Self Loving-nya Penyandang Apatis
Oleh: Siti Humaira*
(Sumber gambar: https://www.icytales.com/) |
Sampai hari ini, kesehatan mental menjadi pembahasan yang begitu marak di masyarakat. Pasalnya, banyak dari media informasi yang tak henti-henti menyebarkan topik ini dengan begitu pesat. Sejak dulu, khalayak umum senantiasa menghadapi tatanan kehidupan yang tidak terlepas dengan kesehatan mental, baik itu berbentuk positif seperti pembahasan self improvement, atau bahkan bercorak negatif. Di antara fenomena negatif yang menimpa masyarakat dalam hal psikologis adalah sikap apatis.
Jika ditinjau
lebih dalam, ternyata apatis tidak sekedar bermakna tak acuh, tidak peduli atau
masa bodoh, seperti yang tertera di dalam KBBI. Istilah ini telah digunakan
dengan makna yang lebih spesifik, bahkan dibahas khusus dalam dunia Psikologis
Klinis. Berangkat dari pelbagai kasus yang terjadi, pengidap apatis telah
memberi dampak buruk bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.
Luis Rey (seorang ahli psikis) mendefinisikan apatis sebagai kondisi kejiwaan
seseorang yang tidak tertarik, tidak peduli serta tidak peka terhadap kehidupan
sosial, emosional bahkan fisik.
Di antara
dampak negatif yang terjadi adalah; pengidap cenderung membatasi diri dari
orang-orang di sekitarnya dengan asas meremehkan dan tidak memedulikan. Kemudian,
pengidap juga kehilangan emosional, mati rasa, bahkan kehilangan empati
terhadap dirinya sendiri. Hal ini membuatnya kurang memelihara fisik, depresi, kehilangan semangat dalam beraktivitas dan
susah bersosial. Sehingga, apatis telah dianggap sebagai kumpulan gejala atau
syndrom gangguan mental.
Sebelumnya, kita perlu mengetahui penyebab seseorang bisa ditimpa problem ini. Beberapa fakta yang paling banyak muncul dalam penelitian, disebutkan bahwa seseorang menjadi apatis karena sebelumnya ia sering dikecewakan. Pengorbanannya yang tidak memberi feedback sesuai harapan, membuatnya menyesal bahkan berhenti memercayai siapapun kedepannya. Ia terluka secara mental dan berdampak kepada keseimbangan psikisnya. Selain itu, kekurangan fisik juga menjadi salah satu sebab seseorang terlanjur menjadi apatis. Karena sering diacuhkan, kurang dapat perhatian bahkan kasih sayang, ia menjadi tidak percaya diri dan terlalu mengharapkan penerimaan dari orang lain. Jelas-jelas ini bukanlah perkara yang benar.
Si Apatis Juga
Bisa Kok, Mencintai Dirinya Sendiri!
Sebagai makhluk
sosial, berinteraksi dengan orang di sekitar merupakan fakta yang tidak bisa
dihindari. Bahkan, sebelum lahir ke
dunia, kita sudah bergantung kepada individu lain. Sampai kematian pun, kita
tetap tidak terlepas dari bantuan orang lain. Keadaan ini telah menjadi naluri
otomatis yang tumbuh dalam diri manusia. Menutup diri dari fakta ini sama saja
dengan menyalahi ketentuan alam semesta yang telah diletakkan oleh Tuhan.
Hal ini seharusnya
menjadi peluang besar untuk siapapun yang pernah merasa gejala apatis atau
hampir terjerumus ke lubangnya. Memang tidak mudah untuk keluar dari lingkaran
hitam keputusasaan, apalagi tekanan karena doktrin dari orang-orang di
sekitarnya. Ditambah lagi dengan keyakinan bahwa ia sudah terlanjur menjadi
manusia yang paling tidak berguna, bahkan beban keluarga. Rasanya, mengakhiri
hidup adalah jalan satu-satunya. Tidak heran, pengidap apatis yang terlanjur
frustasi dan depresi butuh penanganan lanjut dan rehabilitasi pada pakarnya.
Sebelum hal itu
terjadi, setiap kita seharusnya sadar, bahwa semua hal di dunia ini hanyalah
sementara. Setiap jiwa bisa memilih hidup bagaimana yang akan ia jalani, selama
ia berani keluar dari lingkaran hitam itu. Ia bisa menumbuhkan self loving di dalam
diri dan menghargai banyak hal di sekitarnya. Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan
untuk mulai mencintai diri sendiri, di antaranya:
Pertama, berdamai dengan diri sendiri
Seseorang yang
berani berdamai dengan diri sendiri, cenderung lebih mudah menjalani aktivitas
sehari-hari. Dengan mengenal diri sendiri, ia mudah menentukan kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, kemudian mengakuinya dan memanfaatkannya dengan baik. Tidak menuntut banyak dan tidak
berlarut-larut dalam penyesalan tatkala mengalami pengalaman negatif. Karena
pada dasarnya, manusia tidak sempurna dan terbatas. Di antara penerimaan
seseorang terhadap pengalaman negatif, justru merupakan pengalaman positif terhadap
dirinya sendiri.
