan suami dan istri belum menentukan ke mana arah langkah keluarga mereka nantinya dari awal ijab kabul, sehingga apabila terjadi permasalahan sedikit saja dalam keluarga, pertengkaran mudah tersulut, dan mereka tidak mengingat untuk apa mereka menikah dan membangun keluarga. Konsep-konsep dasar inilah yang seharusnya dipelajari dan dipahami, baik oleh suami, istri, maupun mertua, sebelum mulai membangun kapal rumah tangga yang megah, agar nantinya tercapailah cita-cita sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

*Penulis merupakan anggota Keluarga Masyarakat Jawa Timur (GAMAJATIM) yang meraih juara 2 Lomba Menulis Opini se-masisir yang diselenggarakan oleh Departemen Publikasi KMA Mesir 2022. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top