Mustafa, Waktu, dan Khan Khalili
Oleh: Zaid Ibadurrahman*
Image Source : Google |
Musim panas
kembali menggerayangi kota Kairo. Masih sama seperti tahun-tahun yang sudah,
terik, debu, pemandangan yang seakan difilter kuning, dan beberapa komponen tak
penting yang membosankan. Matahari jemawa tak kenal ampun, menjadikan siapapun
yang berani keluar rumah bermandian keringat. Kasihannya cucu-cucu adam itu.
Apalagi cucu adam dari belahan asia sepertiku, yang daya tahan tubuhnya di
bawah rata-rata.
Demi menjauhi
kebosanan seharian di rumah, kuputuskan nanti sore untuk keluar mencari udara.
Tentu saja kupilih sore agar tak terlalu panas. Barangkali aku akan ke Khan
Khalili.
Adapun Khan
Khalili, yang kupilih karena dekat dan tempat itu selalu hidup. Dulunya itu kawasan istana Dinasti Fathimiyah, sebelum kemudian para pedagang menggelar tikarnya
untuk berjualan. Tikar-tikar itu kemudian bermutasi menjadi bangunan
toko; menggantikan ruang-ruang kuno, menyesakkan isi dalam dengan berbagai
barang, dan menyabotase pinggiran kawasan pejalan kaki. Berbagai macam barang
indah berderet di sana, entah dipamerkan entah dijual, atau keduanya.
Hamid sedang
melamun bodoh menatap kipas angin ketika kukabarkan rencanaku nanti sore.
Pandangannya beralih pelan-pelan dari kipas angin menatapku, masih dengan wajah
bodohnya.
"Ke Khan
Khalili?" Tanya Hamid.
"Iya."
"Oke, aku
ikut. Asalkan kita pulang tak terlalu larut"
Sesimpel itu
mengajak Hamid, tanpa ba bi bu ataupun sedikit basa-basi. Atau jangan-jangan ia
masih belum keluar dari mode bodohnya sejak tadi? Entahlah.
Mendengar aku
yang mengajak Hamid, Mustafa yang sedang membaca menoleh menatapku. Kami saling
berpandangan, terdiam beberapa saat. Aku sulit menafsirkan pandangannya.
"Kau mau
ikut juga?" Kucoba menghentikan keheningan.
Sebenarnya ia
bukan orang yang tepat untuk diajak. Maksudku, ia dan segala kitab-kitab tebal
itu sepertinya telah mempersempit waktu bersenang-senangnya. Belum lagi jadwal
pengajian yang ia tulis rapi sambung menyambung siang malam. Atau jika boleh
kutambahkan, akhir-akhir ini komunikasi kami kurang baik.
Mustafa
menggeleng, tapi masih menatapku seakan aku baru saja mencuri uangnya. Sial,
aku selalu susah bercakap dengan tipe orang seperti ini.
"Kenapa
kau tidak ikut pengajian saja sore ini?" Mustafa buka suara.
"Aku hanya
bosan dan butuh sedikit hiburan."
"Bukannya
empat hari yang lalu kita baru pulang berlibur dari Alexandria?"
"Iya, tapi
ini kan masa liburan, aku hanya ingin sedikit melepaskan beban."
"Kau
anggap pengajian itu beban?"
"Maksudku
kita kan sudah belajar di kuliah selama ini, waktu libur ya sepantasnya
dihabiskan untuk bersantai."
'"Kuliah
saja tak cukup, itu hanya sebagai sarana kau mendapatkan ijazah dan gelar.
Sementara orang kampungmu nanti tak perlu keduanya."
Kenapa secepat
ini konflik? Kukira ini baru awal cerita.
"Mengesankan
sekali kalimatmu, seakan nilai yang kau dapatkan di kuliah kemarin selaras
dengan perkataanmu." Ujarku sinis.
"Aku tahu
nilaimu lebih bagus, hanya saja aku tak ingin kau menyia-nyiakan kehebatanmu
itu."
"Terimakasih
telah peduli, kurasa selama ini kau yang memberiku makan beserta orang
kampungku."
Yang benar
saja, ia mulai menceramahiku sekarang. Seharusnya aku marah, tapi ini terlalu
awal untuk memulai konflik dan merusak rencanaku nanti. Aku menghela nafas
dalam-dalam.
"Sudahlah,
kau ikut atau tidak?" tanyaku mempersingkat perdebatan.
"Seharusnya
itu kalimatku."
"Oke, aku
ke Khan Khalili bersama Hamid. Mungkin lain kali aku ikut kau."
"Lain
kali? Apa yang menjaminmu bisa pergi pengajian lain kali?"
"Tentu
saja, kan pengajian itu masih ada besok dan besoknya lagi"
"Kau tak
paham, jangan kau gunakan konsep waktu dalam ilmu fisika untuk mencari ilmu
agama. Sekali kau lalai, mampus lah kau ditinggal waktu."
"Paham apa
kau soal fisika? Urus saja urusanmu sendiri." Kubalas dengan nada yang
tinggi.
