Satu Syubhat pada Film KCB yang Enggan Dimaafkan

Oleh: Muhammad Dany*
(Sumber gambar: IMBd)
"Ketika Cinta Bertasbih", film yang terkenal pada masanya meraup 3,1 juta penonton. Berhasil menginspirasi banyak orang, lebih menyakinkan lagi bahwa skenarionya Allah itu jauh lebih indah dibandingkan cita-cita atau rencana kita, tentu hanya disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.

Namun jika dikritisi lebih dalam lagi ada berberapa kejanggalan pada film box office tersebut, misal: pulang kuliah melewati Piramida. Hal itu merupakan hal yang aneh, masuk Piramida seharusnya bayar tiket, mahal lagi.

Tapi penulis tak ingin membahas hal itu, karena ada sesuatu yang lebih urgent untuk dikritik, yaitu mengenai bolehnya nikah dengan sebuah syarat, yang mana ia akan menjadikan sahnya pernikahan. Syarat itu dilontarkan oleh karakter Ana Althafunnisa', ketika seorang pria hendak melamarnya, scene ini terdapat di film episode pertama pada durasi ke 1:40:00.

"...Saya hanya ingin mengajukan syarat dan syarat ini menjadi sahnya akad nikah, keseluruhan diri saya akan menjadi halal kalau syarat ini dipenuhi. Pertama, setelah menikah saya harus tetap ada di sini (pondok pasantren). Yang kedua, selama saya masih hidup dan masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai istri, maka Mas Furqan tidak boleh menikahi dengan perempuan lain!" Ungkap Ana.

Syarat tersebut sempat disanggang keras oleh karakter Furqan, calon suami Ana di film tersebut, karena dia tidak pernah mengetahui hukum tersebut dibolehkan. Namun sanggahan itu pun di-skakmat oleh si wanita, dengan langsung membawakan sumber dibolehkannya dari kitab Al-Mughni.

Mengutip langsung dari kitab tersebut, di sana tertulis :

"... وجملة ذلك أن شرط في النكاح تنقسم أقساما ثلاثة ؛ أحدها، ما يلزم الوفاء به، وهو ما يعود إليها نفعه و فائدته، مثل أن يشترط لها ألا يخرجها من دارها أو بلدها، أو لا يسافر بها، أو لا يتزوج عليها، و لا يتسر عليها فهذا يلزمه وفاء لها به، فإن لم يفعل فلها فسخ نكاح. و يروي هذا عن عمر بن الخطاب، و سعد بن أبي وقاص، و معاوية، و عمرو بن العاص.

 به قال شريح، وعمر بن عبد العزيز، وجابر بن زيد، وطاوس، والأوزاعي، وإسحاق.

وأبطل هذه الشرط الزهري، و قتادة، و هشام بن عروة ومالك، والليث، والثورى، والشافعي، وابن المنذر، وأصحاب الرأي. وقال أبو حنيفة والشافعي : يفسد المهر دون العقد، ولها مهر المثل".

"...Kalimat di atas menunjukkan bahwa syarat pada nikah ada tiga pembagian: yang pertama, suatu yang wajib dilaksanakan, yang mana ia memberikan manfaat dan faidah kepada si istri, seperti mensyaratkan agar dia tidak pindah dari kawasan rumahnya atau negerinya, atau agar si lelaki tidak meninggalkannya ketika safar, atau tidak memadunya dan tidak merahasiakannya, syarat ini wajib dilaksanakan untuknya, kalau si suami tidak melakukan maka si perempuan berhak untuk membatalkan pernikahannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Said bin Abi Waqqas, Muawiyah, Amru bin Ash.

Seperti itu pula pendapat Syuraih, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Awza'i dan Ishaq.

Akan tetapi Imam Zuhri, Qatadah, Hisyam, Malik, Lais, Tsauri, Syafi'i, Ibnu Munzir, dan ulama ahli rayi (Ulama Hanafiyah) membatalkan syarat ini, Imam Abu Hanifah dan Syafi'i mengatakan akadnya sah, tetapi maharnya batil, bagi si perempuan mahar misli". (Al-Mughni, karya Ibnu Kudamah, halaman 483, jilid sembilan, cetakan Dar A'limul Kutub, Riyadh)


Di sini terdapat kejanggalan kenapa Mas Furqan, seorang magister Al-Azhar peraih predikat Cumlaude, hanya membaca sebahagian babnya saja, tidak melanjutkan ke kalimat setelahnya, yang mana imam- imam lainnya melarang syarat ini.

