Morphidhae
Oleh: Annisa Fitri Humaira*
![]() |
(Sumber: Pinterest.com) |
Matahari tampak mulai mencondongkan diri menuju barat, sambil memancarkan sinar oranye yang selalu ditunggu para opacraphile. Angin sepoi menerpa muka Asha yang kemerahan, karena udara dingin sedang menyelimuti kota Seoul. Gadis itu berjalan seorang diri, menyusuri taman, mencari tempat duduk dan menghindar dari pepohonan dengan daun penuh bulat-bulat, akibat dimakan ulat yang sedang menikmati masa metamorfosisnya. Sangat menggelikan.
Jauh ke dalam, Asha menyusuri taman. Hingga menemukan tempat yang indah, tapi sepi akan pengunjung. Terlihat bentangan sungai yang tenang, dan sebuah jembatan melengkung di atasnya, menjadi penghubung antara bagian daratan yang satu dengan yang di seberangnya. Gadis itu memilih duduk di salah satu kursi taman, menghadap sungai jernih yang memantulkan sinar keemasan dari mentari, sambil menikmati secawan hot coffe yang dibelinya tadi. Sangat menenangkan.
Setiap weekend, Asha memang sering menghabiskan sore di tempat itu, sambil memikirkan ide untuk tulisannya setiap minggu. Melihat sungai yang tenang, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Gadis itu pun mulai merangkai kata demi kata, membentuk aksara penuh makna.
***
Laut dan ombak merupakan hal yang tak terpisahkan. Namun, keduanya memiliki sifat yang berbeda. Laut dapat membuat banyak orang merasa tenang saat menyelam atau sekedar melihatnya di tepian pantai. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan ombak yang sering kali membahayakan manusia.
Walaupun begitu, aku masih setia menjadi pengagum hamparan biru itu, yang selalu menyelaminya di kala pagi, memandanginya di kala siang, dan menikmati keindahannya bersatu padu dengan langit di kala matahari ingin tenggelam.
Aku tak tau berapa ombak yang sudah menghantam. Namun, yang pasti, aku masih kokoh berdiri di sini, sebagai pengagumnya tanpa henti.
Asha mengambil ponsel, memotret tulisan kilat itu dan mengunggahnya di laman story hari ini, dan tak lama sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Ratu Gabriella, yang sedang melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di Singapura.
“Cieee... Coba aku tebak, pasti kata-katanya buat Iel, kan?” tanya Ratu.
“Hahaha, seperti biasa... You know me so well, Atu,” balas Asha.
“Oh jelas... Seorang Ratu gitu lho.”
Iel, panggilan kecil dari seorang lelaki bernama Elvano Gabriel, yang merupakan kembaran Ratu. Ketiganya berteman baik sejak kecil, karena rumah mereka yang bersebelahan. Namun, saat memasuki SMA, Iel dikirim orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di negara yang dikenal dengan ‘Negeri Gingseng’ itu. Asha yang juga memiliki impian untuk meneruskan pendidikan di negara yang sama, akhirnya menyusul setelah tiga tahun menyelesaikan masa seragam abu-abu di negeri tercinta.
Sejak awal keberangkatan, baik orang tua, ataupun Ratu, sama-sama menitip Asha kepada Iel. Mulai saat itu mereka kembali berkomunikasi dan berteman dengan baik. Namun, cinta datang tak memberi aba-aba. Sering terlibat organisasi bersama, perlakuan-perlakuan baik, hingga segudang kekaguman Asha terhadap lelaki itu, membuat nama Elvano Gabriel berhasil meraup tempat di hatinya. Namun, sampai kini, Asha belum berani mengungkapkan perasaannya itu dan hanya bercerita kepada Ratu.
“Btw, tulisan-tulisanmu selama ini bagus-bagus loh, Sha. Kenapa nggak coba nulis di suatu platform gitu, biar tulisanmu bisa dilihat orang ramai. Mana tau, entar dilirik penerbit, lumayan kan?” ujar Ratu.
“Ihhh, malu tau...,” balas Asha.
“Lah, ngapain malu? Emangnya kamu ngelakuin kesalahan?” tanya Ratu.
“Lagi pula, tulisanmu bagus loh. Percaya deh!” lanjutnya.
“Hmmm, oke deh, aku coba dulu. Tapi aku belum punya nama pena, kira-kira apa ya, yang bagus?” tanya Asha.
“Kamu lagi suka apa sekarang?” tanya Ratu.
“Hmmm, bingung sih. Paling aku lagi suka kupu-kupu sama senja aja,” jawab Asha.
“Kalau senja kayaknya udah biasa deh. Kupu-kupu, kayak kurang aesthetic gitu, nggak sih? Hmmm, apa ya?” ujar Ratu sambil memikirkan saran nama pena Asha.
