Gelora Sang Anak Batu

 

Oleh: Setia Farah Dhiba

(Sumber foto: Google)
Beliau memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, berasal dari kabilah Kinanah di daerah Asqalan. Lahir di Mesir, tepatnya di Qahirah al-Mu’izziyah hari ke 22 bulan Sya’ban 773 H/1.372 M.. Bumi Mesir menjadi tempat beliau tumbuh dan belajar sejak kecil hingga wafat. Bermazhab asy-Syafi’i, dengan gelar Qadhi al-Qudhah, Syaikhul Islam, al-Hafizh, guru besar di bidang Hadits. Beliau pula mendapat gelar Syihabuddin lantaran gelora api semangat dalam belajar agama. Selain itu, Ayahanda beliau pula memberinya kunyah Abu al-Fadhl. Memiliki nama Pena “Ibn Hajar, Jika diterjemahkan bermakna anak batu, selain nisbah kepada buyut beliau Hajar,  ternyata ada hal lain yang membuat beliau memilih nama tersebut. 

Saat berusia empat tahun beliau ditinggalkan sang Ayah, tepatnya pada bulan Rajab 777 H/1357 M.. Saat itu ayahanda beliau menjadi satu-satunya tempat Ibn Hajar kecil berpangku. Sedangkan sang Ibunda telah terlebih dahulu wafat. Musibah yang  bertubi-tubi ini begitu mengusik pikiran Ibnu Hajar kecil yang mulai memasuki fase belajar, dari situ ia mulai mengalami kesulitan menghafal serta memahami hal-hal sederhana dalam pembelajarannya. Sampai satu hari dimana ia memutuskan sejenak meninggalkan kelas belajarnya untuk memaknai apa yang sedang terjadi pada jiwanya.

Qadarullah kala berjalan meratapi diri, turunlah hujan lebat yang mengantarkannya berteduh di dalam sebuah gua. Di dalam sana al-Hafizh duduk termenung. Hujan yang mereda meninggalkan tetesan air yang jatuh ke atas bebatuan. Perlahan nan lembut meneduhkan hatinya, tetesan air itu membuat bebatuan sekitar gua tersebut berlubang. Lantas beliau merenungi bahwasannya tidak mungkin itu semua terjadi jika bukan karena kuasa Allah Ta’ala.

Berangkat dari kejadian tersebut kemudian al-Hafizh tergerak untuk kembali ke tempat belajarnya dan mendiskusikan persoalan ini pada gurunya. Mendengar cerita muridnya, sang Guru membuka satu rahasia kepada al-Hafizh,

“Lihatlah, Jika air hujan saja menetes dengan lembut karena tunduk dan patuh mengikuti ketentuan Allah bisa menjadikan batu yang sangat keras jadi berlubang, bagaimana lagi jika dirimu mau patuh atas ketentuan Allah dalam hidupmu.”

Dari situ Ibn Hajar mulai tersadar, semangatnya menggelora. Ia yakin tak ada kata sulit dan payah jika terus berusaha dan menyerahkan semua hasilnya pada Allah.

Semula satu hadis terasa sukar untuk dihafalkan. Tak lama berselang masa yang singkat Shahih al-Bukhari hadir dalam benak sang Imam. Tak tanggung-tanggung, beliau hingga mensyarahkannya dalam delapan belas jilid kitab yang dinamai Fath al-Bari Bisyarh Shahih al-Bukhari. Nama kitab ini merupakan isyarat dari kejadian yang beliau alami. Al-Bari adalah satu dari nama Allah yakni sifat baik Allah yang senantiasa memberikan bermacam kebaikan yang bersifat luas dalam kehidupan hambanya. Kemudian Fath yaitu sesuatu yang terbuka. Maka Ibnu Hajar mengisyaratkan dari pemberian nama tersebut seumpamanya siapa saja yang ingin terbuka segala kebaikan dalam hidupnya entah itu persoalan keluarga, pekerjaan, sosial dan hal lain hendaknya memulai mempelajari apa yang sudah beliau syarahkan dalam kitab tersebut.

