Internasional Women’s Day; Bagaimana Kabar Kaum Perempuan Hari Ini?

Oleh: Siti Humaira*

Sumber Pngtree
Beberapa waktu yang lalu, kita baru saja memperingati Hari Perempuan Sedunia yang bertepatan pada tanggal 8 Maret. Bukan tanpa alasan, tentunya pengakuan dunia terhadap hari penting tersebut menyimpan banyak nilai-nilai esensial khususnya yang berkaitan dengan persoalan perempuan.

Menilik pada catatan sejarah, Hari Perempuan Sedunia lahir dari gerakan perjuangan oleh sekelompok perempuan di New York. Mereka turun ke jalan melakukan protes besar-besaran untuk menuntut peningkatan upah, hak pilih dan kondisi kerja yang lebih baik. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Maret tahun 1908.

Selanjutnya, pada tahun 1910, Konferensi Wanita Buruh Internasional kembali diadakan, pada rapat tersebut gagasan tentang Hari Perempuan Internasional pun diajukan, dan setiap tahunnya di setiap negara harus mengadakan perayaan Hari Perempuan untuk mendesak tuntutan perempuan dalam hal kesetaraan. Hingga pada tahun 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut merayakan Hari Perempuan Internasional yang berlanjut hingga hari ini dengan berbagai bentuk perkembangan dan corak perayaannya di setiap kalangan kaum perempuan, bahkan didukung oleh beragam komunitas secara umum.

Sebagai perempuan yang sedang menempuh pendidikan strata-1, melihat respon positif dan antusias dunia pada perayaan Hari Perempuan ini, membuat diri semakin bersemangat dan terpukau untuk terus mempelajari dan mengkaji pembahasan perempuan. Hal ini terlihat dari beraneka ragam poster ucapan yang tersebar di media sosial, tulisan-tulisan bertema perempuan, seminar-seminar yang mengangkat peran perempuan dan masih banyak lagi. Terlepas dari jauhnya proses perjalanan kaum perempuan yang menyuarakan hak dan tuntutannya, baik dari kalangan feminisme ekstrim maupun kelompok perempuan yang membawa ideologi keagamaan, semua tentunya punya tujuan yang sama, yaitu mempromosikan keadilan setiap gender, memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengingatkan bahwa mereka memiliki peran penting dalam semua aspek kehidupan.

Lantas, apakah seluruh perempuan di setiap sudut dunia hari ini sudah merasakan ruang yang diperjuangkan itu?

Jawabannya, tidak. Di samping postingan-postingan positif yang mempromosikan eksistensi perempuan, ternyata masih banyak protret yang merekam sadisnya perlakuan yang dirasakan kalangan perempuan di beberapa wilayahi. Yang terdekat dan paling sering kita lihat saat ini adalah yang dirasakan saudari kita di Palestina. Berapa banyak perempuan dari berbagai umur mengalami perihnya siksaan genosida dari tentara zionis? Padahal mereka hanyalah bayi tak berdosa, anak kecil, remaja, para ibu hamil sampai nenek-nenek yang tak berdaya. Mereka disiksa dengan kelaparan, bom, siksaan fisik, bahkan tidak sedikit yang meninggal dalam keadaan sangat tidak manusiawi. Di mana hal tersebut dapat kita saksikan dalam video singkat yang tersebar di twitter dan media sejenisnya.

Lebih dekat lagi, di dalam kehidupan sehari-hari, diskriminasi, budaya patriaki serta stigma negatif masih merajalela dan terus menjadi penghambat bagi perempuan bergerak. Ironinya, kebanyakan hambatan itu datang dari keluarga terdekat, bahkan dari kalangan kaum perempuan itu sendiri. Sikap saling menjelekkan, menjatuhkan dan menghina satu sama lain, membuat perempuan mengalami tekanan dan mematahkan potensi baik yang mereka miliki. Stereotipe buruk serta standar yang sembarangan ditetapkan, justru membuat kaum perempuan terjebak dalam lingkungan yang mematikan.

Bagaimana Al-Azhar Asy-Syarif Mengangkat Kedudukan Perempuan?

Mengangkat peran perempuan sesuai tuntunan koridor Islam adalah perkara yang terus diagungkan oleh Al-Azhar Asy-Syarif. Sebagai instansi pelajar muslim yang berasaskan moderasi, Al-Azhar Asy-Syarif ikut berpartisipasi dalam peringatan al-Yaum al-Alamiy li al-Mar`ati atau Hari Perempuan Sedunia.

Sumber Facebook Al-Azhar
Melalui postingan khusus, Al-Azhar mengajak kita kembali mengenal peran perempuan dalam kehidupan, baik sebagai ibu, saudara perempuan, anak perempuan dan istri. Dengan mencantumkan ayat-ayat dan hadist yang menunjukkan kemuliaan perempuan, memperlihatkan betapa Al-Azhar mendorong umat hari ini supaya peduli dan mengerahkan perhatian besar untuk kedudukan, hak-hak serta perlindungan perempuan. Hal ini tentu perlu ditanamkan dalam diri setiap perempuan yang mana nantinya akan menjadi pendidik generasi, serta harus disadari oleh laki-laki selaku kaum yang hidup berdampingan dengan perempuan.

