Semuanya Kawe Kecuali Nasib

Oleh: Darwin Robusta*
 Sumber: Saatchi art
 
  1.

Dulu kukatakan kepada Perling dalam keadaan sadar bahwa aku mencintainya. Tapi kini keadaan telah berubah, aku bahkan tak bisa lagi merasakan kebahagian sekadar mengingat mengucapkan kata-kata itu kepadanya.

Kukira ia mengingat janji-janji dan juga kata-kataku. Kurasa keyakinanku untuk menikahinya dapat ia misalkan seperti gunung yang kokoh ataupun seperti iman seorang nabi... ia tahu itu. Tetapi, ia memilih lebih cepat memalingkan mukanya ketimbang sedikit lebih sabar menungguku menikahinya, sehingga ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya—apabila nanti aku menikahinya—ia lewatkan. Misal daftar nama anak yang bagus dan terdengar bijaksana dan kemungkinan memiliki sikap peduli kepada ormas apabila anak itu kelak ingin menjadi presiden, ataupun ingin menjadi pesepakbola dengan warna kostum orange. Pikiran-pikiran sejenis itu ingin kubicarakan dengannya tetapi ia memalingkan wajahnya dan tak sudi lagi menungguku.

Aku tak pernah sampai kepada alasan mendasar kenapa ia memunggungiku dan melangkah jauh ke arah yang tak kuduga. Aku berpikir untuk membelah kepalanya seperti pinang dan mencari tahu alasan yang ia simpan. Bukan berarti aku tak bisa mengubah arah angin ke wanita lain. Tetapi aku merasa telah dipermainkan olehnya. Sangat konyol, bukan? Di sini aku adalah lelaki yang tak terima ditinggal oleh perempuan—padahal dunia ini tak selebar telapak tangan Shiren Sungkar—dengan alasan yang tidak jelas dan berusaha mencari tahu.

Iya aku merasa konyol, kalau kau tidak melihatnya demikian.

Suatu kali ia pernah mengajukan pertanyaan yang sulit kuatasi; ia sempat meragukan kesanggupanku menikahinya.

“Kau yakin denganku?” tanyanya.

“Aku yakin. Kenapa kau bertanya?”

“Tapi aku tak yakin denganmu.”

“Sejauh ini dan kau tak yakin denganku?”

“Terkadang aku tak yakin denganmu; jika hanya dengan perasaan cinta dan sayangmu padaku kurasa tak cukup membuatku yakin.”

Aku kewalahan mengatasi situasi itu. Ia menyudutkanku secara halus dan segala gerak dan bahasa tubuhnya malam itu seakan menutup hatinya untukku. Ia begitu tak terduga dan menegangkan.

Lalu suatu perasaan pantang muncul di benakku sehingga akhirnya aku keluar dari Bogor dan mulai bergerak mengumpulkan pundi-pundi dari mana saja. Sejak saat itu kami mulai jarang bertemu. Kutanamkan tekad dalam hati agar suatu hari nanti aku kembali ke Bogor dengan kabar baik bahwa aku siap menikahinya.

Hari aku meninggalkan Bogor ia mengantarku ke persimpangan jalan, bersama ibu dan dua adikku. Ia memberiku peluk dan air mata kesedihan—tapi kemudian hari aku tak berpikir bahwa ia menangisi kepergianku. Dari Bogor aku bertolak ke Jakarta, dan enam jam kemudian melesat ke Jepang. Aku bekerja di Osaka selama satu tahun dan bekerja seakan dipecut pikiran membayar utang negara.

Dan waktu pun berlalu, kurasa aku telah mengumpulkan cukup uang untuk pernikahanku dengan Perling. Maka kembalilah aku ke Bogor dan perjalanan sangat melelahkan. Ibu menyambutku dengan pandangan mata biasa-biasa saja, seakan-akan ia tak pernah merindukanku. Kupikir untuk apa dirindukan berat-berat lagipula aku tidak pergi untuk waktu yang lama.

Aku tak bicara banyak setiba di rumah karena aku sangat lelah. Barang-barang kutinggalkan di ruang depan dan aku beranjak ke kamar dan tidur dan bangun saat hari sudah sore. Aku segera mandi dan menjelang magrib kukeluarkan semua yang perlu kukeluarkan dari koper, termasuk oleh-oleh untuk ibu dan dua adikku. Kukeluarkan juga sesosok Wakabayasi lalu dengan bangga kubawakan kepada ibu, “Perling pasti sangat senang. Lihatlah ini, Bu. Bagus, ‘kan?”

Aku menyodorkan boneka kecil itu kepada Ibu tapi ia melihatnya dengan pandangan mata biasa-biasa saja. Ia yang tengah duduk lalu mengangkat muka ke atas dan berkata, “Apa yang bisa kau perbuat? Dia sudah menikah minggu lalu.”

