Mesir, Saksi Perjalanan Panjang Cucu Perempuan Rasulullah Saw.

 Oleh : Zia Urrahman*

Sumber : Dokumen Pribadi

Kita mungkin sudah sangat akrab dengan nama dua cucu baginda Rasulullah Saw., yaitu sayyiduna Hasan dan sayyiduna Husein ra. Namun, luputkah kita untuk tahu bila Rasulullah Saw. juga mempunyai cucu perempuan, dan pula merupakan buah hatinya Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra dan Sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra.

Ia lebih muda setahun dari Sayyiduna Husein ra., dan 2 tahun dari Sayyiduna Hasan ra. sebagai saudara kandungnya, mengikuti riwayat yang menyebutkan bila ia lahir pada tahun 5 H, dan ada yang mengatakan setahun setelahnya. Kala ia masih kecil, Rasulullah Saw. sangat mencintainya, pernah suatu hari ia didekap serta dipeluk, dan Rasulullah Saw. meletakkan wajah mulianya pada wajah cucunya tersebut. Akan tetapi tiba-tiba saja beliau meneteskan air matanya hingga membasahi janggutnya.

Lantas Sayyidah Fathimah ra. yang melihat akan hal itu bertanya, "Duhai Ayahku, kenapa engkau menangis?".

Rasulullah Saw. pun menjawab, "Setelah kepergianku nanti, cucuku ini akan dihadapkan dengan beragam musibah yang menimpanya". Mendengar hal itu, Sayyidah Fathimah ra. juga ikut menangis, karena ia tahu bila Ayahnya tidak akan pernah mengucapkan suatu hal melainkan itu adalah sebuah kebenaran daripada wahyu yang disampaikan oleh Allah Swt.

Cucu perempuan Rasulullah Saw. dibalik kisah di atas adalah Sayyidah Zainab bintu Sayyiduna Ali, ibunya adalah Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra ra., dan ia kerap disapa dengan nama Sayyidah Zainab Al-Kubra ra.

Kesedihan pertama yang menimpanya ialah saat berpisah dengan kakeknya, Rasulullah Saw. yang sangat ia cintai, bahkan segenap alam pun mencintainya, kala beliau mesti pamit dari dunia ini serta menghembuskan nafas terakhirnya, di usia Sayyidah Zainab ra. saat itu yang masih 6 tahun.

Enam bulan setelahnya, giliran Ibundanya, Sayyidah Fathimah ra. yang pamit menghadap Rabb-nya, meninggalkannya sebagai seorang anak perempuan yang mesti tetap tegar tanpa adanya kasih sayang seorang ibu di sampingnya.

Ia pun terus tumbuh menjadi seorang perempuan yang sangat taat dalam beribadah kepada Allah Swt., tuntunan kakeknya ialah pedoman dalam menyembah-Nya. Sayyidah Zainab ra. merupakan cerminan dari seorang muslimah yang serasi antara keindahan akhlak dan rupanya. Ia dikenal sebagai sosok pribadi yang sangat pandai dan cerdik, hingga tak ayal, sekaliber ayahnya Sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra. yang bergelar “Babul Ilmi” saja sering sekali meminta pandangannya dalam beberapa permasalahan, begitupun kedua saudaranya Sayyiduna Hasan dan Sayyiduna Husein ra.

Selain dikenal dengan prinsip agamanya yang teramat teguh, sosok Sayyidah Zainab ra. juga masyhur akan penguasaannya terhadap ilmu lainnya, seumpama balaghah, dsb, hingga banyak lahir darinya bait-bait syair yang begitu indah dan luar biasa.

Sayyidah Zainab ra. terus tumbuh sebagai perempuan yang sangat tabah, yang tidak peduli pada seberapa perih musibah yang mesti ia hadapi. Takdir pun mempertemukan dirinya dengan anak pamannya yang bernama Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai seorang kesatria perang nan tangguh lagi mempunyai kemuliaan yang begitu banyak. Hal ini seiras dengan kisahnya dibalik kelahirannya, sebagai anak pertama kaum muslimin yang lahir dalam peristiwa hijrah ke Habasyah. Ia lahir di tengah kondisi Islam masih lemah, yang terusir bersama ayah dan ibunya ke negeri orang, dan itulah hal yang kemudian membentuk ketegaran hidupnya sebagai kesatria tangguh di medan perang.

Berselang beberapa tahun, kala Sayyidah Zainab ra. beranjak memasuki usianya yang ke 35 tahun, musibah pun kembali hadir menghampirinya tatkala Ayahandanya, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib, sebagai Khulafa Ar-Rasyidin terbunuh di tangan salah seorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam, setelah ditikam dengan pisau berlumur racun sesaat ketika beliau sedang mengimami salat subuh berjamaah di kota Kufah.

