Melirik Tradisi Aceh di Bulan Sya'ban

 Oleh: Taufiqurrahman Samsul Qamal*




 

Sya’ban merupakan salah satu bulan yang mulia, di dalamnya penuh keberkahan dan kebaikan. Bulan diterimanya segala taubat dan diampuninya segala macam perbuatan dosa. Disebut bulan Sya’ban, sebagaimana dikatakaan oleh Al-Muhaddits Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki dalam kitabnya 'Madza Fii Sya’ban', bahwa di dalamnya terdapat banyak kebaikan dan keutamaan. Ini disebabkan adanya satu malam yang mulia, yaitu malam nisfu sya’ban yang berarti pertengahan bulan Syakban.

Termasuk keutamaan bulan Syakban adalah diangkatnya amal ibadah kita selama setahun lamanya yang mana pengangkatan amal ini lebih besar dan lebih luas dari biasanya, sebagaimana penjelasan dalam hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid R.A saat beliau bertanya kepada Rasulullah SAW; Ya Rasulullah aku tidak melihatmu berpuasa selama satu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Syakban ini. Rasulullah Saw menjawab: Bulan Syakban ini adalah bulan yang sering dilupakan manusia, karena terhimpit antara Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal ibadah ke hadirat Allah SWT, dan aku ingin amalku diangkat di bulan itu dalam keadaan aku sedang berpuasa. (HR.Al-Nasa’i).

Dalam kalender Almanak Aceh, bulan yang ke-8 dalam kalender hijriah ini disebut juga dengan “Buleun Khanduri Bu”. Penyebutan ini karena adanya tradisi jamuan makan nasi bersama di meunasah, mesjid bahkan di balai pengajian pada pertengahan bulan Syakban atau disebut juga malam beureuat. Penamaan kata beureuat ada dua riwayat, ada yang mengatakan kata beureuat berasal dari kata “Beureukat” yang artinya berkah dan ada juga yang mengatakan bahwa kata beureuat ini berasal dari kata bara’ah, dalam bahasa arab yang artinya terlepas dari dosa.
 
 

Tujuan diadakan tradisi ini adalah memohon kepada Allah SWT agar diberi keberkahan di dalam kehidupan. Berdasarkan beberapa riwayat, pada malam nisfu Sya’ban seluruh catatan amal manusia selama setahun yang lalu akan diangkat (dikumpulkan) pada malam itu, juga dibukakan lembaran baru buku catatan amalnya.

Khanduri Beureuat sendiri berangkat dari hasil sumbangan warga desa yang memiliki kemudahan rezeki untuk disedekahkan. Kenduri ini biasanya menghidangkan berbagai jenis makanan termasuk hidangan khas Aceh yang sudah ditata rapi pada satu tempat. Terkait rentetan kegiatan, biasanya dilaksanakan setelah salat maghrib dengan diawali pembacaan yasin dan zikir hingga melaksanakan salat tasbih bersama. Setelah itu, mendoakan segala arwah yang telah mendahului kita agar dicucur rahmat dan maghfirah-Nya, dan bersalawat kepada Rasulullah serta mendengarkan tausiah singkat dari imam. Setelah semuanya selesai, baru menyantap hidangan bersama.

Hingga sekarang acara adat istiadat ini masih dilaksanakan di Aceh, sebagai salah satu bentuk masyarakat dalam memuliakan bulan yang penuh dengan keutamaan ini. Kebiasaan ini layak untuk terus dilestarikan, dikarenakan pelaksanaannya mengandung berbagai makna dan kebaikan. Diantaranya adalah bukti wujud kekompakan dan persatuan masyarakat dalam bersosial dan juga perwujudan dari rasa syukur hamba terhadap karunia tuhannya. Pun momentum dalam menyiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

*Penulis merupakan Mahasiswa tingkat II Universitas Al Azhar, Jurusan Syari'ah Islamiyah.
 
 
Editor: Muhammad Asyraf Abdullah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top