Mustafa
terdiam, ia menunduk sesaat, kemudian berdiri mengambil kitabnya. Setelah dua
langkah, ia berhenti dan menatapku.
"Kukira
kau memakai kacamata bukan sebatas mengikuti tren." Ujarnya pelan sebelum
berlalu. Sementara Hamid masih dengan wajah yang sama melihat perselisihan
kami.
***
Image Source : Google |
Aku dan Hamid
duduk bersantai di salah satu kedai tepi jalan Khan Khalili. Di depan kami
bertengger dua gelas dengan air tebu di dalamnya. Sinar matahari sore
menyelinap di antara gedung-gedung kedai, menabrak gelas bening kami, -maksudku
saat ini kami yang berkuasa atas dua gelas ini, tentu saja keduanya milik
penjual- lalu bias cahayanya mewarnai meja kayu dengan dua pelangi kecil.
Gelasku kosong setengah, atau biar kusebut penuh setengah saja seperti kata
orang optimis. Apapun, itu tak ada hubungannya dengan pikiran dan perasaanku.
Aku teringat Mustafa,
sepanjang jalan percakapan kami tadi mengganjal di benak. Apa mungkin aku
terlalu sinis sampai kalimatnya berakhir begitu? Atau ia punya masalah lain
yang berujung aku jadi pelampiasannya? Seharusnya ini waktu bersantai, kenapa
pula aku memberatkan pikiran? Mungkin nanti waktu pulang aku minta maaf,
ataupun kutunggu ia minta maaf duluan.
Aku tanya
pendapat Hamid tentang perihal tadi siang. Katanya, tidak sepenuhnya salahku. Mustafa
sendiri seharusnya bisa berbicara dengan baik, ia tak bisa memaksa kehendak
orang lain sekalipun ia lebih benar. Dan untukku, jangan terlalu bersikap bodo
amat untuk ajakan yang baik. Begitu ujar Hamid singkatnya. Sebenarnya ia sosok
yang bijak jika tidak dalam mode bodohnya.Lalu kami
mengobrol tentang berbagai hal.
Seiring gelas
yang berkurang isinya, bayangan kedai-kedai makin menjalar meninggi. Jubah
malam berkibar menyelimuti sinar terakhir matahari senja. Azan magrib
berkumandang, kami hengkang.
***
Image Source : Google |
Aku masih
menyusuri jalan Khan Khalili. Tidak seperti tadi sore, sekarang aku sendirian
setelah Hamid pulang selepas shalat magrib. Katanya ada keperluan mendadak.
Entahlah, lagi pula ia sudah mengatakan bahwa tidak mau pulang terlalu larut.
Sekarang hampir
tengah malam. Langit gelap tanpa bulan di atas sana cukup kontras dengan kerlap
kerlip cahaya pertokoan. Khan Khalili sendiri lebih memesona kala malam.
Bangunan dengan gaya arsitektur peradaban islam, lampion yang bersinar lembut
dibungkus kaca, pernak-pernik khas Mesir kuno, toko perhiasan yang memamerkan
emas dan permata indah lainnya, serta asap bukhur yang menguar di udara, semua
elemen ini membuatku melupakan semua masalah sejenak.
Ketika sedang
melewati kerumunan, beberapa orang dari arah berlawanan berjalan terburu-buru,
mereka tidak sengaja menabrakku. Aku terhuyung. Salah satu di antara mereka
meminta maaf sekenanya saja. Aku mengumpat diam. Untung saja aku tidak jatuh.
Namun, tidak
dengan kacamataku, ia telah minggat dari tempatnya. Dengan pencahayaan yang
remang-remang karena bayangan orang, ditambah sedikit mata minus, aku
meraba-raba jalanan mencoba mencari kacamata. Butuh beberapa menit sampai benda
itu benar-benar berada dalam genggamanku. Untung sekali lagi, kacamataku tidak
pecah.
Tak seberapa
jauh di depan, sebuah cermin besar dipajang di depan kedai. Aku berkaca di situ
untuk memperbaiki posisi kacamata, sampai penglihatanku kembali normal.
Aku merasa ada
yang aneh. Pantulanku di cermin itu agak asing. Ia terlihat mirip sepertiku di
beberapa bagian. Sedangkan pada bagian lainnya tampak seperti aku versi lain,
lebih tua dan letih. Kuusap lensa untuk memastikan apa yang kulihat, namun sama
saja. Orang asing itu masih berdiri di dalam cermin. Aku heran.
Belum habis
keherananku, lampu toko tersebut padam. Lalu toko sebelahnya. Seakan
dikomandoi, toko-toko selanjutnya melakukan hal yang sama. Sampai ke ujung
jalan, satu persatu lampu toko padam. Lampu jalan menyusul, bola-bola kaca itu
bergilir rapi melenyapkan cahayanya. Suara orang-orang juga menghilang
perlahan, dibawa terbang angin sampai tidak tersisa. Sekarang semua gelap dan
sunyi, sementara aku di tengahnya.
