Menjaga Kesehatan, Menjaga Janji

Oleh: Jee*
(Sumber: unsplash.com)
“Mau ke mana, Na?”

Teriakan suara itu terdengar samar-samar ketika aku menutup pintu rumah yang sudah mulai sendat. Saat aku paksa agar benda persegi panjang itu tertutup rapat, hingga mengeluarkan suara dentuman yang keras mengakibatkan gendang berdesing. Tak menggubris, aku langsung menuruni satu per satu anak tangga, sesekali kulangkahi dua sekaligus karena tangga apartemen yang berukuran pendek.

“Naa!” Teriakan itu terdengar lagi tapi dari arah tinggi. Aku memusingkan kepala mencari suara yang sudah kukenal sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini. Kunaikkan alis, memberi isyarat bertanya apa tujuan dia memanggilku lagi, kini dari balkon rumah.

“Nitip telur sama Indomie dong pas kamu balik, ya!” teriaknya dengan nada memelas. 

Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan langkahku menyusuri lorong-lorong tikus di tengah bisingnya klakson transportasi umum, membelah keramaian sebuah kawasan yang kerap sekali bertemu dengan gunungan sampah, mengingatkan bahwa manusia juga tak lebih candala dari gunungan itu. Kakiku melangkah bertujuan untuk mendatangi salah satu tempat ternyaman yang sering aku singgahi. Tak sekadar singgah, tapi benar-benar kujadikan tempat pulang.

Tak hanya satu destinasi, mungkin seluruh tanah dari negeri ini menjadi tempat impianku karena penuh dengan sejarah yang telah diraup pada ratusan lembar, sebuah buku dengan judul "Long Journey to Egypt". Bacaan ini yang sudah lama aku incar, sejak masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Ia tersusun rapi di sebuah rak perpustakaan pondokku, tapi sayang sekali pada sisinya terdapat sebuah potongan isolasi berwarna merah bertanda bahwa buku itu hanya boleh dibaca pada tempatnya, bukan untuk dipinjamkan atau dibawa pulang ke kamar. Allah Maha Baik, menjawab doa-doaku tepat pada waktunya. Sekarang, aku bisa melihat langsung dengan kedua mata betapa indahnya negeri ini.

Aku mencari tiang ternyaman yang biasanya aku sandari sebagai mihrab, pemandangan langsung menembus langit, menara beserta kubah. Tak perlu membolak-balikkan pandangan, aku spontan menemukannya di lautan makhluk ciptaan Tuhan. Bentuk yang sempurna, cahaya yang lembut, dan tariannya yang berirama mengikuti langit malam. Tak pernah bosan menanti kehadirannya, apalagi di pertengahan bulan.

“Amoora.” Batinku dalam hati. 

Keindahannya pada malam hari tak pernah gagal, apalagi memandangnya sambil melihat senja di ufuk barat pada waktu menjelang magrib, melihatnya dari bagian timur. Mengingatkanku pada seseorang yang pertama kali mengenalkan betapa indahnya bulan dengan berbagai bentuknya, aku takjub pada pandangan pertama. Sejak saat itu, aku suka memandang bulan walau tak bersamanya lagi. Ternyata memandang Amoora dari sudut manapun tetap sangat indah.

“Na, balik kapan? Mau nitip mie sama telur dong sekalian kamu balik rumah. Tadi kamu nggak dengar aku manggil, ya?”

Sebuah pesan yang menghiasi layar handphone-ku. Aku mendengus kecil, bukan berarti kesal saat mereka meminta tolong. Pesan itu berasal dari Balqis, teman sekamarku. Tak ingin membalas apa pun, seolah-olah aku lupa membaca pesan darinya dan melanjutkan membaca buku yang sudah kuhabisi setengahnya sejak dua hari lalu. Salah satu buku pemberian pria itu saat ia melepaskan putri sulung pergi jauh dari sisinya.

***

“Loh, kamu nggak beli titipanku, ya, Na?” Aku menggeleng sambil berjalan melewati Balqis, menghentikan langkah ketika sampai di tempat favorit keduaku. 

Dari tempat kayu ini aku juga bisa duduk sambil melihat ke arah langit kapan pun aku inginkan. Menaruh ransel yang selalu bertengger pada dua bahu ini, tak hanya menampung tas tapi juga beban-beban kehidupan.