Kedua, mengubah pola pikir dan mengganti posisi kepedulian pada
tempatnya
Setiap
peristiwa itu sebenarnya netral, yang membuat buruk adalah persepsi seseorang. Beberapa
penolakan memang menjadi hal yang tidak
enak. Namun, perlu dipahami bahwa penolakan dari orang lain merupakan faktor
luar yang tidak dapat dikendalikan. Di samping itu, kita punya kendali penuh
dalam menafsirkan makna penolakan tersebut dan mencari cara untuk menerimanya. Seseorang
yang punya rasa percaya diri, tidak akan menaruh harapan atau menginginkan
balasan dari orang lain. Ia berbuat baik karena ia mencintai kebaikan. Berusaha
dan berjuang karena ketulusan dan kejujuran. Sehingga, penolakan bukan lagi hal
yang mengancamnya.
Sama halnya
dengan penerimaan fisik. Seseorang yang berhasil mencintai dirinya sendiri,
tidak bergantung lagi pada standar kecantikan yang sembarang diletakkan oleh
masyarakat. Pribadi yang memahami konsep perbedaan, keberagaman dan
karakteristik akan mudah menerima, bahwa setiap orang punya khas dan
keistimewaan sendiri, termasuk apa yang ia miliki. Karena hidup, bukan tentang dengan
apa kau dilahirkan, tapi bagaimana kau memanfaatkannya. Selagi diri terus
menjaga etika dan moral sosial, tidak mengganggu atau merugikan orang lain,
maka untuk apa memaksa diri mendapatkan validasi dari sekitar?
Ketiga, jangan pernah berhenti belajar!
Setiap manusia
memiliki potensi untuk menerima banyak informasi dan energi baru ke dalam diri.
Setiap kejadian yang menimpanya, akan memberi pelajaran-pelajaran baru yang nantinya
terekam otomatis di bawah alam bawah sadar seseorang. Yang membedakannya adalah
bagaimana seseorang menanggapi peristiwa tersebut. Memaknakannya dengan energi
positif atau daya negatif yang justru membunuh potensinya itu. Sebagai pribadi
yang percaya diri, kita bisa menjadi bijaksana dalam menanggapi banyak hal. Salah
satu caranya adalah dengan berdiskusi ringan bersama orang-orang terdekat, atau
individu yang kita anggap jauh lebih paham dalam masalah yang kita hadapi.
Sebelum menutup
diri karena kekecewaan, baiknya kita kembali mengaca atas pilihan yang telah
kita ambil. Memaknainya lebih luas dan berani menerima resiko. Kita punya
kendali penuh atas diri sendiri dan keputusan yang kita ambil. Berani
menentukan pilihan berarti harus siap menerima hasil apapun ke depannya. Yang
perlu diyakini bahwa manusia adalah makhluk yang terus berkembang. Kegagalan
bukan berarti mati atau berhenti. Pribadi yang bijak akan mengartikan kegagalan
sebagai senjata baru yang nantinya melibas rintangan di depan kemudian
menjadikannya jalan untuk mencari alternatif lain.
Setelah bicara
panjang mengenai pribadi apatis dan beberapa tips untuk berdamai dengan diri
sendiri, saatnya kita membahas bagaimana menjadi ‘peduli’ yang sebenarnya. Dalam
hidup, kita perlu mengetahui hal-hal yang bisa
dikendalikan dan apa yang di luar itu semua.
Termasuk hal di
luar kendali adalah; apa yang orang lain
rasakan, pemikiran atau ide mereka, keputusan yang mereka ambil, bagaimana
mereka bersikap, omongan dan penilaian mereka tentang kita dan cara mereka
memperlakukan kita. Oleh karena itu, kita tidak diajarkan untuk terlalu
bergantung kepada orang lain dan menaruh harapan penuh. Kebalikannya, kita justru
punya kendali penuh dalam merespon perbuatan orang lain. Kita bisa
mengendalikan cara bicara dan sikap kita kepada mereka, bagaimana membuat
keputusan, mau peduli atau tidak terhadap penilaian, dan menentukan prinsip
dalam diri sendiri.