“Ibu bicara apa? Jangan asal bicara, Bu.”

“Perling sudah menikah minggu lalu dan kau tak bisa mengubah nasibmu.”

Kautahu, dua kakiku yang kokoh yang dengan keduanya dapat kuangkat kemiskinan di keluargaku tiba-tiba membeku. Darah-darah mengalir ke atas dan bergumpal di kepala. Tubuhku jadi dingin. Bulu kuduk meremang. Aku berada di puncak kecemasan. Aku bisa jadi gila jika tak segera duduk saat itu.

Aku terduduk di tempat aku berdiri. Ibu melihatku dengan pandangan mata biasa-biasa saja. Aku sangat khawatir kalau itu memang sebuah kebenaran, karena aku tak bisa serta-merta memercayai apa yang dikatakan Ibu sampai aku sendiri melihat dengan jernih apa yang ia katakan.

Selasa siang aku pergi menemui Perling di rumahnya. Tapi ia sedang tidak ada di sana. Perempuan itu sudah menikah dengan laki-laki dari Jakarta—ibunya yang memberitahuku kalau suaminya dari Jakarta. Tapi, Perling tidak mengalami banyak perubahan dengan hidupnya; ia masih bergabung dengan komunitas Perpustakaan Bergerak dan kegiatan itu tak pernah kudukung selama ini. Sebab ia kerap menimbulkan kecurigaanku setiap waktu; bergaul dengan siapa saja ia maui termasuk laki-laki yang gampang hai hai sana sini.

“Sekarang dia lagi di sana. Kalau mau menunggu, sebentar lagi dia pulang. Masuklah dulu.” Kata ibunya yang selalu menawarkan kebaikan padaku.

“Terima Kasih. Sebaiknya saya kembali besok saja.”

Aku tahu di mana harus kutemui Perling. Dan aku segera meluncur dan kurang dari enam menit aku sudah sampai di taman kota, berdiri di bawah pohon yang agak jauh dari pohon tempat biasa mereka berkumpul. Teman-temannya saling berbisik saat tahu aku berdiri di sana. Dan dari kejauhan dapat kucium perasaannya yang tak senang. Ia duduk memunggungiku dan melihatku melalui bahunya.

Aku ingin bicara dengan Perling sebentar saja. Aku memandangi kumpulan orang-orang itu dengan tatapan bahwa aku ingin bicara dengan Perling sebentar saja. Mereka, bahkan mungkin Perling sendiri tahu bahwa aku ingin bicara dengannya. Dalam rimba ini jalan setapak sudah ditumbuhi lagi dengan perdu. Aku kesulitan mendekat padanya meskipun aku mempunyai hak meledakkan amarah lalu mencekik Perling sampai sesak napas. Tapi yang terbaik adalah aku tetap ingin menunggunya di bawah pohon itu sampai ia mau meluangkan sedikit waktu dan menjelaskan pikirannya kepadaku.

Akhirnya ia bangkit dan berjalan ke arahku dengan perasaanku yang kacau. Empat tahun lalu ia juga berjalan seperti itu saat pertama kali kami bertemu; menatapku tajam dan menyembunyikan perasaan yang tak kuketahui. Barangkali setelah ini ia bisa saja menumbangkan semangat hidupku dengan luapan perasaannya yang tak kuketahui. Ia selalu tak terduga dan menegangkan.

“Perlu kautahu,” katanya begitu ia berdiri di depanku. “Kalau bukan karena teman-temanku, aku tak mau menjumpaimu. Ada perlu apa? Bukannya kau tak suka melihat aku di sini?”

Lihatlah, ia begitu tak terduga. Ia lebih dulu mengeluarkan tanduk dan aku tak membayangkan itu sebelumnya.

“Aku menerima kabar bahwa kau sudah menikah.” Kataku.

“Bukan waktunya lagi membahas ini. Semuanya telah berubah, Darwin. Apakah yang ada di pikiranmu bisa membuatku ingin kembali padamu? Apa yang kau pikirkan?”

“Bukan itu mauku.”

“Aku tak peduli apa maumu.”

“Jelaskan padaku apa alasanmu meninggalkan aku?”

“Kau terdengar konyol.”

Ia mungkin benar soal yang terakhir. Tapi ia tak bisa memperlakukanku seperti sampah, karena aku tak datang untuk melukai perasaannya, meskipun terkadang dalam waktu paling singkat pikiran untuk menyumpal mulutnya dengan sol sepatu muncul, samar-samar, seperti bisikan hantu di tengah-tengah deras hujan. Lalu kutanya baik-baik padanya apakah menurutnya aku datang untuk memintanya kembali padaku?