“Kemarin juga baru makan Indomie, sekarang juga mau makan lagi?! Jaga kesehatan, nanti kalau sakit baru kamu menyesal.” Ucapku dengan nada yang sedikit meninggi. 

Bukannya marah, tapi aku tak ingin orang-orang di sekitarku kenapa-kenapa nantinya. Cukup dia yang selama ini memenuhi pikiranku, sambil terus berdoa semoga pria itu baik-baik saja, bisa melihat aku sukses dan terus mengatur puzzle-puzzle kehidupanku. Itulah sebab mengapa aku membiarkan pesan Balqis dan tak membelikan apa yang ia inginkan. Aku tak ingin ia sakit nantinya akibat sering mengonsumsi makanan tidak sehat.

Baca juga: Maryam Supraba

Aku mengambil sebuah bingkai foto di sudut meja, mengusap wajah pria itu perlahan sambil membersihkan debu yang lengket pada tepi bingkai. Apakah sekarang pria itu sedang baik-baik saja? Atau sedang meneguk pil-pil yang sama seperti ketika aku sedang berada di sisinya, aku yang selalu pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat-obatan itu. Mengingatkanku pada sebuah nasihatnya kala itu.

“Salah satu nikmat yang paling mahal yang Allah berikan kepada kita adalah kesehatan. Kalau udah sakit-sakitan seperti Abi, bisa apa? Maka dari itu, selama masih sehat, jaga kesehatan, jaga pola makan. Ingat! Sehat itu mahal.” Ucap Abi panjang lebar saat perjalanan mengantarkanku ke bandara, sebelum anak sulungnya itu pergi merantau ke Tanah Kinanah. 

Nasihat ini yang aku pegang sampai saat ini agar selalu menjaga kesehatan. Melepas anak gadis pertamanya adalah salah satu hal yang berat, mengingat kesehatannya juga tak kuat seperti dulu. Memang semua itu adalah kuasa Allah, tapi ketika dititipkan kesehatan itu menjadi sebuah kewajiban untuk menjaganya.

Aku mengingat jelas bagaimana alat-alat itu melekat pada tubuh pria yang sangat aku cintai, brankar tempat ia berbaring, aroma tak sedap yang sempat menjadi teman akrabku berhari-hari di rumah sakit. Padahal kala itu aku masih kecil, seorang anak yang sedang menginjak usia delapan tahun. Aku juga ingat tangis Ummi di sudut musala pada tengah malam saat aku terbangun dari tidur dan tak mendapatinya di sampingku. Ia tak ingin aku melihat dirinya ketika lemah, selalu berusaha tegar dan menyemangatiku padahal ia sendiri butuh disemangati.

“Abi baik-baik aja kok, yang penting Alan jangan berhenti berdoa sama Allah, ya!” Ucap wanita itu tiap hari, apalagi saat Abi tengah koma tak sadarkan diri. 

Berulang kali Ummi mengucapkan kalimat itu pada anak kecil yang sedang berusaha untuk memahami keadaan. Bagaimana pria itu baik-baik saja setelah dua minggu tak sadarkan diri. Dua malaikat itulah yang menjadi alasanku untuk bertahan, belajar agar bisa membanggakan mereka. Berbakti dengan selalu menjaga kesehatan. Kalau aku sakit, apa aku bisa membanggakan mereka?

“Makan aja terus sampai alat-alat rumah sakit itu dipasang di badan kamu.”

“Jangan bicara gitu, serem tahu, Na.”

“Ya, kalau aku nggak bicara gini kamu nggak akan berhenti, Balqis.”

Balqis terdiam, tak menjawab ucapanku lagi. Ia merenungi perkataanku dan tak lama setelah itu meminta maaf. Sejak saat itu ia berubah, menjaga pola makannya, perlahan demi perlahan meminimalisir makanan yang tak sehat. Aku melihat beberapa kali setelah pulang kuliah, ia membeli sayur dan buah-buahan. Senang melihatnya dengan kebiasaan baru.

Mungkin, sudah menjadi kebiasaan anak rantau, jauh dari jangkauan orang tua, selalu menyepelekan kesehatan. Melewatkan makan pagi dengan alasan tak sempat, membeli jajanan sembarangan demi menghemat waktu karena tak sempat memasak. Nyatanya, akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.

Stay healthy, everyone![]

Editor: Siti Humaira


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top