ACEH PUNGOE
Oleh: Muhammad Najid Akhtiar*
Orang Aceh mana yang tak murka dilontarkan kata “pungoe”? Apalagi kalau dibalas: “Yah kah pungoe!” Lalu dibalas: “Mak kah!” delapan puluh tujuh persen dapat dipastikan akan terjadi baku hantam.
Pungoe merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk membahasakan seseorang yang melakukan hal-hal di luar batas kewajaran atau akal sehat. Dalam Bahasa Indonesia, kalimat ini disepadankan dengan kata “gila”. Bahasa Inggrisnya “Crazy”. Bahasa Arabnya “Majnun”.
Pungoe. Bagi siapapun yang mengedit tulisan ini, mohon jangan miringkan kalimat ini; karena istilah tersebut selayaknya sudah ada di KBBI. Seperti kata pepatah; Pangsa menunjukkan bangsa. Kelakuan kata menunjukkkan asal dan rendah tinggi budi pekerti. Pungoe sudah melekat di lebel bangsa Aceh bahkan sebelum Indonesia ada.
Moorden. Itu Bahasa Belandanya. Itulah asal usul kenapa Aceh itu disebut pungoe. Tiga puluh satu tahun, demikian angka yang tercatat dalam Sejarah tentang lamanya kecambuk Perang Aceh.
1873, kompeni mulai menyerang kesultanan. Di bawah pimpinan Kohler, Belanda sok asik sampai menyerbu dan membakar Masjid Raya. Tak perlu waktu lama untuk membuat mereka sadar kekeliruan mereka bermain-main di rumah Tuhan. “Ya Tuhan, aku kena.” Ucapan terakhir Kohler kala dadanya dirobek peluru itu sampai kini masyhur di telingan-telinga.
1874, Belanda berhasil menduduki Koetaradja dan mendeklarasikan kemenangan. Kiranya gampang. Tidak semudah itu Van Swieten! Meskipun ibu kota berpindah-pindah, pemerintahan Aceh masih berjalan mapan.
1881, perang dilanjutkan secara bergerilya. Sistem perang model ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Siapa pula yang tidak kenal Teuku Umar, Panglima Polem dan Cut Nyak Dhien? Bersama Sultan Daud, perjuangan mereka meneruskan perlawanan Sultan Mahmud Syah yang terbunuh di masa awal perang membuat nama mereka meusyuhu ban sigom donya.
1896, masa-masa inilah istilah Aceh Moorden mulai muncul di khalayak. Para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perorangan. Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang Belanda, tak kira ia serdadu maupun bukan. Aksi pembunuhan gila ini dilakukan di mana saja baik di jalan, taman-taman bahkan di barak Kompeni sendiri.
Tak perlu ditanyakan lagi apa yang menimpa pelaku pembunuhan nekad ini setelah itu. Akibat adanya pembunuhan nekad -yang dinamakan rakyat Aceh dengan poh kaphe- ini menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh harus berpikir berkali-kali.
Mereka tidak habis pikir, bagaimana seseorang yang hanya bermodalkan rincong diselipkan dalam sarung atau selimut berani melakukan penyerangan terhadap orang Belanda, bahkan di tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Bagi mereka perbuatan itu gila yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras.
Bahkan untuk mengkaji fenomena ini, mereka mengadakan penelitian psikologis khusus terhadap orang orang Aceh. Pungoe jenis apakah yang diidap orang Aceh? Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut termasuk gejala-gejala sakit jiwa. Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi di masa yang sama juga mungkin keliru; mengingat adanya fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Aceh Pungoe tersebut. Menurut mereka kegilaan ini berasal dari rasa tidak puas akibat ditindas oleh Belanda.
Singkat cerita, Belanda yang frustasi kemudian menggelar kampanye bumi hangus yang berujung pada kehancuran ratusan desa dan kematian ribuan warga Aceh.
1903, Belanda sudah di ambang kemenangan atas pemerintahan Aceh, tetapi pertempuran pertempuran masih terus berlangsung secara sporadis hingga 1914, lya, terus berlangsung, dan anak mudanya tidak lain tidak bukan leluhur kita yang pungoe itu.
