Abuya Muhibuddin Waly, Ulama Karismatik Aceh dan Karya Fenomenalnya di Universitas Al-Azhar
Oleh: Muhammad Syukran*
Aceh adalah dataran luas diantara laut lepas Samudera Hindia. Aceh sangat terkenal dengan julukan Serambi Mekahnya. Ada yang sangat menarik dari Aceh, dimana simbol agamanya dikekalkan dalam suasana dayah. Yang kemudian menjadi pusat sumber ilmu agama Islam. Di sana terdapat banyak wali dan ulama yang menerangi umat dan berkhidmah untuk ilmu agama. Deskripsi awal yang terlintas di benak orang tentang Aceh adalah dunia pendidikan Islam yang kompleks hingga praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Aceh memiliki banyak ulama kharismatik sejak dahulu hingga kini. Para ulama tersebut bukan hanya memiliki tempat di hati masyarakat Aceh, namun juga sebagai panutan umat dalam berbagai hal. Di Aceh pula hidup seorang ulama kharismatik yang bernama Abuya Prof. Tengku. H. Muhibuddin Muhammad Waly Al-Khalidy. Atau akrab disapa dengan Abuya Muhibuddin Waly.
Abuya Muhibbuddin Waly merupakan ulama besar di Aceh, yang juga merupakan guru besar Tarekat Naqsyabandiyah. Beliau juga pemimpin Pondok Pesantren Darussalam, Labuhan Haji. Dilahirkan di Aceh, 17 Desember 1936, Abuya Muhibbuddin Waly merupakan putra tertua dari ulama terkemuka di kalangan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy dan Ibu Hajjah Rasimah. Sang Ayah merupakan ulama besar yang berasal dari Minangkabau.
Dari sang ayahanda yang keturunan Minang, dan mendapatkan julukan Syekh Muda Waly, dalam diri Abuya Muhibbuddin mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Muda Waly, adalah Datuk Pelumat, seorang ulama yang termasyhur di Minangkabau.
Baca juga: Ahli Tasawuf Dari Al-Azhar Telah Tiada
Dari sinilah sang ayah, Syekh Muda Waly mewarisi kharisma dan karamahnya. Sedangkan Syekh Muda Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek Sayyid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah.
Karena persahabatan itu pula, Syekh Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya. Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Sejak kecil pun, ia mendapatkan pendidikan dari sang ayah sepenuhnya.
Adapun, dari pendidikan agama tersebutlah Abuya Muhibbuddin berhasil mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo. Tak banyak orang tahu, beliau pernah belajar di Al-Azhar. Bahwa Abuya diterima tanpa tes di Mesir karena ijazah Pesantren Darussalam, Labuhan Haji diaukui oleh Mesir saat itu. Kemudian beliau dibantu keberangkatan dengan segala kebutuhan oleh K.H. Acmad Sjaichu, ulama besar Jawa dan sekaligus Ketua DPR GR. Lulus pada tahun 1971, waktu kuliahnya terbilang singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Adapun disertasi doktoralnya berjudul “Al-Ijtihad fi al-Fiqh al-Islamiy” atau “Ijtihad dalam Fikih Islam” merupakan karya fenomenalnya selama belajar di Universitas Al-Azhar yang membahas seputar pengantar hukum Islam. Di bawah bimbingan langsung Syekh Prof. Dr. Musthafa Abdul Khaliq yang menjabat sebagai kepala jurusan Ushul Fikih dan pengajar di Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar, Kairo. Disertasi tersebut disidang oleh penguji dari masyaikh Azhar di tahun 1969 /1389 H. Berbalut sampul hitam legam dan tertulis di sampul depan dengan tinta berwarna emas. Terhitung memiliki 920 lembar halaman dengan ketebalan sekitar 2,5 inci, lebar 20 cm dan tinggi 30 cm. Persis seperti risalah mahasiswa Al-Azhar yang lain.
Risalah Abuya Muhibuddin Waly ini membahas seputar permasalahan ijtihad berikut ulama dan para fuqaha’. Seputar permasalahan agama yang menyangkut materialisme juga universal yang belum sempat dibahas hukum-hukumnya dalam nash sharih di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Berikut syiar para ulama dan tokoh cendekiawan muslim dunia dalam muktamar perdana mereka yang diselenggarakan di Kairo, di bulan Syawal tahun 1382 H bertepatan dengan bulan Agustus 1964. Pada acara tersebut membahas masalah-masalah yang baru terjadi di kalangan muslim, dalam ruang lingkup ijtihad, taqlid dan talfiq.