“Apa aku terlihat berselera menjawab pertanyaanmu?” Balasnya. Ia mengubah nada bicaranya lebih rendah dari sebelumnya. Dan kedua matanya mengedip lebih cepat, sebelum akhirnya melotot.

“Apakah akan ada perubahan bagiku jika aku membuatmu puas dengan jawabanku?” Tambahnya lagi.

Aku tergeming melihat mulutnya yang seperti ingin mengunyah tubuhku. Tapi baiklah. Ia telanjur menyepelekan kedatanganku. Maka tak lama aku segera cabut dan pulang. Aku juga tak berselera memperpanjang urusan dengannya; kurasa hubungan kami telah berakhir begitu aku angkat kaki dari Bogor setahun lalu. Kautahu, menikahi perempuan seperti dia hanya akan membuat umurku jadi pendek. 
 

 
2.



Ketika aku pulang, Ibu berdiri di seberang jalan dan melihatku melangkah ke dalam rumah. Dan dinding-dinding rumahku kini terlihat lebih kusam. Langit-langit seperti menutup diri dan tak ingin memberiku naungan. Aku berusaha tidur. Melupakan dunia sejenak. Tapi Ibu datang di antara usahaku memejamkan mata. Ia membawakan untukku telur gulung.

“Sudah kukatakan tak ada yang bisa kauperbuat,” katanya, “makanlah ini.”

Aku yang tadi berbaring lantas duduk dan melarikan kedua tangan melingkari lehernya, yang duduk di pinggiran kasur.

“Ah, jangan cengeng. Makan ini dulu. Sekarang perempuan yang mencintaimu tak lain hanya aku. Jangan cengeng.” Ia tidak tertawa setelah mengatakan itu. Padahal itu lucu!

Telur gulung itu habis ia makan sendiri. Dan ia berdiam sebagaimana aku berhenti menangis. Nasib tidak dibuat di Cina*, katanya kemudian. “Kecuali yang kawe. Akan ada nasib baik kalau kau tidak menangis. Kenapa kau menangis? Kau menangis seperti orang ketipu barang kawe.”

“Seharusnya aku tidak menemuinya, Bu.”

“Tidak. Ada benarnya kau ke sana. Tapi kau tetap tak bisa berbuat apa-apa. Dan kau dapat mengerti kenapa kau harus hidup tanpa dia.”

“Aku masih tidak mengerti, Bu.”

“Kau akan mengerti kalau mau memikirkan ulang kenapa kau harus kembali ke rumah jauh sebelum tengah malam.”

“Maksud Ibu?”

“Permasalahanmu menyangkut perasaan hati. Kau ke sana bukan untuk menagih utang.”

3.



Beberapa saat kemudian kami keluar ke teras dan duduk menikmati jalanan. Dan mungkin sudah seharusnya, akhirnya aku merasa geli dan malu mendapati diriku menangis karena seorang wanita. Keesokan paginya kami duduk lagi di teras berempat dengan dua adikku, sambil menyantap pisang rebus. Hari ini Rabu dan tanggal merah, dua adikku berbahagia layaknya seorang yatim melihat bapaknya bangkit dari kubur. Mereka mengajakku mengobrol, mengajakku bernyanyi dan main tebak-tebakan. Aku tahu, mereka mencoba menghiburku dengan kemudian memunculkan ide jalan-jalan ke pantai saat waktu sore. Aku terharu dan mensyukuri mempunyai dua adik perempuan yang berhati mulia yang juga glowing seperti seng.

Setelah ide itu muncul Ibu segera membuat nasi piramid dan dua puluh tidaktahu isi dan tiga puluh kue USB ala-ala Amerika. Pukul empat sore kami jalan ke pantai dan menggelar tikar di bawah pohon kelapa. Dan adik-adikku melempar tebak-tebakan.

“Minuman apa yang nikah diam-diam? Nutrisiri.”

Si bungsu terpingkal-pingkal.

“Kenapa matahari tenggelam? Karena ngga bisa berenang.” Kali ini aku yang terpingkal-pingkal.

Adikku yang satunya tidak mau kalah. “Minuman apa yang taat agama? Nutrisyar’i.”

Lalu tiba-tiba Ibu juga lempar tebak-tebakan.

“Siapakah laki-laki yang ada di sana?” Ibu menunjuk ke suatu arah.

“Yang mana, Bu?” Tanya adikku yang bungsu.

“Oh itu suaminya Kak Perling, Bu.” Jawab adikku yang satunya. “Lah itu yang dibawanya bukan Kak Perling. Siapa ya?”

*Penggalan puisi Avianti Armand, yang menginspirasi cerita ini.[]
 
 
 
 
 
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.



Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top