Zaid bin Tsabit, Sang Penulis Wahyu

Oleh: Fida Afifah*
http://www.smc.ae


Siapa yang tak kenal dengan sosok cerdas yang begitu masyhur dan cukup berjasa dalam perkembangan kejayaan Islam. Dari tangan beliaulah, huruf demi huruf Al-Quran menjadi abadi di atas lembaran mushaf. Jasa besar telah dirasakan oleh seluruh umat Islam yang telah Allah titipkan melalui salah seorang sahabat Rasulullas Saw. ini melalui amanah yang diembankan kepadanya. Satu-satunya sahabat yang dipilih untuk menuliskan wahyu Allah dan surat-surat Rasulullah Saw. Ini adalah sebuah amanah yang begitu besar karena akan memberikan pengaruh yang besar pula terhadap generasi Islam mendatang.

Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahak bin Zaid Ludzan bin Amru. Seorang Anshar yang merupakan keturunan Bani Khazraj dan keluarganya berasal dari kabilah Bani An-Najjar. Dilahirkan pada tahun ke-10 sebelum hijrah atau 10 tahun lebih muda dari Ali bin Abi Thalib. Ketika berumur 11 tahun, beliau telah menghafal beberapa surah dari Al-Quran. Beliau sudah menjadi yatim sejak umur 6 tahun. Keluarganya termasuk salah satu kelompok awal yang menerima Islam.

Di bawah bimbingan orang tua, Zaid dianugerahkan daya ingatan yang begitu kuat dan kecerdasan yang lebih. Sehingga beliau menjadi salah satu tokoh yang terkemuka di kalangan para sahabat. Zaid juga turut ikut serta dalam mengikuti Perang Khandaq bersama Rasulullah Saw. dan juga perang-perang lainnya.

Pada saat Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, Zaid masih berumur 11 tahun. Pada saat itu juga, Zaid dan keluarganya langsung menerima Islam. Ketika dua tahun setelah hijrahnya Rsulullah Saw., terjadilah Perang Badar. Dengan umur 13 tahun yang masih begitu sangat muda, Zaid kecil meminta izin kepada Rasulullah Saw. agar diizinkan untuk dikutsertakan dalam mengikuti Perang Badar.

“Saya bersedia syahid untuk Anda wahai Rasulullah. Izinkanlah saya pergi berjihad bersama Anda untuk memerangi musuh-musuh Allah, dibawah panji-panji Anda,” ucapnya tegas.

Dengan penuh haru dan takjub, Rasulullah Saw. menepuk-nepuk bahu Zaid. Tapi sayangnya, Rasulullah Saw. belum mengizinkan Zaid untuk ikut berperang karena umur yang masih sangat muda. Ia pun pulang dengan wajah murung karena tak dizinkan berperang. Semangat jihad Zaid tak membuatnya patah semangat. Ia tetap berharap suatu saat nanti agar dapat mengikuti perang-perang lainnya jika umurnya sudah mencukupi. 

Walaupun berperang telah menghalanginya untuk berjihad, karena usia yang masih begitu sangat muda, kecintaannya kepada Islam tidak larut. Bahkan dengan semangat yang lebih tinggi, sang ibu pun, Nuwar binti Malik, menghadapkan Zaid kepada Rasulullah Saw. dan menyampaikan kelebihan serta kemampuan membaca dan menulis yang dimiliki Zaid. Ketika Rasulullah Saw. mengujinya, terbuktilah bakat Zaid tersebut.


Dengan kekuatan daya ingat yang dimilikinya, Rasulullah Saw. meminta Zaid untuk mempelajari bahasa Ibrani dengan tujuan agar tidak mudah ditipu oleh orang-orang Yahudi dan juga bahasa Suryani. Seketika dengan waktu yang begitu singkat, Zaid pun mampu menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik dan lancar.

Zaid pun menjadi orang kepercayaan Rasulullah Saw. Beliau diangkat menjadi sekretaris Rasulullah Saw. untuk menuliskan wahyu yang turun dan surat-surat Rasulullah Saw. serta menjadikannya salah seorang tokoh sahabat yang terkemuka diantara para sahabat yang lainnya.

Peran Zaid dalam Islam tidak hanya terbatas menjadi penulis kalamullah. Bahkan disaat Rasulullah Saw. telah wafat, ia pun menjadi sumber berbagai solusi dan persoalan ditengah kaum muslimin dalam menyelesaikan suatu perkara.