Aceh Pungoe Pasca Perang Aceh
1945 Indonesia merdeka. Empat puluh satu tahun setelah Perang Aceh usai Apakah kepungoeän rakyat Aceh ikut selesai? Rasanya ceritanya terlalu masyhur untuk disalin kembali di tulisan ini.
1953 ada Negara Islam Indonesia Aceh. 1976 ada Negara Aceh Sumatera. Oh, mungkin pembaca lebih mengenalnya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan pembebasan Aceh yang kemudian mengundang pemerintah ganteng Indonesia dua kali menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
2004 Aceh dilanda Tsunami. 2005 MoU Helsinki. 2007 Irwandi. 2012 Zaini. 2017 Irwandi lagi. Okefix. Dua puluh tahun (2024) setelah Aceh didamaikan, masihkah Aceh sepungoe dulu?
Lirik punya lirik, selidik punya selidik, ternyata jumlah orang pungoe di Aceh semakin tinggi. Di luar orang pungoe asli yang berkeliaran di jalanan dan sebagian besarnya sedang diobati di rumah sakit jiwa, ternyata banyak sekali orang pungoe yang lahir di bumi Aceh bertuah. Sayang seribu sayang, kepungoean yang dimaksud tidak sama dengan kepungoean yang kita idamkan.
Anak-anak yang berani mengangkat suara di depan ayah ibunya. Membantah wali penjaga dan gurunya. Berani kurang ajar kepada yang lebih tua. Berbuat berbagai kepungoean yang bikin geleng kepala yang melihatnya. Sekali tepuk menangis juanya dia.
Ini merupakan sebuah kepungoean yang ironis. Berani sekali berbuat sesukanya tapi tak berani bertanggung jawab. Pungoe yang seperti ini -penulis lebih suka menyebutnya bangai- mungkin merupakan akibat kerasukan jin-jin Belanda yang gentayangan di negeri kita. Makanya dibilangin jangan keluar rumah di waktu Maghrib, tidak percaya. Jadi bangai deh akhirnya.
Tidak jarang pula kita temukan pemuda kita yang berkeliaran pungoe tak peduli siang malam. Duduk di berbagai sudut sambil main game pungoe berjamaah. Tak jarang pula kita dengar caci maki sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka. Mungkin lagi kalah. Tapi rasanya tak berhenti-henti pula mulut mereka memaki. Apakah mereka kalah selalu? Ataukah makian itu sudah menjadi zikir mereka pagi dan petang, tak kira susah dan senang, kalah dan menang?
Mungkin ini adalah akibat revolusi mental yang digaungkan oleh Pemerintah Indonesia. Saking meresapnya semangat perdamaian dengan Indonesia ke dalam jiwa, hingga mental rakyat Aceh begitu menjiwai menuruti pemerintah ikut berevolusi.
Ataukah orang pungoe itu yang berani bermain parang di muka saudaranya? Membabat orang-orang yang tidak sesuai dengan selera? Berani semena-mena memijak kepala yang melawan kata? Aku orang Aceh! Aku keturunan Johan Pahlawan! Belanda paleh abeh kuusee, kugeulawa matee ban mandum Jawa. Jangan macam-macam denganku orang Aceh, sudah takdirku terlahir gila!
Demikian sekian sampel kepungoean yang sedang merajalela di bumi Aceh. Dipenuhi orang pungoe yang tak sadar diri. Oya benar, orang pungoe memang tak sadar diri. Suatu ironi yang hakiki.
Menuju Aceh Pungoe Sejati
Kalau kita kaji lebih dalam lagi kepungoean yang terjadi di masa penjajahan dulu, akan kita temukan kenyataan bahwa kepungoean itu tidaklah muncul tanpa landasan. Nyatanya, Aceh tidak pungoe lantaran sakit; Aceh justru pungoe saking sehatnya. Dengan bahasa lain; Aceh Pungoe bukanlah tindakan gila yang didasarkan oleh hilang akal, melainkan tindakan gila atas dasar kewarasan level dewa.
Kenyataan bahwa pembunuhan khas Aceh itu dinamakan poh kaphe, menunjukkan apa esensi dari pembunuhan itu sendiri. Kolonialisme Belanda kala itu bagi bangsa Aceh bukan hanya penjajahan terhadap ras dan suku, melainkan juga terhadap agama. Mereka membakar masjid. Mereka berbuat semena-mena kepada ulama. Maka tak heranlah ketika perang tersebut digaungkan kata fi sabilillah. Membunuh atau dibunuh. Bunuh si penjajah, maka berkuranglah satu kafir. Dibunuh oleh penjajah, maka bertambahlah satu syahid fi sabilillah.