Tidak hanya itu, Al-Azhar telah memperkenalkan urgensitas peran perempuan melalui atmosfer keilmuan yang secara bebas ditempuh oleh setiap pelajar perempuan. Demikian pula di ruang publik, Al-Azhar memberi panggung serta kursi terbaik untuk perempuan guna meningkatkan potensinya dalam bidang yang diminati. Seperti yang kita kenal, Dukturah Nahla al-Saidi, perempuan yang dipilih sebagai penasehat Grand Syaikh al-Azhar dalam urusan mahasiswa asing sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Islam.

Pada bulan Januari lalu, saya berkesempatan menghadiri seminar Woman Talk yang diadakan oleh komunitas Gusdurian Kairo pada acara haul Gus Dur yang ke-14. Turut hadir para perempuan yang aktif berkontribusi dalam dunia publik, di antaranya ada Ibu Alissa, putri pertama Gus Dur, kemudian Ibu Dian Ratri, perwakilan diplomat dari KBRI Kairo, serta Dukturah Nahla al-Saidi guru kita bersama. Melalui pembawa acara, Ustazah Dua Ahmad, dengan apik menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Arab dan sebaliknya, benar-benar membius perhatian dan menumbuhkan rasa kagum kepada tokoh-tokoh perempuan di depan sana.


Pada momen tersebut, Dukturah Nahla menyampaikan beberapa poin penting dalam meluruskan persepsi yang salah pada beberapa teks agama yang justru tersebar dan diamalkan dengan keliru oleh umat islam sendiri. Pertama, Dukturah Nahla menjelaskan konsep qawwamah (kepemimpinan) yang selama ini dipahami secara mutlak bahwa laki-laki berkuasa secara penuh atas perempuan. Padahal, maksud qawwamah di sini adalah tanggung jawab melindungi dan mengayomi perempuan pada perkara mengurus keluarga, yang mana pada banyak perkara lainnya hubungan antara lelaki dan perempuan harus berasaskan musyawarah, bukan menindas satu sama lain.

Selanjutnya, pemahaman hukuman memukul istri yang membangkang terhadap suami (nusyuz). Dalam hal ini, hukuman pukulan bukanlah indikasi bahwa suami berhak memukul istri pada setiap keadaan yang menyalahinya. Hukuman pukul ini tentunya memiliki rambu-rambu tersendiri, tidak bersifat menyakiti dan merupakan langkah paling akhir yang bisa dilakukan suami terhadap istri yang melampaui batas agama. Namun, hal ini dipahami dengan keliru dan menyebabkan banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dikarenakan pola pikir suami yang merasa berhak melakukan hal tersebut sesuai kehendaknya.

Kemudian, mengenai perkara independensi keuangan, dalam islam perempuan memiliki hak untuk bekerja dan bebas secara finansial, di samping melaksanakan kewajiban sebagai istri, tanpa dibebani keharusan menafkahi keluarga. Adapun jika ia hendak berkontribusi, maka itu dihitung sedekah.

Yang terakhir, perkara perempuan bepergian dengan mahram, tentunya ini bertujuan melindungi perempuan saat melewati medan perjalanan. Sebagaimana kita ketahui, transportasi dan kondisi pada masa itu masih berbahaya dan mengancam keselamatan pengembara, terlebih bagi kaum perempuan. Maka ketika ancaman itu telah hilang di masa sekarang, seperti mudahnya transportasi dan jaminan keamanan yang tak lagi sukar didapatkan, perempuan pun diperbolehkan bersafar tanpa mahram, tentu dengan nilai-nilai yang menjaga kehormatannya.

Masih banyak fikrah-fikrah yang membahas isu perempuan, bahkan sejak dahulu pembahasan perempuan selalu menarik untuk dibahas. Dari rintangan dan permasalahan itulah yang menjadi kekuatan kaum perempuan untuk berdiri hingga saat ini. Harapannya, kita mampu mengikis perlahan stigma yang membatasi gerak perempuan atau standar yang menetapkan bahwa perempuan hanya mampu di bidang domestik; dapur, sumur dan kasur. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan tentunya harus menguasai life-skill tersebut, tanpa menandai bahwa perempuan harus begini atau lelaki harus begitu, kembalikan standar kemanusiaan itu kepada fitrahnya, bahwa kita setara dalam bidang sosial, pendidikan, maupun pekerjaan. Bahwa baik perempuan maupun laki-laki merupakan makhluk yang sama dari asal usul penciptaan, nilai kemanusiaan, pahala dan siksa serta tanggung jawab pidana. Bahwa laki-laki maupun perempuan, mampu berperan sesuai posisi yang dengannya mereka diciptakan. Tanpa menyalahartikan makna setara dan mendobrak batasan-batasan yang ada.

Dengan memahami nilai-nilai moderasi yang diajarkan agama, tentunya menjadi privilege tersendiri bagi kita sebagai umat islam secara umum dan anak-anak Al-Azhar secara khusus, untuk mengangkat derajat perempuan dengan tidak menciptakan petak petak pembatas sekaligus tanggung jawab besar untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang benar bagi kaum Muslimin. Dengan harapan agar tidak ada lagi perspektif yang salah dalam memahami teks-teks agama guna mewujudkan peradaban islam yang cemerlang di masa yang akan mendatang.

*Penulis merupakan mahasiswi tingkat II Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Editor: Fadhila Talia Salsabila

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top