Salah satunya terbukti disaat pemilihan khalifah yang pertama. Saat Muhajirin dan Anshar saling memperebutkan kedudukan pihak kekhalifahan, Zaid pun muncul dan berkata kepada kaum Anshar, “ Wahai kaum Anshar, sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah adalah orang Muhajirin, karena itu, sepantasnyalah penggantinya dari orang Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (penolong) Rasulullah Saw. maka sepantasnya pula kita menjadi pembantu-pembantu (penolong) bagi khalifahnya sesudah beliau wafat, dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”

Zaid telah menjadi seorang ulama yang mempunyai kedudukan sama dengan ulama dari kalangan sahabat lainnya. Beliau telah meriwayatkan 92 hadist. Lima daripadanya telah disepakati bersama oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sementara Imam Muslim meriwayatkan satu hadist lainnya dari Zaid bin Tsabit.

Dengan pengetahuan Al-Quran yang sangat dalam, Zaid pun diakui sebagai ulama Madinah yg memiliki keahlian di bidang fiqih, fatwa, dan faraidh. Dalam ilmu waris (faraidh), Zaid adalah orang pertama yang paling mahir dalam menguasai ilmu tersebut sebagaimana pernyataan Rasulullah Saw.

Selain itu, Zaid pun pernah menjadi salah seorang pejabat dalam pemerintahan Islam. Pada saat pemerintahan Khalifah Abu bakar dan Umar, Zaid pun diangkat mmenjadi salah seorang pejabat, yaitu diamanahkan untuk menjadi bendahara. Ketika masa pemerintahan Ustman bin Affan, Zaid diangkat menjadi pengurus Baitul Mal. Zaid pun pernah menjadi khalifah sementara disaat Umar dan Ustman menunaikan ibadah haji.

Pada saat terjadi peperangan Yamamah, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, jumlah pasukan umat Islam yang gugur begitu banyak, khususnya para penghafal Al-Quran. Hal ini membuat para umat Islam khawatir dngan penjagaan ayat-ayat Al-Quran. Oleh sebab itu, terjadilah pengumpulan Al-Quran melalui saran Umar bin Khattab kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Awalnya Abu Bakar merasa keberatan karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya terbukalah hati Abu Bakar untuk menyetujuinya.

Abu Bakar dan Umar kemudian mengamanahi Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan seluruh ayat-ayat Al-Quran. Hal itu juga memberatkan Zaid hingga dia berkata, “Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun Al-Quran yang Engkau perintahkan tersebut.” Tapi setelah Abu Bakar dan Umar dapat meyakinkan Zaid bahwa ini adalah cara untuk melangsungkan kehidupan umat Islam, akhirnya terbukalah hati Zaid untuk menyusun Al-Quran.

Maka dengan bantuan para sahabatnya yang lain, Zaid pun melakukan tugasnya dengan sangat teliti dan hati-hati. Walaupun Zaid telah menghafal seluruh isi Al-Quran, beliau tidak hanya memanfaatkan bekal itu. Justru beliau terus mencari-cari dan bertanya-tanya kepada para penghafal Al-Quran lainnya dalam membenarkan lafazd-lafazd serta tulisan-tulisan dari ayat-ayat Al-Quran.

Akhirnya, setelah selesai mengumpulkan tulisan ayat-ayat A-Quran yang ditulis diatas kulit, pelepah kurma, tulang belulang, Zaid menyalinnya ke dalam satu mushaf dengan urutan surah dan ayat sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw.


Zaid bin Tsabit wafat pada tahun 45 H dalam usia 56 tahun (dalam riwayat lain 51 H/52 H). Putranya yang bernama Kharijah bin Zaid yang telah menjadi seorang tabi’in besar yang sangat berpengaruh pada masanya, juga menjadi seorang ahli fiqih tujuh yang terkenal di Madinah.

Kepergian Zaid membuat umat Islam begitu berduka, terlebih-lebih karena ilmu yang dimilikinya. Bahkan Abu Hurairah berkata bahwa kepergiannya bagaikan kepergian samudera ilmu.

“Hari ini orang yang paling alim diantara Umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari keluarga Ibnu Abbas.”[]

*Penulis adalah mahasiswi tingkat 1 Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top