Catatan Journeylistic Kru Media KMA ke Tanta

Oleh: Siti Humaira*

Dok. KMA

Hari yang cerah dengan semangat yang merekah. Pagi ini, satu unit Mobil Hiace -dengan kapasitas penumpang sebanyak 14 orang- dan bersamanya satu unit Mobil Coaster -yang mengangkut 25 orang-, melaju pesat mematahkan jarak keluar dari kota Kairo. Tepatnya, hari ini adalah moment spesial bagi kru web dan el Asyi yang mengadakan rihlah bertajuk “Journeylistic bersama el Asyi x kmamesir.org” ke sebuah provinsi paling ramah di telinga para Masisir, yaitu Thantha. Senangnya tak terhingga, melalui ide cemerlang kedua pimred luar biasa, Tgk. Zaid Ibadurrahman yang menakhodai el Asyi dan Tgk. Ali Akbar Alfata yang memimpin website Kmamesir.org, kegiatan ini terealisasikan. Kami dijanjikan dengan empat destinasi terkenal di sana, yaitu Makam Syekh Mutawalli Asy-Syarawi, Kuliyah Quran Al-Azhar, Masjid Imam Ahmad Badawi dan Makam Syekh Ibrahim Dasuqi.

Hal yang lebih istimewa adalah saya dan dua teman saya turut  meramaikan rihlah ini, padahal kami bukan bagian dari kru. Ah, anggap saja kami tamu spesial, atau mahasiswa baru yang mau di-upgrading oleh para senior Media KMA.

Siapalah yang tidak senang kalau diajak jalan-jalan. Ini kali pertama kami keluar dari Kairo menuju provinsi yang ‘katanya’ bernuansa pedesaan, dipenuhi ladang pertanian hijau dan ramah lingkungan. Kepadatan Darrasah dan lintas membosankan bolak balik Asyir-Sabi-Darrasah, membuat kami tak ragu lagi memenuhi tawaran ini.

Setelah memeriksa linimasa Google Maps yang saya punya, perjalanan selama kurang lebih dua jam ini benar-benar memenuhi ekpetasi. Melalui bingkai jendela mobil, kami menikmati hamparan ladang hijau dan formasi pohon kurma yang tumbuh sembarangan. Pemandangan yang sedikit banyaknya menyembuhkan rasa rindu akan kampung halaman.  Sejak tadi, saya menanti-nanti ladang sawah menyapa penglihatan. Namun, agaknya harapan saya terlalu tinggi. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan mengabadikan momen hijau ini. Tidak lain untuk di-posting di akun instagram pribadi, tak lupa menambahkan musik favorit biar makin hits.

Jam menunjukkan pukul sebelas kurang beberapa menit, kami  tiba di Desa Daqadus, tempat dilahirkannya Al-Imam Ad-Du’ah Syekh Mutawalli Asy-Syarawi, sekaligus lokasi beliau dikebumikan. Kata senior, tempat ini belum masuk ke wilayah Thanta, melainkan masih di Provinsi Daqahliah.  Kami pun memasuki komplek pemakaman beliau, di depannya terdapat bangunan khas madrasah yang terdiri dari beberapa tingkat. Kabarnya, di sini terdapat maktabah, hadhanah dan Markaz Tahfidzul Quran untuk pelajar muda di sekitar lokasi ini.

Tempat ini tampak terawat dan bersih. Sebelum memasuki makam, kami diarahkan untuk mendengar beberapa syarahan mengenai sosok pendekar para mufassir kontemporer ini.  Kali ini,  Tgk. Kadhan  Imam Maulana sebagai pemateri, mulai merakit maklumat yang membuat kami semakin terinspirasi.

Dari banyaknya materi yang disampaikan, salah satu yang paling membuat saya takjub adalah himmah sang ayah dalam mendidik putranya agar kelak menjadi seorang alim.

“Setelah tamat Tsanawiyah, sang ayah ingin menyekolahkannya ke Kairo, masuk kuliah Al-Azhar. Tapi sang anak gak mau. Masih pingin di Zaqaziq sama kawan-kawan. Masih pingin  menekuni dunia tani. Tapi sang ayah tetap kekeuh, karena itu himmah sang ayah. Syekh Sya’rawi ini, saat mengetahui niat ayahnya,  bersiasatlah beliau. ‘Bisa ni, saya syaratkan persyaratan yang berat biar ayah terbebani.’ Di-list-lah kitab induk yang memang mahal. Seperti ulum hadist, lughah, dan tafsir. Tujuannya agar ayah merasa terbebani, ‘Oo, meuhai rupajih. Bek lah ta ba aneuk keudeh.’ Ternyata, sang ayah pas liat list itu, dibelik semuanya. Seraya pas jumpa anaknya berkata, ‘Nak, Ayah tau ni, yang kamu tulis ini bukan diktat kuliahmu. Bukan tingkat kamu untuk baca semua ini. Tapi ayah belik semua ini untuk kamu untuk apa? Agar kamu suatu saat menempuh ilmu dari kitab-kitab yang ayah beli ini.’ Terenyuh Syekh Syarawi di situ. Sedih dan tersentuh batinnya. Sejak saat itu, beliau mengokohkan niatnya untuk menjadi thalibul ilmi.” Demikian paparan Tgk. Kadhan.

