Hikmah Lahirnya Islam di Semenanjung Arab (Bag. 1)

Google
 Oleh: Muhammad Syukran*


Sebelum membahas sirah Rasulullah Saw., terlebih dahulu kita menelisik hikmah ilahiyah di balik pemilihan Semenanjung Arab, bukan bagian dunia yang lain, sebagai tempat diangkatnya Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul. Kemudian, menggali hikmah di balik terpilihnya masyarakat Arab sebagai bangsa pertama yang diserahi tanggung jawab untuk memikul dakwah Islam. 


Untuk itu, pertama kita harus mengenal karakter khas Bangsa Arab sebelum kelahiran Islam. Selain itu, kita harus mengetahui gambaran geografis kawasan yang mereka diami, termasuk posisinya di antara beberapa daerah yang mengelilinginya. Bahkan, kita juga harus memiliki gambaran tentang berbagai bangsa lain yang ada pada saat itu, seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India, termasuk tradisi yang berkembang, kebiasaan, dan ciri khas peradaban masing-masing.

Sebagai langkah awal, secara singkat kami ingin menggambarkan bangsa-bangsa yang ada di sekitar Semenanjung Arab sesaat sebelum Islam muncul.

Saat itu, di dunia terdapat dua bangsa besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi. Selain itu, ada pula Yunani dan India.

Kala itu, Persia menjadi tempat pertarungan berbagai pandangan agama dan filsafat. Di wilayah ini terdapat aliran Zoroaster yang dianut para penguasa. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya.

Bahkan, Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad ke lima Masehi menikahi putri kandungnya sendiri. Ajaran aneh ini hanya salah satu dari sekian banyak ajaran agama Zoroaster yang benar-benar menyimpang dari akal sehat. Akan tetapi, tentu bukan disini tempatnya untuk membeberkan semua itu.

Selain itu, di Persia juga terdapat kepercayaan Mazdakiyah. Menurut Imam Asy-Syahristani, agama ini setali tiga uang dengan Zoroaster, sama anehnya. Salah satu ajarannya adalah menghalalkan semua wanita dan harta yang ada di dunia ini. Dalam pandangan mereka, manusia adalah milik bersama, sebagaimana air, api dan harta. Agama sesat ini mendapatkan banyak pengikut dari kalangan sesat yang gemar menuruti dan mengumbar hawa nafsu.[1]

Sementara itu, imperialisme Romawi mencengkram kuat. Kerajaan besar ini terlibat konflik berkepanjangan dengan kaum Nasrani Syria dan Mesir. Berbekal kekuatan militer yang mereka miliki, Romawi mengobarkan semangat imperialism ke penjuru dunia. Salah satu misinya adalah menyebarkan ajaran Kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan mereka.

Sebagaimana Persia, Romawi juga pernah “sakit keras”. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi muncul dalam bentuk penindasan dan pajak yang mencekik kebanyakan rakyat.

Adapun Yunani kala itu masih tenggelam dalam kubangan takhayul dan metologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang tidak bermanfaat.

Sementara itu, tentang India dinyatakan Prof. Abu Hasan An-Nadwi sebagai berikut. Semua penulis sejarah india sepakat menyatakan, sejak paruh awal abad keenam Masehi India mengalami kemunduran luar biasa dalam bidang agama, akhlak, dan sosial. Bersama negara-negara tetangganya, India terperosok ke dalam dekadensi moral dan patologi sosial kemasyarakatan.[2] 

Jadi, kita harus mengerti, ternyata yang menjatuhkan banyak bangsa dan negara ke jurang kekacauan dan kesengsaraan tak lain adalah peradaban dan tamadun yang hanya dibangun diatas dasar nilai-nilai materialistik, tidak disertai model ide-luhur yang dapat menuntun ke jalan yang lurus dan benar. Hal ini terjadi karena peradaban mana pun di dunia, dengan segala keragaman dan diferensiasinya, tidak lain hanyalah “jalan” atau “sebab”. Jika sang pemilik tidak memiliki pemikiran yang benar dan model ideal yang sahih, maka peradaban itu hanya akan menjadi jalan menuju kesengsaraan dan dan kekacauan. Sebaliknya, jika sang pemilik memiliki akal sehat yang lurus—yang biasanya didapati dari wahyu Ilahi—semua peradaban dan tamadun yang dimiliki pasti akan menjadi jalan mulus yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan sempurna dalam semua sendi kehidupan. 

Di tengah hiruk-pikuk itu, semenanjung Arab pada masa itu adalah kawasan yang tenang karena terhindar dari semua bentuk bentuk kekacauan yang menyebar di sekitarnya. Penduduk Arab kala itu tidak tidak mengenyam kemewahan dan peradaban menjulang, seperti yang diraih Persia dan menjadikan mereka terperosok ke dalam kehancuran. Selain itu, mereka juga tidak disibukkan dengan berbagai bentuk paham amoral yang menghancurkan akhlak. Bangsa Arab kala itu tidak memiliki kepongahan seperti miter Romawi yang membuat mereka tidak berhenti mencaplok wilayah-wilayah di sekitarnya. Mereka juga tidak memiliki kekayaan filsafat-dialektika seperti bangsa Yunani yang mengubah mereka menjadi bangsa yang dikuasai takhayul dan mitos. 

Pada saat itu, Arab tak ubahnya bahan baku yang belum diolah dan diubah bentuk. Di tengah masyarakat yang masih murni inilah, fitrah kemanusiaan tetap terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri mewarnai kehidupan masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapat pelita yang dapat menerangi jalan untuk mencapai keluhuran. Mereka hidup di tengah gelapnya kejahiliahan. Karena ketidaktahuan itulah, akhirnya mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tak segan untuk saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri. 

Kondisi seperti inilah yang digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya,”…dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,”(Q.S. Al-Baqarah: 198).

Ayat ini lebih merupakan petunjuk bahwa bangsa Arab rupanya lebih dapat “dimaafkan” dibandingkan bangsa lain kala itu, bukan untuk menunjukkan kebodohan atau penghinaan terhadap mereka. Alasannya, bangsa lain tenggelam dalam kemerosotan moral, padahal mereka di tengah obor peradaban dan tamadun yang terang-benderang. Kelebihan yang mereka miliki justru memerosokkan mereka ke dalam jurang kerusakan. Sementara itu, secara geografis, Semenanjung Arab terletak tepat di antara semua bangsa yang tengah bergejolak.

Prof. Muhammad Al-Mubarak menyatakan, siapa pun yang melihat Semenanjung Arab pasti akan melihat bahwa wilayah ini memang terletak tepat di tengah-tengah dua peradaban besar: peradaban Barat materialis yang menciptakan potret manusia dalam bentuk yang sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran dan peradaban spiritual-khayali yang berpusat di Timur, seperti India dan Cina.[3]




[1]Lihat Al-Milal wa An-Nihal, karya Imam Asy-Syahristani, 2/86-87. 
[2]Mâdzâ Khasira Al-'Âlam bi Inhithâ Al-Muslimîn, h.28. 
[3]Al-Ummah Al-'Arabiyyah fi Ma'rakah Taḥqîq Al-Dzât, h.147.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top