Perpolitikan Kamar Mandi

Oleh : Zaid Ibadurrahman*
(Image: imjussayin.com)

April datang bersama musim semi di langit Cairo. Dari jendela balkon apartemen, aku menatap bagian belakang Hadiqah Azhar. Jika biasanya di sana hanya ada semak belukar, kini dihiasi bunga dengan berbagai macam warna yang eksotis. Tak sampai di situ, beberapa tetesan air hujan juga mengihiasi bingkai jendela balkon, makin tambah eksotis. Kasihan handukku yang dijemur di depan balkon menjadi basah. 

Hujan tersebut adalah jenis hujan yang tak akan didapatkan dalam buku pelajaran geografi. Bahkan seorang pakar sekali pun kuyakin tak mau ikut campur dengan hujan yang satu ini. Hujan ini adalah hujan regional, di mana hanya turun pada satu wilayah saja, yaitu pada jemuran kami. Jika kau pikir ini merupakan fenomena alam yang jarang terjadi, maka kau salah. 

Mesir diguyur hujan dalam setahun mungkin hanya sepuluh kali, tetapi balkon kami mendapat jatah dalam seminggu dua sampai tiga kali. Tetesan air itu berasal dari pakaian masih basah yang dijemur oleh tetangga yang tinggal di atas apartemen kami. Alhasil, setelah pakaiannya kering, jemuran lantai bawah yang basah. Kuyakin ini ulah tetanggaku dari Mesir, bangsaku Indonesia terlalu mulia untuk disandingkan dengan perangai buruk seperti ini. Ah sudahlah, ini tak penting, ada hal lain yang ingin kubahas. Kasihan handukku makin lama makin basah. 

Setelah mengambil handuk, perkara kedua di pagi ini muncul. Kamar mandi tertutup dan dua anak Adam sedang mengantri di depannya. Sifat malasku membisik agar tak kuliah saja dengan dalih telat antri di kamar mandi. Orang malas memang punya alasan tak masuk akal untuk mendukung keinginannya. 

Kutatap Taqin dan Rian, tak ada tanda-tanda mereka akan mengalah dari antrian. 

"Sebentar lagi pemilu, kuyakin orang yang Kau dukung tak akan dapat tahta kali ini," seru Taqin, "lihatlah perutnya yang besar, cikal bakal koruptor itu." 

"Jangan sembarang Kau, justru junjunganmu itu yang akan kalah. Badannya kurus tak cukup gizi. Jika pemimpin saja tak cukup gizi, bagaimana mungkin mensejahterakan rakyat?" sahut Rian tak mau kalah. 

Ah, ini perkara ketiga. Akhir-akhir ini urusan politik tak mau minggat dari bibir orang-orang. Begitu pula untuk kedua temanku, Taqin yang mendukung kubu X, dan Rian yang memilih kubu Y. Kalau mereka berdua sudah berselisih pendapat, tunggu dua kali jarum panjang melewati angka dua belas baru selesai. 

"Kalau X yang memimpin, kuyakin negara +62 akan maju pesat, infrastruktur kita akan diakui, dan bisa menambah pendapatan negara." Taqin menambah argumen. 

"Omong kosong! Rakyat +62 tak butuh infrastruktur, mereka tak bisa makan semen, yang perlu diperhatikan adalah harga barang. Kalau harga barang terjangkau, barulah kita-kita ini sejahtera. Dan kuyakin Y bisa mewujudkan itu semua," sengit Rian. 

Taqin menatapku. Aku tahu artinya, ia minta bantuan. Biasanya memang tabiatku ikut campur perdebatan, memanas-manasi, lalu menjatuhkan kedua belah pihak. Namun, kali ini aku malas, atau lebih tepatnya kuingin segera masuk kamar mandi dan menunaikan apa-apa yang bisa ditunaikan di dalam sana. Sebagai balasan tatapan Taqin, aku bertanya mengalihkan pembicaraan. 

"Siapa dalam kamar mandi? Kenapa lama sekali?" 

"Ipon." Rian yang duluan menjawab meskipun tak ditanya. 

Aiiih, yang benar saja, ini perkara keempat yang sebenarnya masih sepaket dengan perkara kedua. Ipon, temanku yang tak sadar diri jika masuk kamar mandi, inilah tantangan sebenarnya. Jika Taqin dan Rian bisa berdebat sampai dua jam, maka Ipon bisa bersemedi dalam kamar mandi satu setengah kali lipat lebih lama. Aku mulai curiga, jangan-jangan ia membuka portal ke dunia lain, lalu menjelma menjadi pahlawan di negeri antah berantah, kemudian setelah niat mulianya terpenuhi, barulah ia keluar dari kamar mandi. 

