Musawwadat, Tali Penghubung Ulama Nusantara dan Mesir

Oleh : Ismunandar*

Sumber : Google.com

Indonesia, menjadi negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Di samping itu, Indonesia merupakan negara yang masih mempelajari kitab turats melalui ulama-ulama di berbagai daerah masing-masing. Terlebih sebagai mahasiswa di salah satu universitas Islam tertua dunia, yaitu Al-Azhar, Mesir. Tempat yang kaya akan ilmu pengetahuan, sejarah, dan tempat-tempat percetakan kitab dalam berbagai macam ilmu. Sudah patutnya bagi kita untuk mencari asal usul percetakan kitab-kitab yang diajarkan di Indonesia dan keterikatan sanad antara ulama di kedua negara ini.

Tulisan ini akan lebih difokuskan kepada ulama dan karyanya di wilayah Aceh dan Melayu saja. Adapun beberapa pembahasan tersebut, yaitu awal mula tulisan Jawi, Aceh dan Melayu. Kedua, ulama dan karyanya yang paling awal tercatat dalam bahasa Aceh dan Melayu. Ketiga, hubungan sanad ulama Aceh dan Melayu dengan ulama Azhar. Keempat, karya ulama Aceh dan Melayu yang pernah dicetak di Mesir dan masih dalam bentuk musawwadat (Karya mentah).

Sejarah awal mula tulisan Jawi, Aceh, dan Melayu di nusantara berhubungan dengan tibanya Islam pertama kali di Tanah Rencong. Semua sejarawan telah sepakat bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui Aceh. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang kapan dan di daerah mana Islam pertama kali tiba di Aceh. Apakah itu di Banda Aceh, Samudra pasai, Peureulak atau di Aceh Singkil.

Banyak sekali teori mengenai hal ini, adapun teori yang termasyhur adalah melalui pedagang muslim Gujarat, India. Teori kedua mengatakan dari Iran dengan versi Syiah. Selanjutnya, ada teori dari dinasti Mamalik, Ibnu Batutah dari Maroko dan lain sebagainya. Namun hal ini dapat dibuktikan dari dua tinjauan, batu nisan dan karya tulis ulama terdahulu.

Dari segi batu nisan, yang paling mutakhir dan berdata melalui buku yang ditulis oleh Dr. Husaini Ibrahim MA, seorang guru besar bidang arkeolog di universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Dengan hasil disertasi S3 beliau ini membuktikan bahwa Islam masuk ke Aceh sebelum adanya Kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan penemuan batu nisan di makam seorang perempuan yang bertempat di kampung Pande, Banda Aceh. Batu nisan ini diperkirakan berusia setengah abad lebih tua dari Kerajaan Samudra Pasai. Adapun Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada tahun 1267-1564 M, dengan raja pertamanya Sultan Malikussaleh. Hal ini dibuktikan juga dengan perjalanan Ibnu Batutah ke Aceh pada abad ke-14 dan menetap selama 15 hari. Ia melihat masyarakat di sana sudah beragama Islam dengan akidah Asy’ari dan bermazhab Syafi’i.

Dari segi karya tulisan, ada beberapa pendapat tentang awal mulanya Islam di Aceh. Pendapat yang paling kuat adalah pada abad 16, yaitu Ketika seorang Qadhi al-Qudhat Aceh Syekh Abdurrauf as-Singkili yang mengarang kitab dalam ilmu fikih bernama Mir’atu ath-Thullab dengan bahasa Melayu. Ada juga Syekh Hamzah Fansuri sebagai satrawan pertama Melayu meninggalkan karya di bidang syair dengan bahasa Melayu.

Terkait karya ulama yang paling awal tercatat dalam bahasa Aceh dan Melayu, ada satu buku hasil kerjasama universitas Tokyo dengan profesor arkeolog Indonesia, Maman Fathurrahman dan maktabah Teungku Chiek Tanoh Abee, menyebutkan ada 8000 koleksi buku berbahasa Melayu. Sekarang sebagian manuskrip yang paling berharga tersebut sudah tidak ada lagi di Aceh melainkan tersebar ke berbagai perpustakaan universitas yang ada di Jepang, Amerika, Irlandia Utara, dan universitas Leiden, Belanda. Dan yang disebutkan saat seminar hanya beberapa tokoh, seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili dengan karyanya Mir’atu ath-Thullab dan Turjuman al-Mustafid sebagai tafsir bahasa Melayu pertama dalam dunia Islam. Dan juga Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri dengan karya beliau Siratul Mustaqim yang berbahasa Melayu. Untuk lebih banyaknya lagi, kita bisa melihat ketika pameran dibuka.


