Di Bawah Petir Merah (Bagian Satu)
Oleh: Tim Phan
(Sumber foto: agencia-detectives.com) |
“Jessica, kau sudah amankan orang-orang di Iuar sana?” teriak Eric
pada rekan kerjanya.
“Sudah, bos. Aman sentosa.” Jessica balas dengan sigap. Wajahnya
keringatan, susah sekali mengatur manusia di luar gedung agar tertib.
Eric menghela napas pelan. Sudah hampir dua jam ia berada di dalam
gedung. Ribuan orang di luar sana meminta penjelasan apa yang baru saja
terjadi. Kalau dilihat lagi lebih jauh, puluhan wartawan sedang siaran
langsung. Menyiarkan dari luar gedung, apa yang sedang terjadi.
“CEO Perusahaan Multibillionare LIGHTING, Kimberly Jupiter, baru
saja ditemukan tewas di kantornya malam ini. Sejauh informasi yang kami dapat
bahwa penyebab kematian adalah sengatan alur listrik.” Salah satu wartawan
menyiarkan berita langsung.
Cepat sekali berita itu berlabuh ke seluruh penjuru kota. Kota New
York dengan segala macam kesibukan sekarang malah prihatin dengan apa yang baru
saja terjadi di salah satu gedung dengan puluhan lantai tersebut.
“Bos, apakah kau tahu siapa pelakunya?” tanya Jessica, memecah
lamunan Eric yang menatap kosong ke lantai bekas mayat Kimberly.
“Kita bahkan tidak tahu apakah ini sebuah pembunuhan, Jess.” Eric
menatap lamat-lamat rekan kerjanya.
“Ini sudah pasti pembunuhan, bos. Lihatlah wanita ini. Dia sukses,
punya suami dan anak-anak yang lucu. Apa lagi yang membuatnya mati kecuali
dibunuh. Ribuan orang di luar sana rela mati demi bisa mendapat hidup seperti Kimberly.”
Jessica menimpali.
“Semua orang punya masalahnya sendiri, Jess.” Eric melangkah keluar
ruangan.
Sejam setelahnya, konferensi pers dimulai. Eric dan Jessica duduk
di podium di depan ratusan wartawan dengan ratusan macam percakapan. Kabar tentang
kematian Kimberly sudah menyebar dimana-mana. Teori konspirasi pun tak
terhindarkan. Ada yang mengataka kalau yang membunuh Kimberly adalah karyawan
yang baru saja dipecatnya kemarin hari. Juga pembunuhnya adalah rasa sombongnya
itu. Bahkan ada yang menagatakan bahwa pembunuhnya adalah dewa petir yang tidak
setuju dengan apa yang dikerjakan Kimberly di perusahaannya.
Eric menjawab beberapa pertanyaan dari wartawan. Satu dua ia jawab
sebisa mungkin. Kebanyakan ia mengatakan “semua masih dalam investigasi.”
Wartawan jaman sekarang rasa ingin tahunya berbeda jauh dengan
dulu. Mereka ingin terus menggali hingga hal unik keluar dari kasus ini. Kalau Eric
belum berkata bahwa Kimberly ‘dibunuh’, mereka tidak akan segan-segan berdiri
seharian di sana, bertanya pertanyaan yang sama.
Dua jam, konferensi pers itu tuntas. Kesimpulannya tidak sepenuhnya
tuntas, masih butuh investigasi.
“Jess, apa laporan dari forensik?”
Jessica mengambil tabletnya. Membuka pesan dari forensik.
“Penyebab kematian adalah sengatan listrik tegangan tinggi.
Tegangan tersebut berasal dari kabel yang terpotong dan mengenai genangan air.
Dari sana Kimberly masuk ke dalam kantor dan menginjak air yang menggenang di
lantai dan berakhir hingga kita temukan sekarang.”
Eric menunduk sebentar. Menggosok dagunya. Kasus ini menjadi
semakin rumit saja.
“Bos, bukankah dari laporan ini bisa kita simpulkan kalau ini hanya
kecelakaan?” Jessica menutup gawainya.
Eric masih diam. Ada lubang yang tidak terjamah dalam kasus ini.
“Dan juga, forensik menemukan kertas di atas meja kantor yang
bertuliskan puisi. Aku tidak paham.” Jessica meyerahkan plastik bening. Di
dalamnya berisi kertas yang basah setengah. Bertuliskan puisi.
Senja menyapa, matahari mulai ditelan,
Kutemukan sang rembulan yang duduk tenang di bawah pohon pinus.
