Indonesia; Fatherless Country?

Oleh : Fadhila Talia Salsabila*
Sumber : Google.com
Dalam sebuah studi, Indonesia disebut sebagai salah satu negara kekurangan sosok ayah. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa 2017 silam, Indonesia berada di peringkat ke-3 dunia Fatherless Country. ‘Fatherless’ atau ‘Father Hunger’ adalah kondisi di mana kurangnya sosok ayah dalam pola asuh anak baik secara fisik maupun psikologis, atau anak yang mempunyai ayah tetapi sosok tersebut tidak berperan penuh dalam perkembangan anak.

Dalam kasus seorang ayah yang kurang bertanggung jawab dan sungguh-sungguh berperan sebagai figurnya, sering kali anak menganggap ayah sebagai sosok misterius karena jarang di rumah. Kebanyakan sosok ayah yang pulang bekerja enggan menyempatkan waktu bermain atau bercengkerama dengan anak. Ayah yang kaku dan tidak mau tau, bagi anak hanya hadir sekedar fisik, tetapi tidak dengan batin, sehingga tidak tercipta emosi antara keduanya. Seiring anak bertumbuh dewasa, timbul rasa gengsi di antara ayah dan anak. Maka tak jarang ketika menelepon yang pertama dicari ialah ibu, sedangkan bicara sama ayah terasa canggung.

Perlu kita ketahui, dalam hal parenting (Mendidik anak) sering kali muncul anggapan bahwa itu hanyalah tugas ibu semata. Hal ini dipengaruhi pola patrilineal yang cukup kental di Indonesia, sehingga mendukung dan menunjang status Indonesia menjadi Fatherless Country. Di mana posisi ayah dianggap sudah bekerja keras dan lelah mencari nafkah sehingga tidak perlu dibebani lagi dengan mengurus atau bermain bersama anak di rumah. Maka otomatis terciptalah petak-petak pekerjaan dan tugas di rumah. Padahal dalam kehidupan berumah tangga, peran ayah sama pentingnya dengan ibu, di mana ayah dan ibu adalah kesatuan yang saling melengkapi terutama sebagai orang tua bagi anak.

Psikolog dari Universitas Airlangga, Phebe Illenia mengatakan, “Hendaknya ayah turut berperan dalam pengasuhan terhadap anak, bukan hanya ibu saja. Ayah diharapkan dapat mengelola waktu dengan baik dan memaksimalkan kualitas interaksi dengan anak.”

Lantas, apa saja dampak dari hilangnya peran sosok ayah?

Dikutip pula dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Siti Maryam Munjiat “Pengaruh Fatherless Dalam Karakter Anak...” disebutkan dampak dari hilangnya sosok ayah baik secara fisik maupun psikologis pada anak, yaitu:

1. Anak cenderung minder dan rendah diri serta sulit beradaptasi dengan dunia luar. Sebab keterlibatan ayah dalam mengasuh mempengaruhi cara pandang anak terhadap dunia luar yang membuatnya cenderung lebih kokoh dan berani.

2. Anak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung kekanak-kanakan.

3. Anak cenderung lari dari masalah dan emosional saat menghadapi masalah.

4. Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas.

Ketika anak punya hubungan baik dengan ayahnya, akan banyak ingatan baik yang tercipta. Karna kasih sayang dari seorang ayah merupakan sumber rasa aman bagi seorang anak. Menjadi ayah yang baik, bukan berarti harus menjadi super daddy, tetapi ayah yang baik meluangkan waktu, memberi telinga untuk mendengarkan, memberi bimbingan dan pendampingan.

Contoh figur ayah yang membangun emosional dan kedekatan sejak dini, seperti salah satu selebgram Indonesia; Nanda Gita yang menikah dengan lelaki asal Belanda dan menetap di sana. Kerap kali Nanda memposting kegiatan rutin sang suami yang membacakan dongeng sebelum tidur untuk anaknya yang masi kecil dan belum bisa membaca. Dengan begitu lama-kelamaan kegemaran membaca sudah tertanam pada diri sang anak. Anak pun ikut merasakan kehangatan sosok ayah.

Berikut perbedaan peran ayah dan ibu dalam dunia parenting :

1. Anak adalah peniru ulung yang meniru orang tuanya. Ibu kecenderungan emosi dan kasih sayang. Sedangkan ayah dengan logika, membuat keputusan logis.

2. Anak ketika bermain bersama ibu cenderung yang aman. Sedangkan ayah menantang dan mengajarkan keberanian, seperti bermain bola dsb.

3. Ibu mengajarkan kelembutan dan kehati-hatian. Sedangkan ayah, anak mencontoh dalam kebijaksanaan, maskulinitas, ketegasan dan kemandirian. Maka keluarga yang bahagia memerlukan peranan keduanya.

Lalu bagaimana dengan anak yang tidak ada sosok ayah di kesehariannya? Baik ditinggal karna kematian atau perceraian?

Anak tetap butuh role model untuk dapat belajar berperilaku, maka dalam hal itu bisa digantikan dengan sosok paman atau kakeknya. Karena akan berbeda jika anak tidak memiliki role model dalam kehidupannya, ia akan sulit menemukan identitas dirinya.

Banyak hal yang perlu diubah dan diperbaiki agar negara ini nantinya tidak dijukuli ‘negeri tanpa ayah.’ Oleh karena itu, negara juga harus memberi ruang dan waktu untuk ayah agar lebih dekat dengan anak-anaknya sejak lahir, contoh cuti ayah untuk kelahiran anak. Pada (Pasal 93 ayat [4] huruf e) di mana seorang ayah libur bekerja selama 2 hari saat istrinya melahirkan. Tetapi 2 hari saja terbilang tidak cukup, di mana peran ayah penting dalam awal pertumbuhan anak dan kesehatan emosional istri setelah melahirkan.


Diunggah oleh situs rivpo.id, dalam sebuah artikel yang berjudul "Cegah Fatherless Country, Dua Ayah ..." Beberapa negara sudah memberikan jatah cuti yang baik bagi ayah untuk menemani ibu yang baru melahirkan. Di Belgia, seorang ayah diberikan cuti 10 hari saat istrinya melahirkan. Islandia bahkan memberikan cuti hingga 4 bulan dengan tetap dibayar. Sementara di Perancis, ayah diberikan cuti tak dibayar selama 2 tahun. Sebagian negara Asia juga sudah menerapkannya. Australia memberi jatah cuti tanpa dibayar untuk kedua orangtua selama 52 hari, sementara di Jepang orangtua berhak mendapatkan cuti tak dibayar masing-masing 1 tahun. Yang lebih spektakuler adalah Korea Selatan, yang memberikan cuti berbayar kepada kedua orangtua selama 1 tahun.

Jelas krisis ayah bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan, kesadaran individu setiap lelaki sebagai seorang ayah atau calon ayah sangat diharapkan. Karena jika tidak, sia-sia bila jatah cuti di atas ditambah bila pola patrilineal masih melekat. Sejatinya tugas ayah memastikan anak-anaknya bisa tumbuh sehat secara fisik dan batin. Dalam sebuah ungkapan, ‘ayah hebat dengan terlibat.’[]

*Penulis merupakan mahasiswi tingkat III jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.


Editor : Muhammad Farhan Sufyan

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top