Setelah itu, kami memasuki makam dan berdoa di sana. Lantas makan siang dan melaksanakan Shalat Zuhur. Tak lupa, setelah berfoto bersama kami bersiap-siap meninggalkan tempat ini dan melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya.

Dok. KMA

Kuliyah Al-Quran Al-Azhar

Di depan sebuah gedung fakultas bertuliskan Kulliyah Al-Quran al-Karim lil Qiraat wa Ulumiha, kami telah disambut oleh seorang senior asal KMA yang berkuliah di fakultas ini, Tgk. Ronald Hilman.  Setelah memasuki gedung, kami bertemu dengan ‘amid kuliah, Duktur Abdul Fattah Khidhr. Beliau bersama asatidz pendamping lainnya, menuntun kami ke beberapa ruangan di dalam gedung fakultas. Dimulai dari ruang muhadharah. Lalu dengan antusiasnya beliau memaparkan sistem belajar mahasiswa di kuliah ini. Selanjutnya, kami dibawa ke auditorium luas, dilengkapi dengan susunan kursi aundience yang teratur. Kami mulai mengisi kursi terdepan dan duduk menyimak seraya ikut meramaikan ruang diskusi. Beberapa dari kami melempar pertanyaan seputar perkuliahan. Perhatian saya silih berganti tertuju kepada para penutur Bahasa Arab fusha dalam ruangan ini.

Di akhir pembicaraan, seorang senior meminta diberikan nasehat kepada kami semua sebagai penuntut ilmu agar kami tidak menyesal di kemudian hari. Setelah saya simpulkan, ada tiga poin besar yang Duktur sampaikan dalam petuah berharganya,

Yang pertama, ij’al ‘amalaka lillah. Jadikan setiap amal perbuatanmu semata-mata karena mengharap keridhaan Allah. Hal ini berpulang kepada firman Allah, Inna shalaati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil aalamiin. Senada dengan sabda Rasulullah Saw. Innamal a’maalu binniyyat.

Yang kedua, i’lam annaka wa anta tathlubul ‘ilm, anta fi buhbuhatil jannah, fi dauhatil jannah. Menempuh jalan menuntul ilmu, berarti kita berada di jalan menuju surga. Kita berada di bawah naungan calon penghuni surga. Sebagaimana tutur Rasulullah Saw. Man salaka thariqan yaltamisu fiihi ‘ilman, sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah.

Yang ketiga, sebarkanlah agamamu dengan akhlak Islam. Dengan mencintai saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Wal islam yaqul, eh? Hibbi li akhiika maa tuhibbu linafsih. Ini menjadi wasilah hidayah bagi non-muslim, untuk memeluk agama kedamaian kita, agama Islam, agama yang berakhlak Al-Quran.

Terakhir, prosesi penyerahan cinderamata di ruang ‘amid kuliyah. Tidak lupa kami mengambil beberapa dokumentasi di setiap ruang yang kami kunjungi, begitu pun di depan gedung fakultas.  Sebelum berangkat melanjutkan perjalanan, kami bertanya-tanya kepada Tgk. Ronald, senior asal KMA yang berkuliah di sini, seputar perkuliahan dan pengalaman beliau selama belajar di takhasus ini. Lengkapnya, teman-teman bisa membaca di postingan akun instagram el-Asyi.

Kami mau lanjut perjalanan dulu...

Dok. KMA

Petang di Masjid Imam Ahmad Al-Badawi

Hembusan udara dingin mulai terasa, waktu Magrib pun kian mendekat, kami tiba di Masjid Imam Ahmad Al-Badawi. Arsitektur unik yang membius pandangan, saya merasa takjub atas kemegahan masjid ini. Karena coraknya yang berbeda dari masjid di Kairo pada umumnya. Sebelum memecahkan rasa penasaran di dalam sana, kami dihimbau untuk berkumpul di halaman masjid guna menyimak sedikit pemaparan mengenai sosok Imam Ahmad Al-Badawi. Dalam kesempatan ini, Tgk. Muhammad Farhan Sufyan mengambil alih.

Imam Ahmad Al-Badawi merupakan sosok ulama tersohor di Mesir, bahkan di tanah Arab. Karena beliau dikenal sebagai Wali Quthb, yang dikaruniani kealiman dan karamah yang tidak biasa.