Mungkin sudah jauh hari tercatat dalam lembar-lembar takdirku, bahwa pagi ini aku harus menghabiskan waktu di depan kamar mandi dengan dua makhluk ini, sembari menungunggu satu makhluk lainnya keluar. Pembahasannya politik pula, lengkaplah cobaan hari ini. 

Sejujurnya aku tak terlalu suka politik, atau lebih jujurnya karena sudah tak banyak paham lagi tentang hal itu. Jika ada benang merah yang dapat ditarik antara aku dan politik, maka kuyakin itu empat atau lima tahun lalu. Memang saat itu aku masih SMA, masa dimana seseorang labil, mudah dipengaruhi, ingin dilihat, ingin tampil beda, dan menolak dikatakan masih polos. Habislah tahun-tahun itu dalam omong kosong. 

Sekarang aku menganggap politik itu semacam kotoran. Kotoran itu dibungkus rapi dengan emas, lalu ditaruh di atas piring mengkilap, dan dihidangkan untuk orang-orang tiga kali sehari. Mereka yang terpukau dengan kilauan, akan mengosongkan piring itu dengan sigap. Mereka yang berpikir dua kali, akan disuapi agar mau menghabiskan. Sedangkan mereka yang sadar bahwa itu kotoran dan menolak mencicipinya, akan dicekik sampai mulutnya ternganga, lalu dijejalkan benda itu sampai habis. 

Dari beberapa hal yang kupelajari, nyatanya dalam politik tak ada hal yang tetap. Semuanya bisa berubah, mulai dari peraturan, tujuan, hingga rekan politik. Maka jangan heran bila tahun lalu kelompok A bersebrangan dengan kelompok B, bisa jadi sekarang atau tahun depan mereka akan bersatu melawan kelompok C. Lucunya lagi, beberapa anggota kelompok C ini dulunya bagian kelompok A dan B. Tak hanya itu, perkataan dan janji-janji pemain politik juga bisa berubah sesuai masa dan kepentingan. Hari ini bilang ini, besok bilang itu, besoknya lagi lain lagi, minggu depan ia protes bahwa tidak pernah mengatakan ini, bulan depan ada saja omongan baru. 

Apa sebabnya? Mengapa mereka tak berpendirian tetap dalam berbicara? Coba cek dulu dari mana kalimat-kalimat itu bermuara. 

Semakin hebat seorang politisi, semakin besar pula rumahnya. Semakin besar rumahnya, semakin banyak pula ruangannya. Ada ruangan-ruangan yang indah dicat putih bersih, siapa pun yang melihat akan terkesima. Ruangan ini kerap dikunjungi tamu. Mereka terpukau, memuja dan menceritakan kehebatannya pada orang lain. Ada pula ruangan-ruangan tersembunyi jauh di bawah. Di sana gelap, tak ada lampu, dan tak ada yang boleh masuk kecuali si pemilik dan beberapa orang kepercayaannya. Dalam ruangan ini berjejer puluhan lemari bertingkat, tiap tingkat terdiri dari laci-laci, dan laci inilah yang semestinya tamu-tamu itu lihat isinya. 

Di sana tersimpan puluhan bahkan ratusan benda lengkung tipis dengan berbagai bentuk dan warna. Setiap harinya si pemilik akan memilah dan memilih benda mana yang harus dipakai. Begitu memakainya, barulah mereka berani keluar, menghadapi orang-orang, dan melawan musuh politik. Benda-benda tersebut adalah topeng. Tujuan penggunaannya macam-macam, ada yang memakai untuk menutupi hidung mereka yang kian panjang saat membohongi khalayak, ada yang menyembunyikan gigi tajam mereka yang berguna untuk mengerat uang dan aset negara, ada yang menyamarkan nafsu buas hewani mereka yang haus darah dan senang melihat makhluk lain menderita, ada juga yang hanya sekedar agar diterima masyarakat, namun karena bersekutu dengan jenis-jenis tadi, ikut terlaknat pula ia. 

