Perempuan Dalam Pendidikan; Jika Dibatasi, Siapa yang Akan Bergerak?

Oleh: Fadhila Talia Salsabila

(Sumber Foto: https://muslimgirl.com/)

Tidak ada yang salah saat perempuan ikut andil dalam pendidikan. Namun sebagian orang menilai bahwa perempuan yang berpendidikan, kelak akan menjadi saingan sang suami saat membangun rumah tangga. Rumor atau pandangan demikian tentu keliru, lantaran sejatinya perempuan mendapat pendidikan adalah hak sebagai manusia dan juga sebagai madrasatul ula, pendidik generasi bangsa.

Ironi tentang pendidikan bagi perempuan tak hanya terjadi saat ini, jauh sebelum manusia mengenal teknologipun, pendidikan telah menjadi ironi bagi perempuan. Sejarah membenarkan, bahwa dahulu status perempuan hanya dianggap pemuas nafsu belaka. Di masa Arab Jahiliah setiap bayi perempuan yang lahir wajib dibunuh. Demikian pula jauh sebelumnya, peradaban Yunani Kuno yang dikenal sebagai masa-masa lahirnya para pemikir dan filosof.  Perempuan pun tak memiliki hak penuh hidup sebagai masnusia. Perempuan pada kalangan elite disekap dan diletakkan dalam istana, sedangkan dalam kalangan masyarakat biasa, perempuan hanya dipandang sebagai barang yang diperjual belikan sebagai pemuas lelaki.

Tak hanya itu, bahkan salah satu dari tiga serangkai filosof besar Yuniani yaitu “Bapak Kaum Realisme Aristoteles (384 – 322 SM), pun memiliki pemikiran yang pasif terhadap perempuan. Ia juga mengatakan bahwa perempuan secara alami merupakan makhluk yang tidak dewasa, kurang akal, lemah dan cacat dibandingkan lelaki.

Kita Juga tidak menemukan filosof perempuan yang mampu bertahan dalam sejarah filsafat. Hal tersebut tidak terlepas dari anggapan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bahkan bukan manusia seutuhnya. Hingga kemudian Islam hadir untuk menyamaratakan hak lelaki dan perempuan khususnya dalam menuntut ilmu.

Jika bercermin pada sejarah, Mesir merupakan salah satu negeri yang pernah dikuasai oleh berbagai penjajah, hingga upaya pembaharuan demi pembaharuan terus berlangsung. Salah satu bentuk upaya pembaharuan adalah menyetarakan hak laki-laki dan perempuan. Perempuan yang awalnya hanya sebagai orang yang mengurusi dapur rumah belaka, kemudian perlahan mulai diikut sertakan dalam dunia sekolah dan mendapat pendidikan yang layak.

Pembaruan ini dipelopori oleh seorang pemikir besar jebolan Al Azhar, syekh Rifa’at Tahtawi[1]. Berangkat dari pertanyaan “Bagaimana perempuan kelak bisa melahirkan prajurit serta pemuda-pemuda ulung jika para perempuan tidak mengecap nikmat ilmu pengetahuan?” dari situ syekh Tahtawi menyusun jawaban dan mulai berinisiasi untuk mengubah padangan masyarakat tentang pendidikan untuk perempuan. Hasilnya adalah seperti yang kita rasakan saat ini, Mesir menjadi manaratul ilm, kiblatnya ilmu. Dari didikan perempuan berpendidikan itu pula lahir  para prajurit dan pemuda-pemuda hebat yang mampu mempertahankan negara dari para penjajah.

Hari ini kita menyaksikan langsung, para orang tua sangat bersemangat menyekolahkan anak perempuannya sebisa mungkin walau kemudian mendapat kendala dalam finansial. Dengan harapan bisa memberikan manfaat lebih besar kepada sekitar seklaigus dapat mendidik generasi bangsa kelak dengan baik. Namun tak berhenti di situ, dilema tentang pendidikan terhadap perempuanpun masih berlanjut. Perempuan sering kali kehilangan hak untuk mendapat pendidikan setelah membina rumah tangga. Kerap kali perempuan dihadapkan oleh pilihan “mengurus rumah tangga atau melanjutkan pendidikan?”

Nah, menghadapi pertanyaan seperti ini, Islam memberikan solusi agar sebuah ikatan pernikahan harus dimulai dengan saling kenal, dalam Islam fase ini disebut dengan ta’aruf. Di masa ini biasanya pihak lelaki dan perempuan membahas kesepakatan bagaimana setelah menikah kelak. Tak jarang lelaki mensyaratkan perempuan harus tinggal di rumah dan fokus menjaga anak. Kesepakatan seperti ini tentu memiliki pro dan kontra.