Wajahnya indah rupawan, rambutnya diterpa angin,
Sembari menatap langit dengan senyum tulus.
Dia panglima dalam perang titan,
Mengubur pamannya dibawah gelapnya tartarus
Dengan tegarnya mengalahkan raksasa
Terus berdiri tegap diatas puncak olympus.
Singgasananya menguasai langit dan bintang-bintang,
Tetap tidak tahu nama anaknya dionysus.
Eric menatap lamat-lamat kertas itu sebelum beberap detik kemudian
mendapat telepon. Panggilan dari teman lamanya.
***
“Bos, siapa orang ini?” Jessica terus saja mengoceh di sepanjang
perjalanan dengan pertanyaan yang sama. Mereka berada di gedung tinggi di mana Kimberly
ditemukan tewas.
“Ia temanku, Jess. Kau santai saja. Tidak ada hal buruk yang akan
terjadi. Bahkan kalau ia ada di sini, semua akan berjalan lancar.” Eric sudah
menjawab pertanyaan Jessica berkali-kali.
Kemarin, Eric mendapat telepon dari teman lamanya semasa di akademi
kepolisian. Ia mengungkap satu hal yang membuat Eric bersemangat. Satu kalimat
itu membuat Eric tahu bahwa orang satu ini mempunyai jawaban yang cukup untuk
menyelesaikan kasus.
“Hai, namaku Basyiriy. Panggil saja Basya.” Basya datang beberapa
menit setelah Eric dan Jessica beradu argumen.
Jessica tersenyum sambil memperkenalkan namanya.
“Ini tempatnya?” tanya Basya sambil memerhatikan sekitar.
“Yap. Kau berada di sarang serigala, seperti hari-hari dulu, Basya.”
Eric mengikuti Basya.
“Itu hanya kisah masa lalu, Eric.” Basya menjawab pendek.
Eric dan Jessica memerhatikan Basya yang sejak tadi melangkah ke sana
dan kemari. Terkadang dia jongkok dan lama sekali melihat lantai. Setelah itu
ia mengambil kursi dan melihat ke atas langit-langit ruangan. Menghela napas
pelan, bibirnya monyong kedepan.
“Apa yang kau temukan?” mata Eric berbinar-binar. Ia tahu sekali
kemampuan pria di depannya ini.
“Tidak banyak.” Basya menjawab singkat.
“Kalau kau sudah berkata tidak banyak, berarti sudah banyak sekali
yang kau simpulkan.” Eric tersenyum.
Basya tersenyum tipis mendengar kalimat Eric. Jessica yang berdiri
di antara mereka tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
“Kau sudah mengumpulkan mereka?”
“Yap.”
Sejenak, Eric dan Basya sudah sampai di rumah Kimberly. Jessica
kembali ke kantor polisi. Basya memberikannya sebuah pulpen dari atas meja kerja.
“Hera, benar?” Eric bertanya pada salah seorang wanita yang
membukakan pintu rumah. Paras perempuan itu cantik. Rambutnya terikat rapi.
Mata birunya mengerjap-ngerjap anggun.
“Kau yang menemukan Kimberly tewas di dalam ruangannya malam itu?” Eric
bertanya sesudah Hera menyeduhkan teh.
“Iya, aku yang menemukannya dan juga yang menelpon kalian para
polisi. Bukankah kalian telah bertanya pertanyaan ini kemarin dan sekarang
kalian menyuruhku ke sini hanya untuk bertanya pertanyaan yang sama?” tatap Hera
galak.
“Tidak, bukan begitu nyonya Hera. Kami hanya perlu memastikan lebih
lanjut.” Eric berusaha menenangkan.
“Apa tepatnya pekerjaanmu sebagai asisten?” kali ini Basya yang
bertanya.
“Aku menyiapkan kopi tiap pagi, memesan makan siang, mengatur makan
siang dan juga melaksanakan apa yang nyonya Kimberly perintahkan.” Hera kembali
tenang, menjawab santai pertanyaan.
“Apakah itu termasuk menyiapkan kopi untuk Tuan Daniel?”
Suasana lengang, Hera yang mendengar pertanyaan itu menatap Basya
tajam.
“Iya, terkadang Tuan Daniel memintaku menyiapkan kopi dan membeli
makan siang untuknya.” Mata Hera masih menatap tajam Basya.
“Hanya itu? bagaimana dengan setelah rapat semalam?” lanjut Basya.
“Tuan Daniel pulang dan aku kembali ke kantor sebelum akhirnya
menemukan nyonya Kimberly yang tersengat listrik.”