Aku linglung
sampai beberapa saat kemudian cahaya kembali. Tanganku otomatis menghalangi
intensitas cahaya yang masuk tiba-tiba ke mata. Setelah mataku menyesuaikan
diri dengan keadaan sekitar, kudapati diriku tidak di jalanan Khan Khalili
lagi, melainkan dalam sebuah ruangan.
Ruangan ini
diisi dengan jejeran bangku panjang yang tersusun seperti anak tangga. Puluhan
orang mengisi bangku-bangku tersebut. Kutilak wajah mereka, semuanya asing.
Di depan sana,
berdiri sebuah meja panjang. Di balik meja itu, duduk empat orang yang cukup
tua. Salah satu dari mereka berbicara melalui mikrofon. Entah apa yang diucap,
aku tak fokus mendengar kalimatnya. Sementara tiga lagi sedang serius menatap
seorang pria di sisi kiri ruangan. Pria itu memakai jubah hitam, kitab besar
terbentang di hadapannya. Ia sedang menyimak ucapan orang tua pemegang
mikrofon.
Setelah orang
tua itu mengakhiri kalimatnya dan suara mikrofon lenyap, sontak semua orang
berdiri dan bertepuk tangan. Pria berjubah hitam beranjak dari tempatnya
menyalami satu persatu keempat orang tadi. Beberapa orang bangun dari bangku
mendekati mereka dan mengambil foto. Dari orang-orang itu, ada yang memberi
karangan bunga kepada pria berjubah, ada yang mengucapkan selamat, ada juga
yang memeluknya.
Aku ikut
mendekat untuk melihat dengan jelas. Wajah pria berjubah itu tampak di antara
kerumunan. Aku seperti mengenalnya. Ia sangat tidak asing, tapi siapa?
Ketika otakku
sedang berusaha mengingat siapa dirinya, ia tiba-tiba menatapku. Mata kami
beradu sesaat. Kemudian matanya berbinar.
"Hasan!
Syukurlah kau datang!" Pekiknya gembira. Ia menerobos kerumunan lalu
memelukku erat.
Suara ini...
Suara ini aku kenal betul, ia adalah Mustafa. Kuperhatikan lagi wajahnya,
memang benar Mustafa. Namun seperti ada beberapa sudut yang berubah darinya.
Yaitu wajahnya tampak lebih tua dan bijak. Aku semakin heran.
"Lama
tidak bertemu." Ujarnya.
"Kenapa
kita di sini?" Responku sama sekali tidak berhubungan dengan kalimatnya.
"Oh,
maafkan aku telat mengabari. Seharusnya acara sidang ini berlangsung di kampus.
Hanya saja ada pergantian tempat yang mendadak. Bagaimanapun juga, kau
menghadirinya." Mustafa menepuk-nepuk bahuku sambil tersenyum.
Aku tambah
bingung.
"Maksudku,
kenapa kita di ruangan ini? Bukankah tadi sore aku pergi ke Khan Khalili.
Sementara kau ikut pengajian dan....oh, sebelumnya maafkan aku atas percakapan
kita yang buruk. Itu salahku."
Alis Mustafa
bertaut, ia mengernyit. Sekarang kami sama-sama berbagi bingung.
"Maksudmu?"
Tanya Mustafa.
"Kau
ingat, tadi kau mengajakku ke pengajian dan aku lebih memilih jalan-jalan, lalu
komunikasi kita berakhir buruk. Ingatkan? Sekali lagi, aku sangat minta maaf
soal itu"
Kini Mustafa
justru lebih heran. Ia menatapku mencerna apa yang kukatakan. Wajahnya tampak
berpikir keras. Setelah beberapa detik, alisnya kembali normal, lalu matanya
membesar.
"Ah,
padahal aku sudah melupakannya. Kenapa kau masih ingat?" Sepertinya ia
tahu yang kumaksud. "Maksudmu, saat kau dan Hamid ke Khan Khalili
bukan?"
"Iya!"
Jawabku.
"Sudahlah,
lupakan saja. Jangan mengungkit-ungkit hal lama, lagian kita masih terlalu
kekanak-kanakan saat itu."
"Hal
lama?"
"Itu sudah
sepuluh tahun yang lalu, Hasan." Kata Mustafa dengan ekspresi bingung.
Seseorang
memanggil Mustafa. Ia menyalamiku, kemudian berbalik dan memasuki kerumunan
orang-orang. Mereka menyalaminya. Ia tersenyum kepada mereka, lebar sekali
senyumnya.
Sementara aku
masih terpaku di tempat, mengingat kalimat terakhirnya. Yang benar saja?
Sepuluh tahun? Aku terdiam. Bukan diam seribu bahasa. Karena hanya satu bahasa
yang kukuasai dengan baik.[]
*Penulis Merupakan Mahasiswa Tingkat 2 Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar.
Baca juga Cerpen: Perpolitikan Kamar Mandi
Posting Komentar