Ironisnya; Negative Thinking Bisa Membuat Orang Lebih Bahagia
Oleh: Nisa Kamila*
(Sumber: unsplash.com) |
Karena kegagalan yang mungkin hanya pernah terjadi sekali, mereka putus asa dan kehilangan harapan. “Apa gunanya berusaha? Toh, hasilnya tetap sama.” Mereka akan menghindari berbagai tantangan atau risiko, dan memutuskan untuk menetap di zona nyaman. Tentu saja hal ini membuat pribadi seseorang tidak berkembang. Jika seseorang sudah berperilaku seperti ini, ia akan menyebarkan energi negatifnya ke orang sekitar. Karena berbagai hal di atas, negative thinking sering kali dihindari dan dianggap tidak baik.
Lantas, apa maksud dari negative thinking bisa membuat orang lebih bahagia?
Kalimat di atas mengandung paradoks, kata 'negative thinking' dipasangkan dengan bahagia yang sudah jelas bertentangan. Sebelum membahas lebih lanjut negative thinking seperti apa yang dimaksudkan di sini, alangkah lebih baiknya mengenal dikotomi kendali terlebih dahulu.
Menurut buku Filosofi Teras, semua hal dalam hidup ada yang bisa dikendalikan dan ada yang tidak bisa dikendalikan. Berikut pembagiannya:
a. Hal yang di luar kendali
-
Tindakan dan opini orang lain. Kita tidak bisa mengendalikan tindakan dan opini orang lain terhadap kita. Meskipun sudah berbuat baik, mungkin tetap ada oknum-oknum yang tidak menyukai kita tanpa sebab.
-
Reputasi atau popularitas. Hal ini juga berkaitan dengan orang lain. Jadi, tidak bisa dikendalikan. Kita yang sebelumnya dikenal baik oleh khalayak orang, dalam sekejap bisa dibenci karena kesalahan berbicara dan lainnya.
-
Kesehatan. Mungkin orang berpikir bahwa kesehatan berada di bawah kendali kita, karena bisa dijaga dengan makan makanan yang sehat, rutin berolahraga, dan pengecekan rutin ke dokter. Tapi bagaimana jika tiba-tiba didiagnosis kanker yang disebabkan oleh gen atau terjadi kecelakaan ditabrak orang, misalnya, meskipun sudah sangat berhati-hati, hal ini terjadi di luar kendali.
-
Kondisi lahir, seperti jenis kelamin, orang tua, saudara, suku, kebangsaan, warna kulit, dan lainnya.
-
Cuaca, gempa bumi, wabah penyakit, peristiwa alam, dan lainnya.
-
Pertimbangan/judgement, opini maupun persepsi. Kita bisa mengontrol emosi jika ada orang yang membuat kesal atau membuat kekacauan. Kita bisa tetap memilih untuk tenang saat orang lain berkoar-koar.
-
Keinginan. Keinginan bisa dikontrol dan dibatasi, contohnya jika barang tersebut tidak terlalu dibutuhkan, kita bisa mengontrol diri untuk tidak membeli atau tidak memilikinya.
-
Tujuan. Setiap orang pasti mempunyai tujuan yang berbeda, mereka bisa meraihnya karena konsisten mempertahankan dan mengendalikan terhadap apa yang diinginkan.
-
Selain yang sudah disebutkan di atas, segala sesuatu yang berasal dari pikiran dan tindakan berada di bawah kendali kita.
Setelah mengetahui hal-hal yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, maka lebih mudah untuk mengaplikasikan dan mengontrol negative thinking itu sendiri. Negative thinking yang dimaksud di sini selaras dengan istilah dalam ilmu filsafat premeditatio malorum yang berarti memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Langsung saja kita bahas contohnya. Saat menaiki angkutan umum seperti bus atau tremco, banyak hal yang akan terjadi, mulai dari kemacetan yang membuat terlambat tiba di tempat tujuan, desakan di dalam angkutan umum yang membuat tidak nyaman, bertemu, berpapasan atau bahkan duduk berdampingan dengan orang yang menjengkelkan, bersentuhan dengan lawan jenis saat menyerahkan ongkos atau tersentuh tanpa sengaja padahal sedang menjaga wudu, bunyi klakson yang bersahutan sana-sini—apalagi di Mesir—atau bahkan pengendaranya yang ugal-ugalan.