Di belahan dunia lain tersiar kabar di beberapa negara muslim bahwa ada pemuka agama yang melarang masyarakatnya untuk mengikuti Imam Fikih Mazhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Akan tetapi mereka rekomendasikan kepada orang-orang yang mengambil hukum langsung dari Al-Quran dan Hadis. Seakan-akan mereka seperti para mujtahid dan salafus shaleh terdahulu.
Dengan kata lain risalah ini tidak bermaksud menutup bab-bab bahasan tentang ijtihad, akan tetapi sebaliknya, bahwa bab penelitian, diskusi dan kajian masih terbuka lebar. Adapun bahasan Abuya mencakup 3 kriteria: sudut pandang sejarah, sudut pandang seputar Ushul Fiqh, dan sudut pandang fikih Islam.
Dari segi judul disertasi Abuya terlihat sangat menitik fokuskan bahasan dalam masalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam Ushul Fiqh, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam Asy-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan Imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi’i hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek kriteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli Ushul Fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
Problema hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa yang masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan.
Sementara itu, nash Al-Quran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu. Dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Quran dan Sunnah dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.
Salah seorang mufti juga ulama besar Malaysia bernama alm. Ustadz Dr. Harun Din mengakui bahwa Abuya Muhibbuddin adalah mahasiswa Mesir pertama di Fakultas Syariah Islamiyah dalam bidang ushul, dan Dr. Harun adalah adik kelas beliau di Mesir. Dr. Harun meninggal di Amerika dan disana pula beliau dikebumikan.
Sepulangnya dari Mesir beliau diangkat oleh Pak Harto menjadi salah satu anggota DPR RI di bidang Fraksi NU. Abuya Muhibbudin Waly menghabiskan waktunya dalam pengembaraan keilmuan mulai dari Aceh, Mesir, Jakarta, Malaysia dan tempat-tempat lainnya, bahkan beliau pernah menjadi guru besar di beberapa perguruan tinggi di Malaysia.
Menjelang usia sepuhnya, beliau kembali ke Aceh dan kembali mendidik banyak santri terutama di Dayah Darussalam Labuhan Haji. Juga secara aktif menjadi pemateri di Kajian Tinggi Keislaman Mesjid Raya Baiturrahman yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama Aceh dan isi pengajian tersebut telah dibukukan. Abuya Muhibbuddin Waly adalah lautan ilmu, rajin membaca, insaf dalam berpandangan. Setelah wafatnya Abuya, dunia dayah di Aceh secara keseluruhan kehilangan salah satu sosok intelektual terbaiknya.
Tidak banyak yang bisa penulis sajikan tentang disertasi Abuya Muhibbuddin Waly ini, karena masih dalam masa belajar. Penulis sangat berharap karya Abuya ini bisa dinikmati oleh seluruh khalayak terkhusus thalibul ilmi. Sehingga keluasan ilmu Abuya terus mengalir dan tersampaikan ke anak cucu kita kelak. Bahwa tradisi mewarisi keilmuan di antara para ulama terus berjalan di Aceh. Ada pepatah yang mengatakan bahwa karya dan kitab adalah warisan yang paling sah milik para ulama.
Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir baru-baru ini akan menggelar acara seminar seputar keilmuan yang melibatkan dua tokoh besar di Aceh. Bertemakan “Al-Azhar dan Dayah untuk Aceh”. Abi Zahrul Fuadi atau sering dipanggil Abi Mudi akan mengisi seminar online mewakili madrasah dayah. Juga Tgk. Fadhil Rahmi, Lc. alumni Al-Azhar yang sedang menjabat sebagai anggota DPD RI yang akan membawa materi seputar keazharan. Serta harapan kedua elemen tersebut untuk masa depan Aceh yang lebih maju. Penulis rasa ini merupakan modal yang sangat besar dalam keilmuan di Aceh untuk masa mendatang. Berharap semoga hubungan baik ini terus terjalin erat.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo.
Posting Komentar