Hal ketiga yang dibahas adalah hubungan sanad ulama Aceh dan Melayu dengan ulama Azhar. Terkait sanad, Ustaz Aridho mengingatkan Kembali sebagai mana perkataan kata Syekh Mustafa Abu Zaid bahwa ilmu terbagi kepada ilmu dirayat dan riwayat. Kalau ingin memilih, bagusnya memilih kepada dirayat atau pemahaman dulu. Namun, dengan mengetahui keduanya tentu sangat baik karena dengan mengetahui riwayat tentu kita akan mendapat keberkahan lebih. Beliau menambahkan, terkait tiga kelebihan agama Islam dibandingkan agama lain yaitu ada pada nasab, irab (perubahan kalimat dalam bahasa Arab), dan sanad. Beliau pun menyebutkan satu buku karya Ustadz Adhi Maftuhin namanya Sanad Ulama Nusantara. Di dalamnya membahas 170 kitab tentang fikih, akidah, dan tema akhlak yang mana sanadnya kebanyakan bersambung kepada ulama Azhar dan semua kitan-kitab itu pun diajarkan di nusantara. Dalam ini, Ustadz Adhi Maftuhin lebih banyak membahas tentang sanadnya dengan KH. Abdul Manan Dipomenggolo kakek dari Syekh Mahfudz bin Abdullah Tremas, sahabat semasa beliau yaitu Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani. Ada juga ulama yang bersambung dengan ulama Azhar walaupun tidak pernah belajar ke Azhar, yaitu Abu Hasan Krueng Kalee. Tetapi, bersambung sanad keilmuannya ke Syekh Muhammad Amir al-Kabir beliau adalah guru dari Imam al-Bajuri.

Adapun ulama Azhar, Syekh Usamah al-Sayyid al-Azhari mempunyai karya kitab bernama Mausu’ah A’lam Azhari, sebagai ensiklopedia biografi ulama Azhar di dua abad, 14 dan 15 hijriah. Kitab tersebut mempunyai 10 jilid, jilid pertama membahas tentang manhaj azhari mengkaji bahkan sampai peci azhari, surban putih, dan tarikan hitam di peci. Dalam jilid ke-2 sampai ke-9 isinya biografi dan di jilid terakhir barulah daftar isi. Dan yang menjadi standar ulama yang dicantumkan adalah ber-manhaj azhari, jelas gurunya, karyanya dan politiknya, sebegitu detailnya.

RIhlah Ilmiah Syeikh Usamah Sayyid AL-Azhari ke sekretariat MAPESA dan PEDIR Museum (Sumber : https://mapesaaceh.com)
Dalam jilid ke-2 ada dua ulama nusantara yang disebutkan, yaitu Habib Abdurrahman Basya bin Muhammad az-Zahir (Syihabuddin Ba’lawi). Beliau adalah Amir bilad Aceh atau wakil perdana mentri Aceh kala itu. Beliau semasa dengan Imam Dardir dan juga Imam Murtadha Zabidi dan banyak ulama besar Azhar, alhamdulillah beliau bersanad ke Imam al-Bajuri. Tokoh kedua yaitu ulama dari tanah Jawa, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani asy-Syafi’i. Di jilid ketiga masih disebutkan ulama nusantara lain sekitar dua tokoh, jilid ke-4 ada satu tokoh, jilid ke-5 ada dua tokoh, sampai jilid ke-9 disebutkan ulama yang paling dekat dengan kita, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Terakhir yang dibahas adalah karya ulama Aceh dan Melayu yang pernah dicetak di Mesir dan masih dalam bentuk musawwadat. Sebagiannya seperti yang telah ditunjukkan dalam pameran musawwadat yang di adakan oleh PMIK dan sebagianya seperti Siratul Mustaqim, Aqidatun Najim dari Syekh Abdurrauf as-Singkili sampai kepada ulama Pattani dan masih banyak lagi. Adapun beberapa kolektor nusantara yang masih menuntut ilmu di Mesir dan banyak mengoleksi karya-karya musawwadat itu adalah Ustadz Miftakhudin Wibowo, Ustadz Nurul Hadi dari Perak dan Ustadz Aridho Hidayat Alif. []

*Penulis merupakan pemenang Lomba Menulis Pameran Musawwadat Ulama Nusantara yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK).

Editor : Muhammad Farhan Sufyan

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top