“Eh, apa aku ambil nama salah satu jenis kupu-kupu aja kali, ya? “ tanya Asha.
“Nah, good idea!” seru Ratu.
Keduanya pun mulai mencari nama jenis kupu-kupu dan saling mengirim info yang didapatkan di ruang obrolan keduanya. Setengah jam berlalu, keduanya jatuh hati pada nama “Morphidae”, yang merupakan nama dari kupu-kupu kristal.
“Filosofinya apa ya? Masa karena aku suka kupu-kupu aja? Entar kalau nggak suka lagi, masa harus ganti nama pena?” tanya Asha.
“Alah, udah, itu urusan belakang aja. Sekarang, yang penting, kamu mulai nulis dulu, entar seiring berjalannya waktu, pasti kamu dapat sendiri filosofinya. Percaya sama aku deh!” seru Ratu.
Asha pun mengiyakan saran Ratu, dan mulai membuat akun pena untuk dia unggah tulisannya esok hari.
***
Sebulan berlalu, Asha tak pernah lupa untuk selalu meng-update ceritanya setiap dua hari sekali. Namun, akunnya tak pernah ramai dengan pembaca sampai saat ini, paling banyak mungkin hanya sekitar sepuluh orang. Gadis itu telah mengupayakan berbagai hal agar menarik pembaca melirik tulisannya, mulai dari mempromosikan di seluruh sosial media, hingga meminta Ratu untuk ikut menyebarkan link cerita kepada teman-temannya. Putus asa dengan karyanya, akhirnya dia memutuskan untuk hiatus mengunggah ceritanya di platform itu sejak hari ini.
Seminggu berjalan tanpa tulisan. Minggu ini Asha kembali mendatangi taman dan menghabiskan sorenya dengan termenung di tepian sungai, tanpa merangkai kata seperti biasanya.
Finding a way to recover...
Di tengah lamunan, terdengar nada dering panggilan masuk dari ponselnya, dan rupanya Ratu yang menghubunginya.
“Halo, Asha... gimana kabarnya?” Ratu mengawali pembicaraan mereka.
“Hai, Atu, i’m good,” jawab Asha dengan lemas.
“Are you sure? Kelihatannya tidak seperti yang kamu katakan,” ucap Ratu.
Asha terdiam.
“Ada apa, Sha? Coba sini, cerita sama aku,” ucap Ratu lagi ketika menyadari, sepertinya benar, kalau sahabatnya menyimpan sesuatu.
“Tulisannya nggak ramai yang baca, Atu,” ungkap Asha dengan sedih.
“Emang berapa orang yang baca?” tanya Ratu.
“Palingan sepuluh orang gitu.”
“Tapi, setiap hari nambah kan?” tanya Ratu lagi yang dibenarkan oleh Asha.
“Nah, itu bukti kalau ceritamu ada peluang besar untuk dibaca orang banyak loh, Sha! Kamu baru aja mulai nulis, wajar kalau baru sedikit orang yang baca, tapi melihat pembaca ceritamu semakin hari semakin nambah, bukti kalau setiap harinya ada yang ngelirik dan tertarik dengan ceritamu loh, Sha!” seru Ratu.
“Lagi pula, mau tahu, kenapa aku bisa sadar kamu lagi nggak baik-baik aja, sedangkan aku nggak sadar kamu menghilang dari akun tulismu?” lanjut Ratu.
“Lah, aku kirain karena kamu sadar. Terus, emangnya dari mana kamu tahunya?” tanya Asha yang penasaran.
“Kalau aku bilang, yang sadar itu sebenarnya Iel, karena dia selalu nunggu update-an ceritamu, percaya nggak?” tanya Ratu lagi.
“Ih, mana mungkin Iel baca ceritaku. Ngaco, deh.”
“Lah, nggak percaya? Coba kamu baca story-nya yang semalam deh!” Asha pun membuka story Iel dan terlihat gambar malam tanpa bulan ataupun bintang yang menyinari, dan terdapat tulisan singkat di bawahnya,
Malam ini aku terduduk diam sendiri, menatapi langit tanpa cahaya seperti hari kemarin. Entah ke mana perginya sang rembulan yang biasanya menerangi kegelapan bumi. Wahai kupu-kupu, tolong sampaikan pesanku pada dia yang menghilang, bahwa aku selalu di sini menunggunya tuk kembali, mendengarkan ocehan nyaring, tapi sangat menghangatkan hati.
“Kok kamu bisa bilang itu untukku? Mungkin aja dia sekedar gabut, dan akhirnya milih nulis?” ucap Asha setelah membaca tulisan Elvano.
