Ujian di Petala Subuh

 Oleh : Muhammad Farhan Sufyan*

(Sumber gambar: Google.co.id)

10⁰ Celcius, hawa dingin menusuk tulang. Angin datang dari beraneka arah nan berantakan. Lolongan anjing mulai bersahutan. Di langit bagian timur ini, fajar mulai menyingsing. Suara-suara perantara panggilan Allah telah berlalu begitu saja. Alarm yang dipasang tak henti-henti berteriak. Andai dapat berbicara, ia akan mengomel tiap subuh tiba. Meratapi empunya yang kemalangan. Kasur itu, masih dihiasi selimut tebal bersama tuannya. Memanjakan tidur pulas dari jam 02.00 Clt. Bukan karena lalai, melainkan demi ilmu dan belajar. 

Sepi telah menjadi sahabat di rumah tersebut, sebab letak yang jauh dari kegaduhan masyarakat. Jalannya berliku dan jauh. Syaqqah yang memiliki dua kamar itu berada di puncak flat paling tinggi. Tak ayal, hawa dingin seakan pembunuh tak bersenjata menggerogoti semangat bergerak dan belajar.

Akan tetapi, semuanya tak berlaku bagi Rusydi. Mahasiswa jurusan Tarikh wal Hadharah ini memang dikenal jenius dan bersemangat tinggi. Semalaman dia mengulang-ulang kembali muqarrar yang akan diujiankan besok. Seluruh mahasiswa di Kairo mengenalnya. Pelajar ulet yang rajin ber-talaqqi, hari-harinya dihabiskan untuk mengkhatamkan kitab turats. Baginya, metode ini lebih efektif dalam membentuk keilmuan, yakni mengkaji kitab dari sampul hingga bab akhirnya. Manhaj yang sangat diagungkan ketimbang dunia perkuliahan. Begitu besar himmah yang dimiliki Rusydi, muqarrar yang tersusun dari bab yang begitu banyak, dicomot dari referensi yang tak terbilang, mampu diselesaikan dalam waktu yang singkat, sebulan sebelum ujian. Akibatnya, Rusydi punya waktu tidur malam yang sangat pendek. Hak tubuh yang seyogianya diberikan, malah dikorbankan.

Detak jam terus berkelanjutan. Pukul 07.00 Clt. Waktu itu tak bisa dikendalikan oleh manusia, akan tetapi manusia dapat mengatur waktu dengan me-manage sebaik mungkin aktifitas dalam kesehariannya.

“Rusydi!! Sudah jam 07.00, kamu gak ikut ujian?”

Rusydi mulai bangkit. Matanya masih sayu, tubuh juga tampak berat.

“Udah! Sini aku bantu bangun, kamu belum shalat subuh!” seru pemuda itu seraya menarik tangan Rusydi. Namun, begitulah keseharian Rusydi. Walaupun dikenali sosok yang jenius, ia masih saja dikalahkan oleh waktu subuhnya.

Usai berhasil menyadarkan Rusydi. Pemuda tadi hendak menghubungi orang tuanya, meminta doa agar dimudahkan segala urusan. Sebenarnya, dari sebelum azan subuh ia telah mencoba membangunkan. Tapi tetap saja susah, Rusydi bukan tak sanggup atau dengan sengaja meninggalkan shalat subuh, melainkan karena begadang semalaman. Hal yang telah maklum dari pondok. Sahabatnya ini memang punya kebiasaan begitu. Malam begadang untuk belajar, keesokannya tidur. Berbeda saat dulu di pondok, walaupun begadang terpaksa bangun. Kalau tidak siap-siap ditimpa hukuman membersihkan kamar mandi, jalan keliling selokan atau bisa-bisa diberdirikan di depan asrama putri. Ditambah lagi peraturan di pondok, menjadikan santrinya mengikuti arus, semuanya diatur oleh aturan. Lagi, ustad-ustad seumpama pasukan Yanisari. Siap sedia dengan air, menyembur tiap kasur dan pemiliknya.  

“Mam, gimana? Jawabanku semalam, udah paham, kan?” tanya Rusydi usai meng-qadha shalatnya.

Dari sudut kamar, pemuda itu hanya memberi isyarat. Ia sedang ngobrol dengan ibunda. Belum bisa menjawab pertanyaan.

“Pokoknya, yang paling itu bukan nilainya, nak. Tapi kesehatanmu, jaga tubuh jangan sampai sakit. Kekuatan fisik dan mental harus dirawat dengan baik-baik. jangan pernah bandingkan diri kita dengan orang lain,” ujar sosok ibunda dengan bahasa begitu menyentuh.

