7 Dalil Pembolehan Fotokopi Buku Yang Mungkin Belum Anda Tau

Oleh: Muhammad Dany*
Dr. Ahmad Al-Hajj al-Kurdi al-Hanafi al-Azhari, salah satu ulama yang memperbolehkan
(Sumber: google.com)

 

Pada nyatanya kebanyakan orang pasti pernah menggunakan buku kopian atau juga buku pdf yang belum mendapatkan izin dari penulisnya, lantas apakah kita terus men-jugde dengan mengatakannnya ‘pencuri’ , ‘zhalim’, ‘Ilmu gak berkah pakai buku kopian’? Tentu saja tidak! Biar gak kek gitu ada pentingnya kita memperhatikan urgensi dari fiqhun nawazil.

Fiqhun nawazil merupakan hukum fikih dari permasalahan yang baru muncul baik disebabkan oleh perkembangan teknologi ataupun disebabkan oleh sikap manusia yang tidak istiqamah atau konsisten dalam beragama. Contoh yang sering kita lakukan adalah membeli sesuatu dengan tanpa ijab dan qabul. Jual-beli batal tanpa ijab qabul menurut mazhab kita syafi’i, karena maraknya kebiasaan ini maka kita mencari jalan keluarnya dengan menggunakan mazhab hanafi dalam problem ini. Begitu pula masalah yang sulit dihindari di masalah sebelumnya, ada baiknya kita mencari jalan keluarnya juga. 

Baca Juga: Meningkatkan Kepekaan Masisir Dalam Mengatur Pola Hidup Sehat

Masalah hukum fotokopi buku tanpa izin penulis tergolong permasalahan kontemporer yang pastinya akan ada perbedaan pendapat ulama di dalamnya. Sebelum masuk ke inti pembahasan, saya ingin memberikan tanbih (read; pengertian) terdahulu, bahwa pendapat yang memperbolehkan hal tersebut merupakan pendapat minoritas ulama, sedangkan mayoritasnya tidak memperbolehkan.

Perbedaan pendapat ini dibangun atas perbedaan pandangan ulama dalam melihat apakah suatu karya tulis itu dianggap harta, sehingga dia bisa dijual-belikan, ataukah ia hanya sebatas pengetahuan atau faidah yang diwariskan kepada siapapun yang membutuhkan?

Minoritas ulama mu’asarah (ulama di zaman modern) menganggap bahwa karya tulis merupakan warisan pengetahuan, maka sejatinya hak waris tersebut tidak bisa untuk ‘dicuankan’, pendapat ini dianut oleh sebagian besar ulama mu’asarah dari kalangan Hanafiyah, di antara yang menganut pendapat ini juga Mufti Pakistan Syeikh Muhammad Syafi’, Syeikh Bakar Abu Zaid, Dr. Ahmad Hajj Al-Qurdi, Syeikh Shalih bin Said Al- Hishshin (kalau salah baris mohon diperbaiki, komen di bawah). Mau tau ‘kedahsyatan’ mereka dalam beristidlal? Terus baca artikel ini sampai kelar.

Dalil pertama:

Firman Allah dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah kami menjelaskan kepada manusia dalam al-Quran, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat”. (Al-Baqarah 2:159)

Dalil ke-2:

Firman Allah dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidak memakan kecuali api ke perut mereka, dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka, mereka akan mendapatkan azab yang pedih”. (Al-Baqarah 2:174)

Keterangan Istidlal dari dalil 1 dan 2:

Dengan menganggap hak penulis sebagai harta, bisa menjadikan si penulis menahan karya ilmunya untuk dimanfaatkan kecuali kalau ada cuannya. Ini tergolong dalam menyembunyikan ilmu, yang mana ia dilarang oleh syara’ yang telah dijelaskan dalam dua ayat di atas.

Dalil ke-3:

Sabda Rasulullah :

“Siapa yang menyembunyikan ilmu yang ia tau maka di hari kiamat akan dikekang dengan tali api neraka”. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibn Majah dll)

Dalil ke-4:

Sabda Rasulullah :

“Siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian dia menyembunyikannya maka ia akan dikekang dihari kiamat dengan tali api neraka” (HR. At-Tirmizi)

Keterangan Dalil 3 dan 4:

Hadis ini menjelaskan ancaman kepada mereka yang menyembunyikan ilmu akan mendapatkan azab. Maka pelarangan pengarang dalam menyebarkan bukunya kecuali dengan uang termasuk ‘menyembunyikan ilmu’.

Dalil ke-5:

Dalil ‘aqli:

Suatu ilmu dianggap sebagai ibadah dan ketaatan yang bukan untuk diperjual-belikan. Sejatinya ibadah tidak boleh mengharapkan balasan harta. Oleh karena itu diwajibkan kepada orang yang berilmu untuk menyebarkannya secara gratis baik dari bentuk tulisan maupun lisan, maka dari itu fotokopy buku itu boleh.

Dalil ke-6:

Dalil ‘aqli:

Ulama menggolongkan hak karya tulis merupakan hak naqis, penulis hanya memiliki hak untuk dicantumkan namanya di setiap tulisannya. Diantara hak naqis lainnya ialah hak syufah, yang haram untuk disiasati menjadi uang.

Dalil ke-7:

Dalil ‘aqli:

Buku hasil fotokopi, kemudian dijual dengan harga yang lebih murah bagi yang tidak mampu membeli langsung yang ori, itu sesuai dengan maqasid syariah yang mana menitikberatkan dalam penyebaran ilmu, tanpa memandang status seseorang apakah dia punya uang atau tidak. 

Sebahagian ulama mu’asirin lainnya seperti Prof. Dr. Ali Jumah  wa man wafaqahu mencoba untuk menggabungkan dua mazhab ini dengan merincikan; kalau buku itu dimanfaatkan untuk diri sendiri maka dia boleh, namun kalau dibisniskan seperti difotokopi atau disalin dalam jumlah banyak kemudian dijual agar mendapatkan keuntungan maka hukumnya haram.

Di sini penulis hanya membicarakan murni dari sisi permasalahan khilafiyah fiqhiyah, tanpa menyentuh ranah UU yang telah ditetapkan setiap negara, karena itu bukan ranahnya penulis. Jika ingin mengetahui masalah ini secara detail sila rujuk ke daftar pustaka di  bawah ini.

Wallahu a’lam

Daftar Pustaka

Abu Zahwi, Hasan Abdullah. “Huquq Al-Ibtikar” (Cet. Jamiatul Azhar Fakultas  Syariah dan Qanun, Jurusan Fiqhul Muqaran)

Asy-Syahi, Ahmad Muhammad. “Huquq At-Talif fi Syariatil Islamiyyah” (Cet. Jamiatul Asy-Syariqah, Multaqa Al-Hadharat)

Dr Ali Gomaa. 2017, 6 April. Ma Hukmu Tahmil Kutub min Al-Internet bi Duni Izni Katibuha? – Prof. Dr. Ali Jumah [Video]

 

*Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir universitas al-Azhar, jurusan Syari'ah Islamiyah.

Editor: M. Asyraf Abdullah

 

 

 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top