78 Tahun Kemerdekaan RI: Merawat Kenangan Kedekatan Indonesia-Mesir

Oleh: Azmi Putra Gayo*
 
(Dok: Republika.id)
 
 
Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 namun masih butuh diplomasi dari negara lain. Dunia harus tahu bahwa Indonesia itu ada dan terlepas dari Hindia-Belanda maupun Jepang.
 
Mesir adalah salah satu negara yang sangat mencintai Indonesia. Mereka memberi dukungan yang lebih positif lagi kepada perjuangan Indonesia. Rakyat Mesir di bawah pemimpin-pemimpin mereka mengadakan rapat umum pada 16 Oktober 1945.

Berdasarkan desakan berbagai pihak, selesai rapat tersebut dibentuklah sebuah badan yang disebut Panitia Komite Pembela Indonesia. Tugas panitia ini adalah mempengaruhi pendapat umum (public opinion) rakyat Timur Tengah untuk kemenangan Indonesia. Panitia mendesak kerajaan Mesir dan negara-negara Liga Arab mengakui kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.

Ketua Panitia Komite Pembela Indonesia Jenderal Mohammad Saleh Harbi Pasya , yang pernah menjadi Menteri Pertahanan Mesir. Di antara anggota panitia ini ialah Abdurrahman Azzam Pasya yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Arab, M. Ali Attahir, pejuang Palestina dan semua tokoh Mesir di Kairo. 
 
Baca Juga: Sekularisasi Epistemologi dan Urgensi "Dasar Agama" yang Kokoh

Setelah menempuh berbagai rintangan, barulah dalam sidang Liga Arab tanggal 18 November 1946 memutuskan bahwa setiap negara anggota Liga Arab dianjurkan mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh, de facto dan de jure.

Sidang kali ini juga menugaskan kepada Sekjen Liga Arab untuk mengirimkan utusan ke Indonesia guna menyampaikan maksud Liga Arab tersebut. Adalah Abdurrahman Azzam Pasya selaku Sekjen Liga Arab yang kala itu bermaksud memimpin sendiri perutusan itu ke Indonesia.

Namun, niat baik Sekjen Liga Arab ini dihalangi oleh Sekutu, terutama Inggris. Mereka tidak bersedia memberikan visa kepada para utusan.

Hingga kemudian, dengan penuh rahasia karena takut diketahui mata-mata Sekutu, Abdurrahman Azzam Pasya menghubungi Konsulat Jenderal Mesir di Bombay untuk berangkat ke Indonesia. Dengan menyamar sebagai turis, konsul yang bernama Abdul Mun'im, tersebut berangkat dari Bombay, India, menuju Singapura.

Pada tahun 1947, datang empat orang di depan pintu Bandara Kairo dihadang oleh petugas imigrasi yang bertubuh tegap dengan kumis melintang. Petugas itu mengernyitkan dahi melihat empat orang yang memakai jas kumal dan sendal sepatu lusuh.

Salah satu dari keempat orang itu memberikan secarik kertas lecek yang banyak coretan dan tanda berasal dari Republik Indonesia. Aneh bin ajaib karena setiap negara biasanya menggunakan buku kecil bukan kertas lecek yang membuat petugas imigrasi bingung.

"Mision diplomasi. Negara baru di Asia, Indonesia," kata salah seseorang dari empat orang itu yang bertubuh pendek.

"Are you moslem?" tanya petugas imigrasi kemudian sambil tersenyum.

"Yes, we are moslem," jawab serentak para pemuda tadi sambil tersenyum tipis.

"Then, we'll, ahlan wa sahlan, welcome!" kata petugas sambil tersenyum seraya mempersilakan untuk masuk melewati pintu Bandara Kairo.

Keempat orang itu adalah K.H. Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia sekaligus pemimpin diplomasi pertama, A.R. Baswedan, Rasjidi, dan Mr. Nadzir. Mereka melenggang menuju ruang tunggu yang mana mahasiswa Indonesia di Mesir dan Sekjen Liga Arab Azzam Pasha telah menunggu kedatangan mereka.

Kunjungan diplomasi Indonesia ini merupakan balasan dari kunjungan Muhammad Abdul Mun’im yang sebelumnya datang ke Yogyakarta pada 13-14 Maret 1947, yang ingin menyampaikan pesan mendukung kemerdekaan Indonesia dan menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab keputusan sidang Liga Arab yang berisi anjuran untuk negara-negara Arab mendukung kemerdekaan Indonesia.