(Sumber foto: nacihashop.com)

Melalui kitab ini sang Imam, dengan nama pena “ Ibn Hajar”  ingin menyampaikan bahwa beliau pernah mengalami kesulitan dalam hal menghafal, kesulitan sekeras batu, bahkan lebih dari itu. Namun dengan kuasa Allah Ta’ala semua kesulitan tersebut bisa dibuka dengan segala kebaikan-kebaikan dari Allah. Kebaikan-kebaikan inilah kemudian beliau tuangkan dalam Fath Al bari, penjabaran dari kitab Bukhari.

Syarah al-Bukhari adalah yang terbesar secara mutlak, dan karya al-Hafizh yang terbesar. Kedelapan belas jilid kitab tersebut yang kemudian dalam Alquran hanya disingkat dengan satu kata yaitu “Taqwa”. Pada penggalan akhir Quran surah al-Baqarah Ayat 282 Allah Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ  ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ  ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Dan bertakwalah kepada Allah, Ia Dzat yang memberikan pengajaran kepadamu, dan Ia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Maka dapat diperhatikan redaksi konsep ilmu dalam al-Quran bersifat “pemberian” bukan hanya hasil kerja keras seorang pelajar itu sendiri. Secara hukum dunia seseorang belajar lalu mendapat pengetahuan. Namun di seberang sana terdapat hukum akhirat, yang mana jika seorang thalibul ‘ilmi mendekati pemilik ilmu, bukankah lebih mudah untuk mendapatkan ilmu dari pemiliknya?

Al-hafizh adalah gambaran nyata seseorang yang berhasil mencapai esensi dari makna “takwa”. Dekat dengan Allah Ta’ala, berpengetahuan luas dalam masa yang singkat, mendapatkan furqan; mampu membedakan mana yang bermanfaat dan tidak, dijaga dari maksiat, dijadikan sebagai orang mulia di dunia, cepat diberikan solusi dalam masalah yang dihadapi, serta mendapat kebahagiaan juga kesuksesan di dunia.

Baca juga: Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi

Dr. Hamid Abdul Majid mengatakan, “Allah telah menjadikannya mencintai hadits, lalu merasa lahap dengannya, bersemangat padanya, mewakafkan hidupnya untuk mempelajarinya, dan memperbanyak perjalanan untuk mencarinya.” Nukhbah al-Fikr fi Musthalah Ahl al-Atsar, merupakan karya lain dari Ibnu Hajar sebagai ringkasan dari Ulum al-Hadits karya Ibnu ash-Shalah. beliau pun turut menambahkan beberapa maklumat yang tidak disebutkan oleh Ibnu ash-Shalah. Beliau pula dapat menyatukan esensinya hanya dalam beberapa lembar saja mengikuti tertib maklumat yang terbaharukan. ini menjadi tanda dari kejeniusan sang Imam. Ringkasan maklumat istilah-istilah hadis pada kitab Nukhbah al-Fikr secara sederhana dijelaskan secara luas pada syarahannya Nuzhah an-Nazhar. Sebagai pelajar pemula, kedua kitab ini bisa menjadi langkah-langkah awal sebelum memasuki ruang keilmuan hadis yang lebih luas lagi.

Pada malam sabtu permulaan 28 Dzulhijjah 852 H, cucu dan sebagian sahabat duduk di sekelilingnya membaca surah Yasin sekali dan mengulanginya kembali. Sampai pada Firman-Nya,

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

 “(Mereka) mendapat ucapan salam (sebagai tanda selamat) dari Tuhan yang Maha Penyayang" 

Ibn Hajar al-Hafizh kembali pada Rabbnya. Semoga Allah Ta’ala senantiasa merahmati beliau dan mengganjarkan pahala terbaik atas apa yang sudah dituliskan untuk generasi setelahnya. Mempelajari ilmu hadits secara tidak langsung membawa kita semakin mencintai apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ. Karena hidup bukanlah perkara durasi, tapi kontribusi. Juga setiap manusia akan kembali pada Sang Ilahi untuk mempertanggungjawabkan amal sepanjang umur yang diberi.

Penulis adalah Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Syari'ah Islamiyah Universitas Al Azhar, Kairo.

Editor: Annas muttaqin S

 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top