Kini kedua orang tuanya telah tiada, tetapi itu semua tidak lantas membuat semangatnya menatap kehidupan ini tenggelam dalam kesedihan. Ia telah belajar banyak dari sosok kakeknya, bila Allah Swt. senantiasa membersamai hamba-Nya yang sabar, dan ia sadar jika itulah perisainya kala itu, bila ia masih mempunyai Allah Swt. yang tidak akan meninggalkan hamba-Nya.

Tidak henti sampai itu, sepeninggal Sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra. kesedihannya pun semakin perih di saat saudaranya yang sangat ia cintai, Sayyiduna Hasan ra. diracun hingga kemudian sakit dan wafat. Sayyidah Zainab ra. adalah orang yang sangat dekat dengannya dan selalu berada di sampingnya, sampai dunia memisahkan mereka, dan menemani akhir hayat dalam kesakitan hingga menghembuskan nafas terakhir pada tahun 50 H.

Kini tinggallah ia bersama Sayyiduna Husein ra., kecamuk fitnah masa itu masih tidak kunjung berakhir, kita tahu bila Ahlu Bait adalah orang-orang mulia. Namun, berbeda dengan apa yang terjadi masa itu, mereka seakan asing daripada agama yang dibawa oleh kakeknya sendiri, Rasulullah Saw. Mereka difitnah serta dihalalkan darahnya, hingga puncaknya ialah peristiwa syahidnya Sayyiduna Husein ra. yang dipenggal di tanah Karbala pada tahun 61 H, lagi-lagi Sayyidah Zainab ra. adalah yang membersamainya kala itu, ia melihat sendiri dengan mata kepalanya saat pedang menghunus kepala mulia saudara kandungnya, Sayyiduna Husein ra., dan alangkah sulit masa itu untuk dikisahkan, membekas dalam ingatan Sayyidah Zainab ra.

Kini ia sendiri mengarungi hidup tanpa keberadaan Sayyiduna Hasan dan Sayyiduna Husein

ra. yang sangat ia cintai di sampingnya. Bertubi-tubi musibah ia hadapi, dengan penuh kesedihan ia pulang ke kota Madinah. Kota mulia yang menerima kakeknya kala diusir dari Mekah dahulunya. Sesampai di sana, segenap para Sahabat menangis saat mendengar dan melihat apa yang terjadi pada cucu kesayangan Baginda Rasulullah Saw. tersebut.

Kini seakan tidak ada lagi tanah yang bisa dipijaknya, keselamatan dirinya tidak ada lagi yang mampu menjamin selepas kepergian saudaranya. Kesedihan pun silih berganti kegundahan yang tiada bertepi, dan derai air mata yang terkucur seakan tidak kunjung berhenti.

Tidak ada lagi negeri yang aman untuk ia pijak kala itu, melainkan tanah nan jauh yang belum pernah dijejaki, dekat ke Afrika dan merupakan gerbang masuknya, keislaman mereka memang baru, bukan semenjak masa kakeknya, akan tetapi di masa Sahabatnya, Sayyiduna Umar bin Khattab ra.

Tanah itu ialah tanah dari Buyutnya Nabi Ibrahim As. dulu pernah berpijak, dan darah yang mengalir dalam dirinya ialah nasab daripada Nabi Ismail As. yang merupakan anak dari salah seorang perempuan mulia negeri itu, Sayyidah Hajar yang menikah dengan Nabi Ibrahim As.

Negeri yang jauh yang sebagian besar wilayahnya berada di Afrika Utara itu adalah Mesir, ia adalah negeri yang bergelar dengan tanah para Nabi, cinta mereka pada ahlu bait seakan fitrah yang mengalir dalam detak nadi setiap mereka. Tanah itu memang asing buat Sayyidah Zainab ra. Namun, tidak kala ia telah sampai disana pada permulaan bulan Sya'ban tahun 61 H.

Mengetahui akan kehadiran cucu Rasulullah Saw., berhamburan penduduk Mesir yang datang menunggunya, sampai beberapa riwayat menyebutkan bila mereka keluar dari rumahnya tanpa beralaskan kaki, karena mereka tahu bila setiap butiran debu dan tanah di negeri mereka akan mulia dengan kedatangan serta pijakan cucu kekasih Allah Swt. sebagai manusia, bahkan ciptaan-Nya yang paling mulia.

Tangis haru pun pecah sesampai Sayyidah Zainab ra. di Mesir. Dari batas perbatasan Mesir, tepatnya di Kota Bilbeis, Provinsi Syarqiyah hari ini, ia disambut seumpama kala pertama kali Rasulullah Saw. menginjakkan kakinya ke kota Madinah.