Beberapa laci lainnya berisi parfum, yang juga berbagai macam bau dan warna. Tentu saja sama fungsinya dengan topeng tadi, untuk menyelubungi bau kebusukan mereka, bau busuk mulut-mulut kotor, bau niat jahat, bau hati penuh noda. Parfum dan topeng ini harus diperbaharui tiap hari. Jika tidak, akan hilang efeknya. Akan terlihat jelas warna asli, bau asli, dan rupa asli mereka. Jadi, karena mereka harus mengganti benda-benda ini, maka berakibat pada kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Beda topeng beda janji, beda parfum beda orasi. 

Berganti objek dari pemegang pedang politik kepada para bidak. Mereka adalah para pendukung, penjunjung dan pemuja tokoh-tokoh politik tadi. Puluhan kalimat diucapkan telah saling bertentangan, puluhan janji masih tak ditepati, puluhan bukti sudah menampakkan kesalahan. Anehnya, pendukung mereka selalu punya alasan tak masuk akal untuk mencocokkan bahwa kalam-kalam itu tak saling bertentangan, janji-janji itu masih dipercayai, dan bukti-bukti itu diputarbalikkan entah bagaimana caranya bisa menjadi seseuai keinginan. Ah, coba cari kata "fanatik" di KBBI, kalau masih ada syukurlah. Kalau tak ada lagi, kuyakin telah diserobot semua oleh orang-orang ini. 

Hanya karena terlalu banyak aku mengatakan hal-hal negatif dari politik, bukan berarti tak ada pelaku politik yang lurus. Tentu saja masih ada beberapa kelompok yang perpolitik dengan baik, sesuai dengan hukum negara, norma-norma sosial, dan budaya masyarakat. Sayangnya, kelompok ini biasanya tak bertahan lama, karena dibantai habis-habisan dengan cara-cara kotor. Makanya, jika ingin berpolitik bersih, kusarankan jangan terlalu menonjol ke permukaan. 

Seperti halnya temanku, Rian dan Taqin. Mereka berdebat sengit dalam politik, namun mereka tidak fanatik. Aku kenal betul dua orang ini. Sebenarnya mereka berpolitik damai-damai saja, tak sampai memusuhi lawan politik hanya karena berbeda tempat berpijak. Akan tetapi, alasan mereka berdebat adalah karena Taqin suka beradu mulut. Maka ia memancing Rian. Adapun Rian adalah jenis hamba dengan naluri kuat bersaing, apalagi dengan Taqin. Pantang ia dengar satu kalimat hebat dari Taqin, bagaimanapun caranya, ia harus mematahkan argumen itu. Kasihan aku yang terjebak antara persaingan tak masuk akal, di depan kamar mandi pula, dengan seseorang yang tidur di dalamnya. 

Agar tidak terlalu jauh kita main, mari kembali ke depan kamar mandi. Rian dan Taqin sudah mulai bosan berdebat. Namun, Ipon belum juga keluar. Karena tidak tahu mau melakukan apa, akhirnya mereka memutuskan untuk menggedor pintu kamar mandi, agar Ipon cepat keluar. Dalam hal ini mereka berdua kompak. Diajaknya aku pula. 

"Ini sudah terlalu lama, tidak bisa dibiarkan," sabda Taqin, "pokoknya ia harus keluar sekarang, biar aku yang masuk kemudian, aku janji takkan lama. Aku paham penderitaan kalian yang mengantri, karena aku juga sudah merasakannya." 

"Iya, aku setuju," sahut Rian, jarang-jarang ia menyetujui usulan Taqin. 

Setelah beberapa kali menggedor pintu dan berteriak, akhirnya mereka berhasil menyeret Ipon keluar, mungkin ia terkejut dari tidurnya. Masuklah Taqin ke dalam kamar mandi, tinggallah Rian dan aku yang mengantri. Menunggu lagi. 

Beberapa menit kemudian, Taqin belum keluar juga. Ternyata hangatnya air di dalam kamar mandi telah membuatnya lupa akan orang di luar. Rian mulai tak sabaran. "Katanya tak lama," ia mendengus kesal, lalu menatapku. "Sudah saatnya aku masuk, bantu aku mengusir ia dari dalam." Aku mengangguk, makin cepat ia masuk, makin cepat pula giliranku. 

Seperti halnya Ipon, Taqin pun keluar setelah beberapa kali digedor. Rian pun masuk menggantikan. Tinggal aku sendiri. Meski berjanji tidak lama, aku yakin ia akan lupa pada janjinya. Sama seperti Taqin. 