“Apakah kau tahu sesuatu tentang hubungan Kimberly dan Daniel?”
“Tidak terlalu. Tapi pagi sebelum kematian aku mendengar nyonya Kimberly
berteriak dari ruangan kerjanya. Saat itu di dalam hanya ada nyonya Kimberly
dan tuan Daniel.”
“Kalimat apa yang ia teriaki?”
“’Aku tidak akan menyerahkannya padamu.’” Basya menulis sesuatu di
buku kecilnya.
“Daniel Jupiter. Di mana anda tepatnya pada malam hari ketika Kimberly
meninggal?” sejenak, Daniel keluar dari ruangan kerjanya, duduk di sofa.
“Aku pulang duluan karena ada hal lain yang harus kukerjakan.” Daniel
duduk santai menjawab.
“Apa hal penting itu?” Basya sibuk mencatat di buku kecilnya sambil
terus bertanya.
“Malam itu aku harus bertemu dengan para shareholder.
Membicarakan banyak hal apa ke depannya yang akan perusahaan lakukan. Itu hanya
teknis, untuk membuat perusahaan ini lebih baik ke depannya.”
“Apakah hanya itu?” lanjut Basya.
“Maksudmu apa?”
“Kau tahu? Meeting shareholder semalam itu hanya berlangsung
sekitar dua jam. Dari pukul 6 sore hingga pukul 8 malam. Kimberly ditemukan
meninggal pukul setengah sepuluh malam oleh Hera. Apa yang kau lakukan di jam
tersebut?”
“Ya, aku pulang ke rumah. Mandi dan makan malam.”
“Hanya itu? tidak ada hal lain?”
Daniel menatap tajam. “Ya, kami berdua sedikit bertengkar lewat
telepon. Tapi itu hanya berdebat tentang rencana Kimberly yang ingin pensiun
menjadi CEO. Pertengkaran itu berakhir dengan baik.” Ia menghela napas.
“Kami menemukan ini di ruangan kerjanya Nyonya Kimberly. Apakah kau
tahu apa maksud dari tulisan ini?” Eric menyerahkan plastik yang di dalamnya
secarik kertas berisi tulisan yang dibacanya kemarin.
Daniel membacanya sejenak. “Aku tidak tahu. Kimberly sering sekali
menulis puisi tentang dewa-dewa. Itu pasti salah satu dari banyak puisi yang
dituliskannya untukku.”
Daniel benar, di kantor Kimberly banyak sekali buku tentang dewa
mitologi bermacam kepercayaan.
“Satu pertanyaan lagi, tuan Daniel. Apakah anda kidal?”
“Tidak, aku bukan kidal.”
Setelah bertanya banyak hal lainnya, Eric dan yang lainnya
memutuskan pergi dari rumah itu. Daniel dan Hera juga ikut keluar, mereka ada
rapat penting tentang siapa yang akan memegang kendali perusahaan.
“Kau tahu sesuatu kan, Basya?” tanya Eric yang melihat tajam mobil
yang dikendarai oleh Daniel dan juga Hera.
“Ya, aku tahu. Tapi tidak semudah itu.”
“Kenapa akhirnya kau kembali menerima kasus ini setelah sekian
lama?” Eric menatap lamat-lamat sahabatnya itu.
“Dua hari lalu, aku bertemu dengan sepasang kekasih. Suaminya
bernama Cadmus dan istrinya bernama Hermonia. Aku tidak tahu darimana mereka
mengetahui reputasiku. Mereka menyebutkan banyak hal tentang diriku. Sebelum
pada akhirnya aku menerima potongan puisi yang sama persis seperti yang kalian
temukan di meja Kimberly. Pertama tentu saja aku tidak akan menerima kasus ini,
tapi setelah itu mereka menawarkan sesuatu yang tidak bisa kutolak.” Basya menghela napas.
“Apa itu?”
“5 Oktober 2020.”
Mata Eric membesar, tahu persis apa maksud dari tanggal itu.
Tanggal itu adalah tanggal dimana banyak hal dimulai dan banyak hal berakhir.
Dimulai karir Eric sebagai detektif dan berakhirnya perjalanannya bersama
dengan Basya.
“Setelah mendengar tawaran itu, tentu saja aku akan menyelesaikan
kasus itu. Apapun itu, aku akan menyelesaikannya.”
Sejenak, telepon Eric berbunyi. Panggilan dari Jessica.
“Ya, jess. Bagaimana?”
“Semuanya sesuai.” Jessica berseru riang.
Eric menatap Basya yang sudah tersenyum.
(Bersambung bagian dua)
Posting Komentar