Dari banyaknya paparan yang disampaikan oleh pemateri, satu hal yang tersemat dalam ingatan saya, adalah himmah ibunda sang Imam dalam mendidik putra kesayangannya. Hal ini tampak dari karamah beliau, yang mana beliau mampu bertemu dengan Rasulullah Saw. Secara yaqadhah, tidak hanya dalam mimpi.

Tgk. Farhan menuturkan, “Jadi, semua itu merupakan arahan dari ibunda beliau yang shalilah. Awalnya beliau mengatakan, ‘Saya sudah belajar semua ilmu, wahai Ibunda.’ Tapi Ibunya menjawab, ‘Kamu tidak akan mencapai orang yang besar, jika kamu belum menemui Rasulullah.’ Setelah itu beliau bertemu dengan Rasulullah, tapi di dalam mimpi. Ditantang lagi sama ibundanya, ‘Kamu kalau berjumpa lewat mimpi aja itu belum hebat, tapi harus berjumpa lewat yaqadhah.’ Nah, berjumpa lagi lewat yaqadhah. Terakhir kali beliau belum juga dianggap orang hebat oleh uminya. ‘Kamu kalau berjumpa sekali saja yaqadhah itu masih biasa. Pada akhirnya beliau bisa berjumpa dengan Rasulullah, yaqadhah secara berkali-kali.”

Setelah itu, kami memasuki  masjid dan berziarah ke makam Imam Badawi. Melaksanakan Shalat Magrib dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Dok. KMA

Malam, di Makam Syekh Ibrahim Dasuqi.

Dua unit mobil ini kembali memangkas jarak. Gelap malam mulai menyelimuti, tubuh mulai kelelahan, mata pun mulai remang-remang. Para penumpang sudah lama terlelap dengan nyaman. Lupakan sejenak tentang story instagram padang hijau tadi atau  foto-foto di Kuliyah Quran. Maaf teman, di sini tidak ada jaringan.

Pukul delapan lewat, kami tiba di Masjid Syekh Ibrahim Dasuqi, seorang ulama yang tidak hanya faqih, beliau juga merupakan seorang sufi ber-tariqah Syihawiyah Al-Burhamiyah.

Karena waktu mulai menyempit, masjid pun akan segera ditutup, kami bergegas memasuki masjid, dan menziarahi makam Sang Syekh, lantas menyimak paparan Tgk. Zia Urrahman, sebagai pemateri kali ini.

Syekh Ibrahim hidup semasa dengan Imam Badawi. Beliau pernah diangkat menjadi Syaikhul Islam pada masa Sulthan Dhahir Bairbars.

Sama seperti tokoh-tokoh sebelumnya, hal yang paling menakjubkan bagi saya, adalah cerita mengenai sosok orang tua atau nasab dari wali Allah ini. Orang-orang hebat selalu lahir dari orang tua yang hebat.

“Beliau masih termasuk keturunan ahlu bait, Al-Husainiyyah. Ibunda beliau merupakan keturunan dari Khalifah Sidi Ahmad Ar-Rifai. Jadi juga seorang shalihah dan abidah.”

“Kalaupun Sidi Abu Hasan Asy-Syadzili ini berjumpa dengan Syekh Ibrahim Dasuqi, berarti berjumpa melalui ayahnya. Ayahnya merupakan orang alim juga.” Demikian paparan Tgk. Zia.

Banyak faidah, maklumat serta pengalaman baru yang kami dapat dari perjalanan kali ini. Malam semakin larut dan kota Kairo telah menunggu kepulangan kami.

Kesungguhan para ulama dan peran orang tua mereka dalam perjalanan menuntut ilmu, layaknya menguatkan tekad kita untuk meneguhkan niat dan membangkitkan semangat. Walapun orang tua kita tidak pernah membelikan kitab-kitab besar untuk kita, ataupun menantang kita untuk bertemu Rasulullah, bahkan kita tidak terdeteksi punya nasab sampai ke ahlu bait, tidaklah menjadi alasan untuk berhenti mewarisi himmah para ulama terdahulu.

Bukankah keberadaan kita hari ini di tanah Al-Azhar merupakan amanah dan harapan besar orang tua kita? Bukankah terlahir dalam agama Islam, menuntut ilmu agama serta menelusuri jalan para ulama, merupakan nasab mulia menuju Rasulullah? Lantas apa lagi yang kita keluhkan?

Semoga Allah Swt. Senantiasa menganugerahi ketulusan dan himmah yang kuat bagi kita para penuntut ilmu, agar kelak kita tidak menyesal telah menyia-nyiakan nikmat terbesar ini.

Sampai hari ini, separuh hati saya masih tertinggal di bumi Thanta. Entah siapa yang berkenan menjemputnya kembali?[]

 

*Penulis merupakan mahasiswi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo


Editor: Ali Akbar Alfata

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top