“Heh, dasar nggak peka. Coba kamu lihat kata-katanya! ‘Pada dia yang menghilang’, kamu mengilang selama ini kan? Terus kata, ‘kupu-kupu’, kan itu simbol dari akun penamu. Dua hal itu aja, udah kuat banget ikatannya dengan kamu yang hiatus dari kepenulisan. Terus, tadi pagi itu, dia nanyain kamu ke aku, ‘Asha lagi nggak baik-baik aja ya? Kok dia udah nggak pernah update ceritanya lagi’, terus aku jawab, ‘aku juga nggak tahu, bahkan nggak sadar kalau Asha nggak update beberapa kali. Nanti deh, aku tanyain’, makanya aku bisa sadar,” jelas Ratu.
Asha speechless mendengar fakta yang dikatakan Ratu, tak menyangka ada yang benar-benar menunggu ceritanya update setiap hari, dan orang itu adalah Elvano yang juga orang yang dia sukai.
“Masih nggak percaya, kan?” tanya Ratu yang hanya dibalas anggukan oleh Asha, yang tak dapat dilihatnya.
“Makanya, ayok nulis lagi dong, Sha! Mungkin banyak lagi orang di luar sana, selain Iel, yang juga nungguin, tapi kamunya aja yang nggak tahu. Semua itu cuma butuh proses. Percaya deh sama aku, suatu hari nanti, pasti ada penerbit yang lirik karya kamu. Trust me!” seru Ratu.
“Tulisan kamu itu udah bagus banget loh, cuma yang namanya merintis sesuatu dari awal, nggak ada yang langsung sampai puncak, dong,” lanjut Ratu, masih terus menyemangati Asha.
“Oke, i’ll try again. Wish me luck, Atu. Thanks, ya, udah mau dengar keluhanku dan selalu support aku.”
“Sama-sama. Semangat Asha!!! NANTI KABARIN AKU KALAU ADA PENERBIT YANG LIRIK, YA!” seru Ratu dengan gembira saat mengetahui Ratu akan kembali menghidupkan akun penanya.
Panggilan berakhir, Asha pun berjalan menyusuri sisi lain dari taman itu, taman bunga, yang terletak tak jauh dari tempat yang sering dia kunjungi. Taman bunga itu sangat indah, karena dipenuhi oleh berbagai bunga warna-warni yang bermekaran indah. Namun, gadis itu jarang mengunjunginya, karena tempat itu selalu ramai dan membuatnya tidak fokus untuk menulis.
![]() |
(Sumber: Pinterest.com) |
Dia nikmati pemandangan indah di depannya sambil sesekali menyentuh kelopak bunga yang sangat menarik perhatian. Di tengah kegiatannya, seekor kupu-kupu hinggap di tangan gadis itu. Sangat cantik dan memukau. Dia menatap kupu-kupu itu dan membiarkannya menetap.
Sesaat terpana dengan keindahan kupu-kupu biru itu, dia tersadar akan satu hal; kupu-kupu yang indah adalah hasil dari ulat, sang perajin bolongan di dedaunan yang selalu gadis itu hindari saat berhadapan dengan pepohonan bagian depan taman. Lalu, dia mengaitkan hal itu dengan nama penanya, mungkin saja saat ini, dia sedang seperti para ulat yang tak ada seorang pun meliriknya. Namun, dia harus terus berusaha dan berkembang setiap harinya, agar bisa bermetamorfosis layaknya kupu-kupu indah yang disukai banyak orang.
Benar kata Ratu, bahwa dia harus menjalani saja dulu, hingga seiring berjalannya waktu, satu-persatu misteri akan terkuak sendiri. Sekarang, Asha bertekad untuk kembali menulis, banyak atau tidaknya pembaca, karena dia ingin menjadi seperti ulat yang berkembang menjadi kupu-kupu indah.
***
Detik demi detik berlalu, Asha berhasil menamatkan satu karyanya sebulan yang lalu. Kini pembacanya tak hanya puluhan, bahkan mencapai jutaan, yang gadis itu sendiri tak tau dari mana datangnya mereka semua. Sekarang saja, dia sudah ditagih untuk membuat cerita baru lagi. "Yang benar saja, lanjut cerita baru lagi. Napas dulu kali." Begitulah kira-kira gurauan Asha kepada para pembacanya yang meminta cerita baru.
Berbeda dengan weekend biasanya, hari ini Asha menghabiskan waktunya di rumah saja, membersihkan seluruh ruangan dan memasak. Malam harinya, selesai membereskan rumah dan sudah segar kembali sehabis mandi, gadis itu duduk di sofa, menikmati tayangan televisi, dan menyantap tiramisu cake yang dibuat tadi.