Selain itu,
beberapa ketentuan alam semesta yang tidak dapat kita kendalikan adalah bagaimana
kita dilahirkan dan dari keluarga apa, memprediksi masa depan atau mengubah
masa lalu. Namun, kita punya kendali penuh untuk berusaha meraih sesuatu, menentukan
pemikiran terhadap diri dan dunia, menjaga dan merawat diri, mengelola emosi,
serta mengatur waktu dan energi.
Dengan
mengetahui hal-hal yang ada di dalam lingkaran kendali, kita bisa menaruh rasa
peduli kepada posisi yang lebih baik. Karena singkatnya, kita cukup peduli
kepada hal yang sederhana, benar, mendesak dan penting. Seperti menambah
wawasan, belajar interaksi dan komunikasi yang baik, menjaga dan merawat diri
serta mencintai orang-orang di sekitar dengan tulus. Tidak berlarut-larut dalam
hal di luar area kendali, karena itu
hanya membuang waktu dan energi, melemahkan emosional, mematikan potensi di dalam diri dan membawa pribadi
menjadi si apatis yang tak punya target dan mimpi.
Karena
sejatinya, kita tidak pernah benar-benar ‘tidak peduli’. Bahkan si apatis
sendiri adalah mereka yang paling peduli. Salahnya, mereka justru peduli pada
hal di luar kendali dan menghabiskan pundi-pundi energi. Peduli pada hal yang tidak
benar, seperti merasa lemah dan tidak percaya diri, yang kemudian tertanam
menjadi prinsip rapuh yang merusak sehari-hari. Melumpuhkan potensi belajar
yang ia punya, sehingga susah berkembang dan berinteraksi dengan baik.
Padahal, setiap
kita berhak mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Mengasah potensi yang kita
miliki lalu mengembangkannya menjadi hasil-hasil yang bermakna. Apalagi menjadi
dewasa, hidup bukan lagi tentang sekedar bernafas. Melainkan bagaimana mencari
arah, menentukan cara bertahan hidup dan berkomitmen terhadap kepercayaan. Hal
tersebut yang membawa diri menjadi orang yang bermanfaat terhadap sekitar, melindungi
dan memakmurkan bumi dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan. Demikianlah
tujuan keberadaan manusia di atas muka bumi.
Dari sini kita
paham, bahwa menjadi diri sendiri selalu memberi peluang untuk keluar dari
banyak masalah. Orang yang berhasil mencintai dirinya akan menghargai dan
memberi nilai yang bermakna. Mengenali
kekurangan dan tidak menjadikannya alasan untuk putus asa. Saat
mengetahui kelebihan, juga tidak membuatnya terlambung begitu jauh. Karena standarnya
bukan lagi membandingkan dengan kelebihan orang lain, melainkan terus berusaha
menjadi lebih baik dari masa lalu. Jika seseorang telah sukses mencintai
dirinya sendiri, dengan mudah ia akan menghargai dan mencintai orang-orang di
sekitarnya. Sadar bahwa setiap orang berhak bahagia dan mencapai makna kehidupannya.
Mencintai diri
sendiri bukan berarti egois dan terus-terusan menggapai kemauan. Mencintai diri
sendiri, adalah tau kemauan mana yang memberi dampak baik lebih banyak untuk
pribadi dan sekitar, lalu mewujidkannya dengan cara yang benar. Saat rasa peduli
dihiasi dengan cinta terhadap diri, ia akan membawa jiwa untuk memilih.
Memilih, bahwa kita berhak menutup telinga dari hal yang tidak ingin didengar.
Kita berhak menutup mata dari hal yang tidak ingin dilihat. Kita berhak menutup
hati dari apa yang tidak ingin dirasakan.
Mencintai diri
sendiri, bukan berarti menutup diri secara mutlak, karena itu justru akan membunuhnya.
Mencintai diri sendiri, berarti paham bahwa ada hal-hal yang harus dirasakan,
ada pula yang tidak perlu dirasakan. Bersikap ‘masa bodoh’ terhadap perkara
yang tidak benar, tidak penting dan tidak mendesak. Bersikap ‘masa bodoh’ bukan
berarti tidak peduli, melainkan berani tampil menjadi berbeda. Mencintai diri
sendiri berarti berani melangkah lebih maju untuk peduli terhadap hal-hal
positif. Tanpa mengurangi empati kepada orang lain.
Setiap kita
berhak mencapai nilai paling berharga di dalam diri. Berhenti menaruh kecewa
terlalu dalam, terus berjalan mengikuti arus kehidupan. Percaya, bahwa kita
adalah makhluk Tuhan yang paling bertanggung jawab dalam menggapai kebahagiaan.
Posting Komentar