Prang Sabie. Demikian rakyat Aceh melisankan peperangan tersebut. Tercipta berbagai syair dan hikayat perang yang dialunkan di gunung dan lembah. Mengobarkan semangat jihad yang menyala di dada. Membakar jiwa para perindu syahid. Menggebukan gairah kalbu membela agama. Sapu habis mereka yang kafir! Mereka hanya akan melahirkan generasi kafir kemudian meng-kafir-kan seluruh penjuru bumi.
Hal yang sama terjadi ketika berurusan dengan Pemerintah Indonesia. Yang membuat Aceh murka kepada pemerintah adalah keengganan mereka menepati janji membenarkan Aceh berdiri dengan syariatnya. Yang membuat masyarakat berang adalah kezaliman para tentara Indonesia yang melampaui batas. Yang membuat rakyat bangkit adalah gaungan yang menyeru untuk membela Islam menggapai ridha Tuhan. Memanggil untuk menggapai cita; mendirikan negara Islam.
Maka terjadilah kepungoean sebagaimana yang terjadi. Tak kira kah ia tentara, tak kira kah ia pejuang. Tak kira ia anak lelaki, tak kira ia perempuan. Semua menjadi pungoe dan menggila.
Darah tertumpah, nyawa melayang. Seiring jalannya waktu, betapa lama Aceh menjalani masa kelam. Andai kata mereka yang syahid kala itu kita tanyakan apa yang membuatmu pungoe, niscaya akan kita temukan intisari jawaban mereka: Allah. Tuhan seluruh semesta.
Allah dan Islam. Ridha Tuhan semesta alam. Bunuh aku. Ganggu anak-anakku. Namun kau nistakan Islamku, aku pungoe. Itulah pijakan pungoe orang Aceh.
Masa kini kalau ada yang berteriak dirinya hebat mampu taklukkan penentang bungkamkan lawan -aku Aceh, aku pungoe- selayaknya kita tanyakan, kau pungoe karena apa? Kalau pungoemu karena ego di dalam dada, sungguh itu tak ada harganya. Kalau pungoemu karena ganja dan narkoba, sungguh pungoemu tak punya wibawa. Kalau pungoemu karena ingin pamer ke orang-orang, sungguh aneh masa kini ternyata pungoe sudah menjadi prestasi yang dibangga-banggakan.
Kita lihat bangsa kita kini banyak diisi oleh pengecut. Tak punya capaian namun nyaring berbunyi. Bagaikan binatang penggonggong yang satu itu; suka mencari perkara, sekali sepak ciut nyalinya.
Janganlah sampai pemuda kita sibuk berbusung dada dengan masa lalu, tapi yang dilakukan di masa kininya justru bikin malu. Terawang punya terawang -begini terus- apakah bangsa ini punya masa depan?
Aceh dulu dikenal Serambi Mekah lantaran dijadikan tempat singgah bagi siapapun yang ingin berukun Islam kelima. Aceh kini dikenal tempat paling asik untuk membeli ganja, apakah Serambi Ganja cukup prestisius untuk dijadikan nama?
Sembilan belas tahun (2023) sudah Aceh damai. Rakyat Aceh sudah leluasa hidup bersyariat. Apakah hidup rakyat sudah benar-benar bersyariat? Sembilan belas tahun bukanlah masa yang singkat. Selayaknya Aceh sudah jauh berubah ke arah yang lebih hebat. Apakah Aceh benar-benar sudah berubah?
Sembilan belas tahun. Seharusnya Aceh sudah remaja dengan nurani dewasanya. Seharusnya orang hebat Aceh sudah menggila di panggung negara. Seharusnya orang pintar Aceh sudah tampil dengan terobosan gilanya.
Masih belum juga? Hanya satu pertanyaan yang perlu dijawab. Hoe ka ureueng pungoe Aceh?
*Tulisan ini merupakan Kolom el Asyi Edisi 137 Tahun XXV Jumadil Akhir 1440 H/ Maret 2019 M
Posting Komentar