Baca juga: Nasihat Ruslan Effendy Untuk Penulis Pemula
Ting, terdengar notifikasi dari ponselnya. Asha segera membuka pesan tersebut,
Hai, Morphidae, kita dari Ganta Publisher sangat tertarik dengan karyamu. Jika berkenan, kami ingin mengajak kamu untuk berkolaborasi bersama kami. Kami tunggu kabar baiknya ya! Terima kasih.
Seperti itulah pesan yang gadis itu baca saat ini, sangat mengejutkan. Segera dia mengambil tangkapan layar pesan tersebut dan mengirimnya kepada Ratu. Dengan sangat bahagia dia mengabarkan, "Atu, akhirnya ada penerbit yang mau kerjasama denganku!!!"
Namun, sepertinya Ratu sedang tidak mengaktifkan ponselnya, terlihat dari pesan yang hanya menunjukkan simbol centang satu. Tak jadi masalah bagi Asha, dia pun keluar dari ruang obrolan keduanya dan mulai merangkai kata ucapan bahagia dan terima kasih untuk dua manusia yang dirasa sangat berjasa terhadap kepenulisannya, sehingga bisa sampai di titik ini.
Hai, kupu-kupu.
Teruslah mewarnai bumi, ya!
Malam ini, aku kembali dengan pesan yang harus kau sampaikan pada dua pribumi yang sangat berarti dalam hidupku. Ucapkan salam dan terima kasihku pada mereka, karena sudah menjadi alasan terbesarku untuk tetap berdiri dan bertumbuh lebih baik lagi.
Tulisan itu diunggah ke story yang hanya bisa dilihat oleh dua manusia spesial yang gadis itu maksud. Tak lama setelah dia mengunggah tulisan tersebut, terdengar nada dering panggilan masuk di ponsel Asha dan dia segera mengangkatnya.
“Asha, congrats, ya!!! Aaa... aku senang banget dengarnya, akhirnya doa dan mimpi yang beberapa bulan lalu itu langsung terkabulkan, ya,” ucap Ratu, mengucapkan selamat pada Asha.
“Terima kasih, Atu,” balas Asha.
“Btw, coba kamu lihat story terbaruku deh,” pinta Asha.
Ratu pun melihat story yang baru saja Asha unggah, dan membacanya sesaat.
"Aaa... jadi terharu. Itu pasti buatku, kan? " ucap Ratu dengan penuh percaya diri.
"Eitss, emang boleh se-percaya diri itu?" Asha terkekeh.
"Tapi nggak salah, sih," lanjut Asha
"Nah kan, emang naluri seorang Ratu Gabriella nggak perlu diragukan lagi," ucap Ratu dengan muka songongnya, yang mengundang tawa Asha.
"Sekali lagi, selamat, Asha. Ihhh... bangga banget!!! Rasanya terharu sekali bisa melihatmu sampai di titik ini; jadi penulis terkenal, yang karyanya dikenal seluruh Indonesia, bahkan sampai negara tetangga. Sekarang mah, bukan jadi kupu-kupu lagi, tapi beneran representasi dari Morphidae ada di kamu; indah dan berkilau. Once again, congratss Asha!!! " ucap Ratu penuh bangga terhadap pencapaian Asha yang sekarang, karena dirinya sangat tahu bagaimana sepak terjang sahabatnya di dunia kepenulisan, hingga bisa sampai di titik indah ini.
"Huhuhu, thanks, Atu. Terima kasih juga karena udah selalu support, dan ngeyakinin untuk terus nulis, sampai aku aja masih nggak nyangka bisa tiba di titik sekarang. Thanks for being in my life, Atu!!!" jawab Asha.
"Aaa... Jadi mewek, deh"
Keduanya pun terkekeh.
"Anyway, coba kamu lihat lagi story-nya. Kayaknya aku enggak nulis untuk satu orang aja deh," ucap Asha dengan muka tengil sambil menaik-turunkan alisnya.
"Hmmm, kalau ini udah bisa dipastikan dengan sangat yakin, siapa pemilik surat cinta ini yang sebenarnya," ucap Ratu sambil menatap malas pada Asha.
"Dasar, bucin!" Lanjutnya yang disambut tawa Asha yang kesenangan melihat sahabatnya kesal.
"Eh, tapi, kalau seandainya Iel lamar kamu sekarang gimana? " tanya Ratu.
"Aku akan jawab: "Panggil saja aku anak kecil, Paman, karena aku masih ingin mengembangkan diri dan meraih mimpi," ucap Asha sambil meniru suara salah satu tokoh kartun yang terkenal dengan slogannya, " Jangan panggil aku anak kecil, Paman!".
Kedua sahabat itu pun tertawa mendengar jawaban Asha yang diluar nalar.
*Penulis merupakan mahasiswi Universitas Al-Azhar, Kairo, jurusan Syariah Islamiyyah.
Editor: Siti Humaira
Posting Komentar