Beginilah potret sederhana panggung politik. Waktu Ipon terlalu lama dalam kamar mandi, Rian dan Taqin bersatu untuk membuatnya keluar. Meskipun Taqin yang masuk, Rian setuju saja, mempercayai janji Taqin yang katanya tak akan lama. Begitu juga dalam sistem kepemimpinan, ketika seseorang dinilai menduduki tahta terlalu lama, atau tidak sesuai aturan, akan muncul golongan-golongan yang bersatu untuk menjatuhkannya. 

Lalu setelah pemerintahan runtuh, salah satu tokoh golongan ini akan naik tahta sebagai pemimpin baru, menjanjikan akan lebih baik ke depannya, dengan alasan bahwa ia paham penderitaan mereka karena pernah berjuang bersama. Sama halnya seperti Taqin yang berjanji tak akan lama. Lalu setelah menempati jabatan, ia akan terlena dengan kenikmatan, mengencingi janjinya dahulu dan melupakan kawan seperjuangan. Persis dengan saat Taqin tak ingat kami yang mengantri karena kehangatan air mandi.

(Image: Zaid Ibadurrahman)
Begitu golongan tadi merasa dikhianati rekannya sendiri, ia akan mencari rekan baru, lihatlah Rian yang mengajakku mengeluarkan Taqin. Lalu akan ada lagi yang mengambil alih kepemimpinan, menjanjikan hal yang lebih baik seperti pemimpin sebelumnya, lalu lupa lagi, begitu seterusnya berputar-putar tanpa akhir. 

Rupanya gedoran tadi terlalu keras, sehingga membangunkan temanku yang masih tidur pagi, Ahmad dan Fata. Setelah melihat jam, mereka buru-buru ke kamar mandi. Mendapati aku yang berdiri di depan pintu kamar mandi, alis Fata berkerut. 

"Mengapa belum selesai? Siapa di dalam? Kok lama sekali? Giliranmu setelah ini? Kurasa aku lebih duluan mengantri tadi sebelum kau bangun, tapi aku tidur lagi, jadi setelah ini biar aku yang masuk." Kata Fata tanpa pendek panjang harakat. 

"Enak saja," Ahmad menimpali, "setelah ini aku yang masuk. Sebenarnya tadi subuh aku yang pertama bangun, aku juga yang menyalakan pemanas, tapi aku tidur lagi." 

Ini perkara ke berapa? aku tak ingat. 

Mereka berdua juga dapat tempat dalam drama politik. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengantri, karena lama dan membosankan, lalu lebih memilih tidur. Kemudian ketika mendapati mereka kepepet dan ada orang dalam kamar mandi, mulailah merepet satu persatu, menuding yang lain, mengatakan mereka lebih pantas masuk selanjutnya. Padahal sebelumnya tidak mengantri. 

Inilah kaum golput, tidak mau ikut dalam politik, katanya penuh dengan cara-cara kotor, dan berusaha memilih jalan yang dianggap aman. Lalu ketika mendapati orang yang duduk di tahta tidak sesuai, hak-haknya tak terpenuhi, mulailah mereka berkoar, mengatakan pemimpin salah, mempertanyakan mengapa pemerintahan bisa dipegang oleh orang yang begini, mengapa hukum bisa begitu, padahal sebelumnya tak mau ikut campur dalam pemilihan pemimpin. 

Adapun aku tidak berselera adu mulut di pagi ini. Dari tadi aku tak banyak bicara dan hanya memantau, sementara dalam hati habis-habisan aku mengumpat. 

Kaum seperti aku juga ada. Mereka jauh dari politik, memantau roda kepemimpinan dari jauh, dapat melihat kesalahan semua orang, semua golongan. Mereka tak mau ikut campur, tapi dari belakang terus menjelekkan pemerintah. Mereka mengetahui kekurangan, tapi tak mau membuat perubahan. Mereka mengenali kelemahan, tapi tak mau mengisi kekosongan. Mereka menganggap dirinya di atas angin, sementara yang lainnya di bawah. Mereka merasa paling suci, sehingga yang lain dijauhi.

Baca juga cerpen: Mahar Berduri

Demikianlah aku memulai pagiku dengan buruk. Mungkin besok lebih baik, semoga saja. Semoga juga setelah pemilu nanti orang-orang tidak saling bermusuhan. Semoga hati mereka tetap bersih tanpa noda. Jika bernoda, silahkan cuci lagi dan pastikan habis airnya setelah diperas. Jangan mencontohi tetanggaku yang menyumbangkan hujan seminggu tiga kali.[]

*Penulis adalah mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top