Lalu, bagaimana menerapkan negative thinking atau premeditatio malorum dalam hal ini?
Sebelum memulai sesuatu, sudah seharusnya kita memikirkan kondisi terburuk apa yang mungkin kita alami nanti. Untuk apa? Agar saat hal buruk itu terjadi, kekesalan kita tidak separah saat kita tidak mempersiapkan apa-apa. Bahkan Marcus Aurelius menuliskan bahwa kita harus mengawali hari dengan mengatakan, “Hari ini saya akan menemui gangguan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, hinaan, pengkhianatan, niat buruk, dan keegoisan. Semua itu karena pelakunya tidak mengerti apa yang baik dan buruk.”
Saat memutuskan menaiki angkutan umum, kita memikirkan kondisi terburuk apa yang akan dihadapi. Mulai dari kemacetan—macet bukan hal yang bisa dikendalikan—alternatif yang bisa dilakukan mungkin menikmati waktu macet dengan muraja'ah, baca buku, atau hal lainnya. Cukup berpikir bahwa kita enjoy dengan situasi ini dan tidak terusik. Dan agar tiba tepat waktu di tempat tujuan, yang bisa dilakukan atau dikendalikan adalah berangkat lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan.
Baca juga: Bangun Pagi, Bangun Keberkahan: Kunci Sukses Dunia dan Akhirat
Untuk desakan di angkutan umum, jika kita tidak mau berdesakan, mungkin bisa memilih untuk turun dan menunggu angkutan selanjutnya atau menikmati saja keadaan yang ada. Kuncinya, kita sudah memikirkan atau memprediksikan hal ini saat masih di rumah, jadi kalau itu benar-benar terjadi, kita tidak terlalu marah dengan keadaan.
Saat berpapasan atau berdampingan dengan orang yang menjengkelkan, mungkin kita bisa mengontrol pikiran agar tidak kesal dengannya. Mungkin dia sedang mengalami hari yang buruk atau tertimpa musibah yang dapat merusak mood-nya. Kita cukup mewajarkannya tanpa perlu mengambil pusing, karena mungkin saja jika kita berada di posisi yang sama dengannya, kita akan menjengkelkan juga atau lebih parah dari itu. Jadi, kenapa harus marah kepadanya?
(Sumber: unsplash.com) |
Bunyi klakson yang bersahutan sana-sini—apalagi di Mesir—atau bahkan pengendaranya yang ugal-ugalan, sebenarnya hal ini sudah sangat lumrah di Mesir. Jadi, kita sudah memprediksikannya sehingga saat itu terjadi kita tidak marah atau kesal. Dan untuk jaga-jaga, mungkin kita bisa membawa earphone untuk meredam suara bising di luar.
Saat hal-hal di atas tidak terjadi, bukankah kita merasa lebih senang dan bahagia? Negative thinking atau premeditatio malorum ini melatih kita untuk memiliki mental baja, bukan pasrah pada keadaan. Toh, kalau memang hal tersebut bisa dikendalikan, maka kita pasti akan mengendalikannya karena sudah memprediksi kemungkinan terburuk sebelumnya. Dan kalau tidak bisa dikendalikan, untuk apa dipusingkan? Kita hanya perlu enjoy dengan keadaan. Percayalah, mengontrol pikiran adalah setengah dari menyelesaikan masalah. Jadi, negative thinking ini bagus untuk diaplikasikan dalam kehidupan—apalagi Masisir dengan kehektikan yang tiada tanding. Namun, perlu diingat bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak bagus, begitu pun dengan negative thinking, cukup sewajar dan seperlunya saja.[]
*Penulis merupakan mahasiswi Universitas Al-Azhar, Kairo, jurusan Lughah Arabiyyah.
Editor: Siti Humaira
Posting Komentar