“Baik, Bu! Semoga diberikan hasil terbaik,”

Sejurus kemudian, pemuda tersebut menyapa Rusydi. Pertanyaan semalam memang belum tuntas, masih perlu dijelaskan kembali. Namanya Umam, sosok yang penuh keyakinan bahwa ilmu dapat diambil dari siapa saja. Tidak merendahkan sesama, bahkan bila perlu ia akan belajar kepada siapapun yang dianggapnya lebih mampu. Sahabat seperjuangan Rusydi ini, walaupun tidak memiliki kegeniusan yang sama namun ia punya kedewasaan bersikap secara emosional dan spiritual lebih unggul.

“Aku ga ngafal sih, karena ini menurutku gak terlalu penting. Tapi aku paham, coba ya kujelaskan!” jawab Rusydi.

Di luar hawa dingin masih tak berubah. Angin juga tak mau mengalahkan diri. Namun Rusydi dan Umam telah begitu yakin dengan persiapan jauh-jauh hari. Umam keluar lebih dahulu, dia bergegas ke depan rumah untuk menunggu Rusydi.

“Jeh, kamu pakek jaket maba? Sudah dua tahun di Mesir loh!” tanya Rusydi.(Jaket maba ialah julukan buat jaket tebal yang biasanya dibeli mahasiswa baru setibanya di Mesir. Kebiasaanya mahasiswa baru akan selalu mengenakannya kemanapun mereka bepergian bersama-sama)

“Iya, emang jaket ini di-design hanya untuk dua tahun? Kan fungsinya waktu puncak musim dingin tiba,” jawab Umam.

“Iya, tapi …’

“Kalo kamu merasa gengsi, kamu tau ga? Sudah berapa banyak senior kita yang pulang ke Indonesia merasakan sakit tulang saking sering kedinginan. Anehnya, orang Mesir saja yang tinggal di daerah iklimnya sendiri mau pakai jaket ini. Lah kita, orang Asia!?”

Rusydi mengangguk diam. Kini mereka hampir sampai, tak sadar perbedaan pendapat tadi membuat jarak terasa dekat.

Bittaufiq! Doaa lahh!” pinta Umam.

Yaa rabb, aku yakin dengan maddah yang satu ini, pasti bisa!”

“Ya, semoga dapat mumtaz lagi, Rusy!”

Baca juga; Az-Zamakhsyari, Sang Mufasir Balaghah

***

Sejuk. Tanaman begitu hijau. Pohon-pohon seakan bersujud, bertasbih memuji segenap rasa syukur. Bahkan mendoakan bagi mereka yang merasa gagal menjawab soal. Pemandangan kampus tampak jauh berbeda dari biasanya, mata dari berbagai sudut saling bertatapan. Buku-buku dibuka. Lembaran-lembaran talkhisan juga ikut berjatuhan. Andaikan sebelumnya suasana hari-hari kuliah begini, kita tak perlu bersusah payah memaksa diri menghafal, waktu jadwal ujian telah diumumkan. Bahkan sampai mematikan jadwal piket masak harian. Ya, itu karena jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan.

Rusydi tampak keluar lebih duluan. Hal yang telah menjadi biasa baginya. Mata orang-orang memandang dia selalu tampil berbeda karena kegeniusannya. Dari dulu, ia tak pernah merasa gelisah usai keluar dari ruang ujian. Namun kali ini berbeda, mukanya tampak kurang cerah. Bermuram durja nan nelangsa.  

Dia mengambil tempat di bawah pohon rindang. Tangannya mengacak-acak kembali muqarrar. Memastikan jawaban yang ia tulis benar, karena hati masih ragu tak yakin. Saking tidak tenangnya, ia bahkan bertanya ke sana kemari.

“Gimana Rusy?” Sapa Umam tiba-tiba.

“Eh, Mam. Baru selesai ya?”

“Ya, aku tadi  langsung ke musala tadi untuk shalat dhuha. Wajahmu kok ga tenang begitu sih?” tanya Umam.

“Aku silap, definisi yang aku jelaskan sama kamu tadi malah jadi soal di paketku. Kemudian ada beberapa maklumat kayak tiba-tiba hilang. Padahal semalaman aku udah Haqqul yaqin ngafal,”

“Lah, kamu ga coba shalawat tadi?”

“Udahh,”

“Hmmm, tenang Rusy. Jangan bahas lagi. Untuk sekarang simpan saja muqarrar dan tawakkal hasilnya sama Allah! Terus coba kamu renungi, apa yang membuat hal itu terjadi?”

“Maksudmu?” Tanya Rusydi.