Di sisi lain, Belanda mengetahui kedatangan Agus Salim dan jajarannya tersebut. Maka Belanda berusaha untuk menggagalkan diplomasi Agus Salim dengan menyebarkan opini negatif kepada seluruh rakyat Mesir.

Adapun dalam statemennya, Belanda menyebut jikalau Nusantara masih di bawah kekuasaannya. Mereka juga menyebut yang datang dari Indonesia itu merupakan perusuh dan pemberontak negara Hindia-Belanda yang berdaulat.

Sebelum ke Mesir Agus salim pergi ke acara internasional di Mumbai India untuk mencari dukungan dunia atas kemerdekaan Indonesia terutama negara Asia, mereka berharap agar bangsa Asia mendukung kemerdekaan Indonesia

Belanda di Mesir juga memprovokasi kedutaan Mesir agar tidak mendukung Indonesia. Sementara Agus Salim menunggu di ruang tunggu kantor diplomasi, karena pihak Belanda sedang negosiasi dengan Mesir terkait Indonesia milik Belanda.

Pada saat itu, PM Noraskhi bersikukuh mendukung Indonesia atas nama persaudaraan keagamaan. Juga kemanusiaan Mesir yang berani menentang diplomat Hindia-Belanda yang berada di Mesir, menghadapi teror dilaporkan ke PBB untuk membatalkan perjuangan Mesir untuk Palestina yang hendak dibawa keanggotaan PBB, dan terancam dilaporkan ke PBB dengan dalih menerima pemberontak negara yang sah Hindia-Belanda.

Namun, Mesir tidak gentar sedikitpun. Pada 14 Juni 1947 persahabatan Mesir dan Indonesia ditandatangani. Indonesia sah menjadi sebuah negara berdaulat pengakuan de jure dan de facto dari negara yang sah.

Intuisi kemerdekaan terasa sekali di Mesir, bahkan sampai sekarang Indonesia dan Mesir menjadi negara sahabat. Kedekatan Indonesia dan Mesir bertambah dengan pergerakan non-blok yang didirikan oleh Soekarno yang tidak memihak blok timur maupun blok barat.

Soekarno seolah ingin mendamaikan perang dunia dengan pergerakannya tersebut. Hampir semua negara timur-tengah mengikuti gerakan non-blok atau bisa disebut gerakan politik bebas aktif karena dengan salah satu alasan mendukung perdamaian dunia setelah bertahun-tahun berperang—di mana perang selalu menjadi kegelisahan seperti neraka yang mengorbankan rakyat sipil.

Kedekatan Indonesia dan Mesir juga ditandai dengan nama Soekarno dan Hatta yang diabadikan untuk sebuah jalan di Tahrir: Jalan Ahmad Soekarno dan Muhammad Hatta—mahasiswa Indonesia di Mesir menambahkan "Ahmad" di depan nama Soekarno untuk lebih menunjukkan bahwa Soekarno beragama Islam. 

Sejarah itu kembali diulang untuk mengingatkan anak bangsa terutama di Mesir agar selalu ingat bahwa sejarah kita, sejarah bangsa Indonesia, memiliki tokoh-tokoh yang berani dan sangat cinta kepada negara dan mengobarkan semangat perjuangan sehingga rela berpura-pura dan menyusup ke forum Liga Arab demi bisamemproklamirkan bahwa Indonesia masih ada.

Beberapa kali pelajar Nusantara demonstrasi di depan kantor diplomasi Hindia-Belanda menuntut agar mereka melepaskan Indonesia. Semangat itu harus selalu dijaga, walaupun dalam bentuk yang berbeda dengan semangat memerangi kebodohan mempersatukan Indonesia di bawah panji-panji keislaman yang damai.

Mengedepankan toleransi seperti ajaran Al-Azhar yaitu washatiyah, mengembangkan diri lebih baik, untuk sebuah desa untuk sebuah kota untuk sebuah negara yang benderanya terinspirasi dari pedang bendera Rasulullah. Yang Pancasila-nya berdasarkan ayat-ayat Allah—yang mana Pancasila sebagai dasar negara memiliki ideologi yang dapat diterima blok Timur dan Blok Barat.

Pancasila seolah menjadi pendamai di kedua belah pihak. Ada ideologi sosialis dan liberalis. Kita harus bangga dengan Indonesia dan harus merasa selalu rendah diri mengejar ridha ilahi. []
 
 
 
*Penulis merupakan mahasiswa universitas Al-Azhar Kairo, tingkat III, jurusan Akidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin.
 
 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top