Luwakdowski, Harapan Baru Iskandar Muda Fc

Luwakdowski
Hampir tidak ada yang percaya, awalnya Dowski hanya pemuda miskin dari desa terpencil. Ia lahir dari keluarga sederhana di pedalaman Aceh, ujung Sumatera. Sejak kecil, hari-harinya hanya disibukkan dengan belajar dan bemain bola. Dowski mewarisi jiwa bola dari ayah—yang terkenal sebagai atlit sepak bola—di kampung halamannya. Cita-citanya melanjutkan kair ayahnya di dunia sepak bola nyaris kandas. 


“Awalnya, ibu tidak setuju saya bermain bola, beliau maunya saya menjadi ustad, minimal seperti Fahri di film Ayat-Ayat Cinta, pintar dan paham agama,” ungkap Luwakdowski. Lantas ibunya memasukkan Dowski ke pesantren agar anaknya menjadi ustad. Ayahnya yang terkenal sebagai penggila bola garis ekstrim memprotes: Dowski harus menjadi pemain bola seperti dirinya.


Terjadi perdebatan sengit di keluarga. Ibunya tidak menyerah begitu saja. Bagi ibu, Dowski aset penting keluarga yang harusnya menjadi ustad, bukannya menendang-nendang bola yang diisi angin tidak jelas.

“Untuk urusan ini, anak kita harus masuk pesantren. Ia harus jadi ustad, jadi tengku, jadi kiai. Dulu, saat memilih nama buat dia, saya mengalah. Padahal saya sudah memilih nama Fahri, nama yang bagus untuk anak kita.” Ibu mengungkit-ngungkit nama pemberian ayah yang menurut ibu tidak kreatif. Menurut ibu, nama Luwakdowski itu sama sekali tidak manusiawi. Mirip nama musang.

“Fahri apa-apaan. Nama itu tidak bagus. Saya tidak mau anak kita nanti jadi besar mulut dan tidak tahu malu seperti anggota DPR itu.” Ayah mulai sewot.

“Bukan Fahri yang itu Yah, tapi mamak ingin anak kita kayak Fahri di Ayat-Ayat Cinta.”

“Maksudmu, Kamu mau anak kita melakukan poligami seperti itu…? Kalau memang itu tujuannya, bolehlah. Saya setuju.”

“Astaghfirullah, Yah…” Ibu hanya geleng-geleng kepala, lalu berkata lagi, “Pokoknya Dowski harus jadi ustad, titik…!”

“Ia harus jadi pemain sepak bola.”

***

Kepada kmamesir.org, Dowski mengisahkan kembali kejadian bersejarah di rumah—saat ia dihadapkan pada posisi sulit. Dowski bingung harus menentukan sikap: ikut pilihan ayah atau ibu. Akhirnya jalan tengah diambil. Dowski dimasukkan ke dalam pesantren yang juga konsen dengan olahraga sepak bola. Di sinilah, ia mulai mengasah bakat menggiring bola yang diwarisi dari ayahnya.

Khatam dari pesantren, Dowski pulang ke rumah dengan membawa pulang banyak penghargaan dan piala. Ayah girang bukan kepalang, Dowski pulang sebagai siswa berprestasi dalam bidang olahraga. Ia juga menampakkan foto bersama presiden. Pesantrennya menjadi juara dalam ajang Piala Santri yang diselenggarakan istana negara. Dowski menjadi pemain terbaik. Melihat piala dan penghargaan itu, ibunya hanya berkomentar, “Seharusnya Kamu membawa pulang piala MTQ, bukan piala bola kaki.”

Semangat ibu agar Dowski menjadi ustad tidak surut begitu saja. Ibunya kemudian menyuruh Dowski melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar. Di sana, ibu berharap Dowski bisa melupakan bola. Semula ide ibunya juga ditentang ayah. Menurut ayah, Dowski dilahirkan untuk menjadi duta olahraga. Keputusan berat berada di tangan Dowski. Ia memilih menuruti nasehat ibu. Dowski tidak mau jadi anak durhaka dan dikutuk. 

“Semula ayah keberatan saya melanjutkan studi ke Al-Azhar Mesir, beliau berharap saya melanjutkan karir di dunia bola. Namun, menuruti nasehat ibu ternyata membawa berbagai keberkahan dalam hidup saya. Termasuk apa yang saya alami hari ini.” 

“Saya sempat berfikir bahwa karir sepak bola saya akan berakhir. Tapi di sini, saya bisa belajar, mengaji seperti nasehat ibu, dan tentu saja, saya bisa meniti karir sepak bola,” lanjut Dowski kepada kmamesir.org.

Nasehat ibu memiliki tuah keberkahan. Pemain muda itu malah semakin bersinar di Liga Masisir. Dowski menemukan kembali jati diri dan penampilan yang menandainya sebagai salah satu pesepakbola terbaik saat ini yang merumput di bumi Firaun. Ia memulai karirnya bersama Iskandar Muda Fc, penampilannya membuat banyak klup papan atas Liga Masisir berebut ingin merekrutnya.

Iskandar Muda Fc mendapat tawaran transfer menggiurkan dari berbagai klup sepak bola untuk memboyong Dowski ke klub mereka. Namun, klub asal Aceh ini enggan melepas Dowski ke klub lain, sementara perhelatan akbar Sumatera Cup cukup membutuhkan skuad terbaik.

“Saya cukup gembira berada bersama Iskandar Muda Fc. Saya besar dan berkembang di sini. Saya ingin membawa klup ini menjuarai Sumatera Cup tahun ini. Dengan penambahan skuad yang baru, tahun ini kami berharap bisa merebut semua pertandingan,” harap Dowski.

Setahun memperkuat barisan Iskandar Muda Fc sejak awal 2017, Dowski sudah mencetak 26 gol dari 12 pertandingan. Pemain bola pencinta kopi ini mampu membuktikan diri sebagai bagian penting dan utama skuad Iskandar Muda. Bersama Dowski permainan Iskandar Muda cukup diperhitungkan di Liga Masisir.

Manajer tim Iskandar Muda, Aria Kamandanu, sudah dari awal melihat bakat terpendam Dowski. Untuk Sumatera Cup kali ini, Aria ingin mengerahkan semua skuad terbaik Iskandar Muda dan Dowski menjadi titik tumpu utama serangan. 

“Dowski merupakan pemain muda yang karirnya cukup cerah ke depan. Sekarang saja, cukup banyak klub yang menawarnya dengan nilai fantastis. Saya meramal nasibnya mungkin akan seperti pesepak bola terkenal Lionel Messi atau Ronaldo,” ungkap Aria.


Ketika kmamesir.org bertanya tentang reaksi ibu yang mengetahui Dowski kembali bermain bola, ia menjawab panjang lebar.

“Awalnya ibu agak kecewa, tapi kemudian saya katakan padanya bahwa dengan menjadi pesepak bola, saya juga bisa menjadi pendakwah seperti cita-cita ibu. Saya bisa berdakwah dengan bola. Muhammad Ali bisa berdakwah dengan tinju, masak saya tidak bisa berdakwah dengan bola? Muhammad Salah, pemain bola Mesir itu sudah membuktikan itu. Namun, hal yang cukup penting daripada itu, ayah saya sekarang cukup senang. Ia tertawa sepanjang hari di depan ibu.”[]

Farhan Jihadi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top