“Aku gatau pasti sih. Apakah tips ini sesuai. Tapi menurutku, kerap kali kita tak sadar Allah sedang menguji kita lewat berbagai keresahan. Salah satu caranya itu menyelesaikan masalahnya dengan tawakkal. Artinya tawakkal itu salah satu jalan keluar dari permasalahan. Kemudian evaluasi, termasuk ragu-ragu tadi, mungkin ada penyebabnya yang didatangkan untuk menguji kamu,” Umam mencoba menenangkan.

“Aduh, Mam. Kok kamu malah membutku tambah pening,” gerutu Rusydi.

Umam hanya tersenyum kecil, “Kita pulang saja dulu,” ajaknya.

“Sebentar!”

“Udahlah! Memang masih dapat diulang jawabannya? Kan enggak! Aku yakin kamu itu diuji sama Allah karena subuhmu yang masih berantakan!” bentak Umam. Ia tak sadar berucap terlampau gamblang.

“Tapi, itu kan bisa di-qadha, aku juga ga sengaja,”

“Emang bisa? Konsep qada shalat begitu? Sengaja tidur telat-telat tiap malam kemudian subuhnya ditelantarin? Ya, aku tau alasanmu itu belajar. Tapi hukum shalat subuh tepat waktu itu wajib. Ga boleh melewati waktu yang telah ditentukan. Jika memang boleh, untuk apa dibataskan waktu shalatnya! Kalau subuhmu masih telat karena begadang, maka tidur cepat itu wajib,”

Rusydi mulai terdiam.

“Dulu itu, di masa Umar bin Khattab ada seorang yang mengutamakan shalat tahajud tapi jamaah subuh terlewatkan. Sayyidina al-Faruq kemudian berpesan lebih baik subuhnya berjamaah ketimbang tahajud berjalan lancar. Begitu juga kamu, shalat subuh itu wajib, belajar tidak harus larut malam juga,” Umam mencoba menenangkan sembari merangkul.

“Tapi, Mam. Aku harus mempertahankan nilai ini. Bertahan lebih susah dari mendapatkan,” keluh Rusydi. Keduanya kini berjalan sejajar pulang.

“Hmm, barangkali kisah ini jadi penenang kondisimu. Tentang orang yang begitu tawakal usai ikut ujian. Dia punya prinsip, setelah keluar dari ruang ujian gak boleh lagi membuka dan mengecek muqarrar. Bukan tanpa tujuan, tetapi agar tidak menurunkan rasa tawakalnya kepada Allah. Ia juga tak menggubris tiap orang yang mengajaknya membahas ulang soal. Baginya, yang sudah berlalu biarkan jadi pelajaran. Dengan shalat dhuha, dia akan kembali berjuang untuk tetap pada semangat yang sama menyelesaikan seluruh rentetan maddah yang diujiankan. 

Kita masih punya beberapa maddah lagi yang harus diselesaikan. Aku memang tak pernah bisa mengunggulimu dalam dunia akademik. Jadi, kurasa kamu lebih paham kalo tiap maddah juga punya hak diberikan usaha sebesar-besarnya. Serahkan maddah yang telah berlalu kepada Allah, berprasangka baiklah kepada-Nya. Lalu, pesatkan kembali semangat untuk maddah yang akan dihadapi. ” Seru Umam tampak lebih bersemangat.

Rusydi mengangguk, “Kamu benar, Mam. Subuhku harus diperbaiki. Oke, tolong nanti subuh dibangunkan!” Pinta Rusydi.

“Yah, emang pernah aku ga bangunin?” balas Umam.

“Hahaha, nanti waktu tidur juga harus lebih awal, ya?”

“Nah, itu syaratnya!”

“Bismillah,” 

Di flat megah, burung-burung hinggap. Di antaranya, ada dua yang tampak saling berebut makanan. Sepanjang jalan orang lalu lalang. Sejatinya, langkah kaki memang tak akan bergerak andai salah satunya tak mau mengalah dan mempersilahkan kaki yang lain untuk maju ke depan. Jika kaki kanan dan kiri tetap pada posisinya, tubuh pasti akan terus diam di tempat. Oleh karena itu, kalau mau maju, berubah dan bergerak ke arah lebih baik. Tentu saja dibutuhkan kedua kaki. Begitu juga kehidupan, tak selamanya IQ (Intellectual Quotient) selalu di depan karena kecerdasan. Akan tetapi, diperlukan SI (Spiritual Intelligence) dan EI (Emotional Intelligence) dalam mengontrol jiwa dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yang Berkuasa. Kedua insan itu berjanji untuk saling mengingatkan. Memperbaiki diri dan terus belajar hingga panggilan ilahi. Berharap ilmu menjadi wasilah mencapai ridha-Nya. []


*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 4 Jurusan Lughah Arabiah 

Editor : Setia Farah Dhiba

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top