Padahal kalau ia membaca kalimat seterusnya, dia bisa menjawab kembali, bahwa pendapat mazhab yang dianut oleh negara kita bermazhab Syafi'i, syarat tersebut batal, dan mazhab Syafi'i ini pula banyak dipakai pada penetapan qanun-qanun hukum oleh Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga kemungkinan besar KUA tidak menyetujui hal ini.

Sebagaimana dikatakan Imam Nawawi pada maha karyanya Minhaj At-Thalibin:

"وإن خالف ولم يخل بمقصوده الأصلي كشرط ألا يتزوج عليها أو لا نفق لها, صح النكاح و فسد شرط و المحر."

"Kalau bertentangan (dengan keperluan nikah) dan tidak sesuai dengan tujuan asal, misalnya suami disyaratkan agar tidak memadunya atau tidak menafkahinya si calon istri, maka nikahnya sah sedangkan syarat dan maharnya batal (berubah ke mahar misli)." (Kanzur Raghibin, karya Imam Al-Mahally syarah Minhaj Thalibin, karya Imam An-Nawawi, halaman 268, jilid dua, cetakan Dar Al-Minhaj, Jeddah)

Dari sini tentu bisa diambil kepahaman bahwa tiada perbedaan pendapat sesama Ulama Syafi'iyah, karena argumen di atas tidak dikaitkan dengan kata fil ashah atau fil azhar, yang mana kedua kata ini menunjukkan ada perbedaan pendapat di dalamnya.

Kitab Al-Mughni sendiri merupakan kitab Fiqh Muqaran (perbandingan mazhab), dituliskan oleh ulama mazhab Hanbali bernama Syamsyuddin Ibnu Qudamah, wafat pada tahun 620 H. FFiqh Muqaran merupkan disiplin ilmu yang agung, tidak semua orang semena-mena untuk langsung beranjak mempelajari bidang ini, ada banyak laluan yang harus dilewati sebelum beranjak kepadanya.

Seperti kokohkan dulu terhadap Fiqh Mazhabi, Ushul Fiqh, Tarikh Tasyri' serta ilmu-ilmu pengantar lainnya dan yang paling penting perbaiki akhlak dulu, karena jika akhlak belum baik, maka dikhawatirkan seseorang akan mempermainkan agama dengan hawa nafsunya, dengan berdalih "...kan ada ulama yang membolehkan!", "itukan khilaf!", dan kata-kata kontroversi lainnya guna memenangkan hawa nafsunya.

Tentu ini bertolak belakang dengan tujuan ilmu itu sendiri, karena di antara tujuan mempelajarinya ialah agar senantiasa berusaha untuk keluar dari khilaf, sesuai kaidah "keluar dari perbedaan itu sunah". Misalkan berkurban sunah di mazhab kita Syafi'i, namun kita melihat Imam Hanafi mewajibkannya, maka dengan mengetahui hal itu wajib di mazhab lain, kita diharapkan terpacu untuk melakukannya agar keluar dari perbedaan pendapat.

Tulisan ini tidak sepenuhnya mengkritik film itu sendiri, karena bisa saja film itu hanya ingin menunjukkan bahwasanya ilmu Fikih itu sangatlah luas, bahkan Mas Furqan yang sudah belajar bertahun-tahun di universitas ternama dengan dosen-dosen hebat, masih ada pula yang ia belum ketahui mengenai Fikih tersebut. Hal ini merupakan sindiran keras bagi orang yang baru mengaji beberapa tahun dengan beralatkan sosial media, sudah merasa dirinya bagaikan mufti timur dan barat.

Bukan sebuah masalah jika hal tersebut ditayangkan di film, selama itu memiliki sumber yang jelas maka itu sah-sah saja. Akan tetapi masalahnya apabila dunia perfilman itu dibawa ke real life, itu merupakan hal yang fatal.

Kita tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan dari pakarnya, ketika anda ingin menanyakan sesuatu yang tidak paham dari Al-Quran maka tanyalah mufasir, jika anda bingung mengenai sanad hadis maka tanyalah ahli hadis, begitu juga jika anda ingin memahami bab nikah maka pergilah ke ahli fikih, bukan dengan menonton film terus mengambil hukum darinya dan menjadikannya rujukan. Wallahu a'lam.[]

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar - Kairo.

Editor: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top