Mereka yang setuju dengan pandangan tersebut memandang, sebagai kepala keluarga, suami mempunyai kewajiban penuh dalam menafkahi anak dan istri. Maka tugas sang istri cukup mengurusi hal-hal rumah dan fokus menjaga anak. Pandangan ini bisa saja mengubah rumah menjadi “penjara yang membosankan” bagi sang istri. Lebih ekstream lagi, sang suami bisa saja melarang istrinya berhubungan penuh dengan dunia luar, bahkan hingga melarangnya mendapat hak diajar dan mengajar.

Sedangkan mereka yang tidak sependapat dengan pandangan demikian menilai, bahwa sekalipun sang suami memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga, mengurus rumah merupakan tugas bersama demikian pula merawat sang anak. Dari situ kendati sudah menikahpun, sang istri tidak terlepas dari mendapat hak-hak pendidikan, karena ia merupakan hak dasar sebagai manusia. Maka kalimat "Perempuan cukup di dapur," sangat bertentangan dengan moral sebagai manusia. Tentu hal ini sejalan dengan pandangan Islam yang menyamaratakan hak-hak sebagai manusia tanpa memandang gender. Lebih lagi,  kita tak lagi  hidup di zaman di mana perempuan hanya dianggap sebagai atribut menyusahkan?

Dalam masyarakat Aceh sendiri yang kental dengan penerapan Syariat Islam, pandangan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum pria sudah lebih awal berkembang, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Hal ini bisa dibuktikan dengan andil para perempuan Aceh dalam berbagai perang sebagaimana yang dikemukakan dalam terbitan website kmamesir.org (25/4/22) dengan judul “Aceh dan Emansipasi Wanita.

Lebih lanjut, penulis artikel tersebut membuktiakannya dengan celana yang digunakan dalam kostum pakaian adat Aceh bagi perempuan yang menjadi pembeda antara kostum pakaian adat dengan pakaian dengan daerah lain. Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan juga ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Perempuan Aceh adalah wanita perkasa dan mempunyai jiwa pejuang. Sangat disayangkan jika hanya dikurung di rumah. Padahal dalam Islam Sayyidah Aisyah Ra. pun perempuan yang cerdas dan berpendidikan.

Jika semua perempuan dibatasi, siapa yang akan bergerak menyampaikan ilmu?

Ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan perempuan, bidan atau dalam persoalan fikih yang lebih baik jika dijelaskan langsung oleh perempuan. Terutama di Aceh, kita perlu murabbiyah untuk menghidupkan keilmuan khususnya dalam bidang agama serta menyampaikan Islam wasathi di tengah masyarakat.

Bagaimana cara menyeimbangkan karir dan urusan rumah tangga sebagai perempuan?

Banyak alternatif dan jalan keluar asal sudah mendapat izin suami untuk bekerja. Contoh jika menjadi seorang guru, ia akan bangun lebih awal mengurus rumah, suami, masak dan keperluan sekolah anak. Lalu mengajar dan pulang ketika siang menyiapkan makanan kemudian lanjut merapikan rumah. Tidak ada yang terganggu, suami pulang dengan keadaan rumah yang beres.

demikian sekelumit ironi perempuan dalam pendidikan. Hal  Ini yang dikatakan pentingnya ta'aruf sebelum nikah. Supaya bisa saling memahami dan mengerti antar satu sama lain. Sekali lagi perlu ditekankan, bahwa perempuan bekerja dan mendapat pendidikan yang kayak setelah menikah bukan berniat untuk menyaingi sang suami. Ia hanya merasa memiliki tugas membantu suami dan amanah kepada umat untuk menyalurkan ilmu yang telah ia dapat.

Referensi :

1.      https://www.republika.co.id/berita/q7rxv8458/mengenal-tokoh-intelektual-mesir-rifaat-tahtawi#:~:text=Nama%20lengkapnya%20Rifa%27at,disebut%20melampaui%20itu.

2.      (Kedudukan Perempuan Dalam Perjalanan Sejarah). R Magdalena.

3.      https://www.idntimes.com/science/discovery/eka-amira/teori-aristoteles-yang-ternyata-salah-besar-exp-c1c2/2#:~:text=Aristoteles%20mengatakan%20bahwa%20wanita%20memiliki%20gigi%20lebih%20sedikit%20daripada%20pria.%20Selain%20itu%2C%20dia%20juga%20mengatakan%20bahwa%20dibandingkan%20laki-laki%2C%20wanita%20secara%20alami%20merupakan%20makhluk%20yang%20tidak%20dewasa%2C%20kurang%2C%20lemah%2C%20dan%20cacat.

Editor: Annas Muttaqin

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top