Ia pun diantar menuju istana gubernur Mesir yang bergelar dengan “Al-Hamra Al-Quswa”, karena keindahannya di kawasan Qantaratu As-Siba', tepatnya di Basatin Az-Zuhri yang dikenal sekarang dengan nama Hayy Sayyidah Zainab. Sahabat dari kakeknya, Maslamah bin Mukhallad Al-Anshari ra. yang kala itu menjabat sebagai gubernur Mesir telah lama menunggunya, bila dulunya istana tersebut ialah tempat menetap dan istirahatnya. Namun sesampai Sayyidah Zainab ra. di Mesir, istana itu dihadiahkan kepadanya sebagai tempat menetap insan mulia dari keturunan sahabatnya tersebut.

Melihat perlakuan penduduk Mesir yang begitu gembira dan sangat memuliakan dirinya, Sayyidah Zainab ra. pun berdoa untuk penduduk negeri tersebut, dan doa ini terukir indah di seluruh pelosok Mesir sampai saat ini, Sayyidah Zainab ra. berujar dalam doanya,

"يا أهلَ مصرَ، نَصَرْتُمُوْنَا نصرَكم اللهُ، وآوَيْتُمُوْنَا آوَاكُم اللهُ،

وأَعَنْتُمُوْنَا أعانَكم اللهُ، جعلَ اللهُ لكم مِنْ كلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجَا ومِنْ كلِّ هَمٍّ فَرَجَا."

“Wahai penduduk Mesir, (hari ini) kalian telah menolong kami, semoga Allah Saw. juga senantiasa memberikan kalian pertolongan-Nya, kalian juga telah menaungi dan memberikan kami tempat tinggal, semoga kelak Allah Swt. pun menaungi kalian (seumpama kalian menaungi kami), pula kini kalian telah banyak membantu kami, semoga kelak Allah Swt. juga membantu setiap (masalah) yang kalian lewati. Semoga Allah Swt. jadikan setiap kesempitan yang kalian hadapi jalan keluarnya, pula segala kegundahan yang kalian alami penawarnya.”

Setelah Bertubi-tubi musibah menimpa Sayyidah Zainab ra. hingga membawanya ke negeri nun jauh, jauh dari kakek serta ibundanya di Madinah, pula dari ayah serta saudaranya yang dikebumikan di tanah Irak. Meski negeri ini teramat jauh. Namun tidak dengan darah yang mengalir dalam dirinya, yang justru berasal Sayyidah Hajar, yang merupakan perempuan mulia asal Mesir.

Tidak sampai setahun Sayyidah Zainab ra. menghiasi kemuliaan Mesir dengan kehadirannya menyebarkan agama yang dibawa oleh kakeknya, mengajarkan penduduk Mesir apa yang dulu disampaikan oleh ayah, ibu, serta saudaranya daripada ajaran kakeknya, Islam.

Lahir di kota Madinah, pada 5 Jumadal Ula, di tahun kelima setelah hijrah kakeknya ke kota tersebut, dan menghembuskan nafas terakhirnya di kota Mesir pada 15 Rajab, tahun 62 H. Kamar serta istana yang dulu ditinggali oleh Sayyidah Zainab ra. ialah Masjid serta Pusara mulianya yang masyhur dan diziarahi oleh para peziarah dari berbagai belahan bumi sampai hari ini.

Menukilkan dari kitab "Maraqidu Ahli Bait fi Al-Qahirah", karangan Syekh Muhammad Zaki Ibrahim, gurunya para Masyaikh Al-Azhar hari ini, beliau berujar bahwa bila tempat dikebumikannya Sayyidah Zainab ra. yang dikenal dengan masjidnya hari ini adalah di antara tempat dikabulkannya tawasul serta mustajabah doa.


Di antara bait syair yang dinukilkan dari ucapan Sayyidah Zainab ra. sesampainya di Mesir, meski di lain riwayat ada yang menisbahkan bila bait tersebut ialah karangan ayahandanya, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib,

إذا ضَاقَتْ بك الأحوالُ يومًا * فَثِقْ بالواحدِ الأحدِ العليِّ.

“Kala segalanya terasa teramat sempit, nan sulit untuk engkau hadapi, ** percayakan (semuanya itu) pada Ia Yang Maha Esa dan Maha Tinggi.”

ولا تَجْزع ما نابَ خَطَبٌ * فكمْ للهِ من لُطْفٍ خَفِيٍّ.

“Janganlah resah pada segenap kesulitan yang singgah dalam takdirmu, ** Karena telah begitu banyak Allah Swt. (persiapkan untukmu dalam) lembutnya kebaikan-Nya yang tidak engkau sadari.” []

*Penulis merupakan mahasiswa pascasrjana, jurusan hadits, fakultas ilmu-ilmu Islam, univ. al-azhar, Kairo. 


Editor : Muhammad Farhan Sufyan

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top