Ruwaq Indonesia Adakan Dialog Ilmiah Bersama Anggota MUI

Oleh: Setia Farah Dhiba

Foto bersama Anggota MUI Prof. Dr. KH. M. Nashiri Ilhaq Abadi Lc, MA. (sumber foto: dok KMAMesir)
Ruwaq Indonesia adakan dialog ilmiah bersama anggota MUI. Dialog ilmiah yang mengangkat tema fiqh waqi ini diadakan usai pelaksanaan shalat maghrib di Ruwaq Indonesia yang merupakan kelanjutan dari madhiyafah syaikh Ali Jumah di salah satu daerah pusat belajar mahasiswa Darrasah, Kairo pada 25 September 2019. 

Merupakan utusan dari PBNU dalam mengikuti daurah (pelatihan) dan dakwah, dialog ilmiah tersebut bertemakan Fiqh Waqi atau Fiqh Kebangsaan ini dipaparkan oleh Prof. Dr. KH. M. Nashiri Ilhaq Abadi Lc, MA. 

Kemudian mencoba untuk mengulas aktualisasi fiqih terhadap realita di Indonesia, yakni fiqih dalam artian hukum Islam yang selaras dengan kearifan lokal, entah itu suku, bangsa, dan etnis yang terdapat di Indonesia. 


Beliau mengatakan bahwa 75% dari lulusan Azhar Mesir yang kembali ke Indonesia kurang pas dengan kebiasaan dan tradisi masyarakat di tanah air. Mengapa? Karena menurut perbincangan beliau dengan beberapa syekh dan 'amid kuliah (Dekan Fakultas) penyebabnya adalah perbedaan pemikiran yang terjadi karena pergaulan talaqqi (belajar intensif) pada syekh yang kurang tepat, dan merasa kuliah menjadi nomor dua karena mengutamakan talaqqi. “talaqqi itu penting, namun sebaiknya di luar jam perkuliahan” pesan dari Gus Nashiri, dengan panggilan Gus yang lebih beliau senangi daripada sebutan kiai. 

Kemudian maksud daripada fiqih kebangsaan adalah hukum furuiyyah yang ketika dibandingkan dengan kearifan lokal (tradisi yang baik) itu cocok. Seperti dalam struktur perundang-undangan Indonesia, setelah itu semua disusun dan disahkan kemudian sebelum diundangkan hal tersebut akan disosialisasikan. Apakah undang-undang tersebut akan berbenturan dengan kearifan lokal atau tidak. Begitu juga dengan fiqih, maka penerapannya harus dapat menyesuaikan dengan kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan akidah, tidak secara frontal untuk langsung diterapkan, seyogyanya dapat membaca situasi dan kondisi suatu masyarakat. 

“Karena tidak semua yang baik dan diperintahkan secara mubah atau sunnah di dalam islam itu cocok dan pantas diterapkan pada masyarakat tertentu” kata Doktor alumni Darul Hadist, Maroko, dalam penjelasannya. 

Lalu yang menjadi parameter daripada kearifan lokal itu sendiri, menurut kacamata islami ialah syariat. Para da'i Islam seyogyanya tetap membudayakan tradisi yang lama akan tetapi mengkulturasi, membawa dan mengganti budaya lokal dengan budaya islami harus sesuai dengan nilai-nilai keislaman berdasarkan syariat. 

Contoh lainnya adalah kita juga harus bisa menghargai terhadap orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah bukan karena ingkar terhadap sunnah, karena bukan berarti seseorang yang mengamalkan sunnah lebih baik dari yang tidak mengerjakannya, dan juga tidak seharusnya seseorang memaksakan orang lain untuk mampu melakukan amalan yang sama seperti yang ia kerjakan. 


Dalam penerapan fikih kebangsaan ini pun sangat diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati. Kedua hal inilah yang mulai terkikis di zaman sekarang, tertutup oleh suara-suara kelompok fanatik yang sebenarnya jumlah mereka kurang hanya satu juta dari 264 juta penduduk Indonesia. Mengapa? Karena merekalah kini yang menguasai teknologi, mereka berani bicara soal agama tanpa sanad keilmuan yang jelas bahkan putus dan nyaris tak berguru, hanya mengandalkan tulisan-tulisan Google atau rekaman Youtube. 

Kelompok fanatik yang awam ini juga menyerap doktrin ekstrim yang mana disampaikan untuk tidak menerima atau mendengar ceramah, tausiah, atau berguru dengan orang di luar kelompok mereka. Karena anggapan bahwa orang-orang di luar komunitas mereka adalah orang awam sehingga dikhawatirkan akan membodohi mereka. Dari situ dapat dilihat bahwa tugas kita adalah menyadarkan mereka untuk tidak menjadi muslim yang fanatik akan kelompok tertentu, kita dapat mendengar tausiah dari siapapun, ambil yang baik buang yang buruk, lihatlah apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan, sehingga kita dapat memetik hikmah dari segala kejadian yang ada. 

Sebagaimana yang juga kita ketahui negara kesatuan Republik Indonesia itu menggunakan undang-undang sebagai dasar negara. Undang-undang tersebut merupakan sebuah kemaslahatan, dan Ia juga mengandung hal-hal syariat, yang bermaknakan undang-undang dasar syar’i  di Indonesia sehingga kita harus tunduk dan patuh dalam menjalankannya. 

Terakhir pesan dari sahabat ustaz Abdul Somad ini kepada kita pelajar agama agar tidak berhenti belajar hanya sampai meraih gelar licence saja, teruslah fokus pada pendidikan. Tidak perlu disibukkan dengan pemikiran akan akan mau kerja di mana dan hal-hal lain sebagainya. Usai dialog ilmiah yang berlangsung selama satu jam setengah ini acara ditutup dengan doa dan foto bersama. 



*Penulis adalah Mahasiswi tingkat 2 Jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top