Resensi; Al-Mu’tamad, Kitab Mu’tamad di Bidang Usul Fiqih
Oleh : Muhammad Dany*
Sumber : Dokumen Pribadi |
Seorang freshgraduate bertanya kepada seniornya via WhatApp.
P: Bang, boleh kasih rekomendasi kitab mu’tamad di bidang Usul Fiqih
bang?
Q: Ahlan, Al-Mu’tamad.
P: Iya bang, kitab mu’tamad apa nama kitabnya bang?
Q: Iya, Al-Mu’tamad, nama kitab itu Al-Mu’tamad, hehehe..
P: Ooh kirain… wkwkwk
Kalam hikmah mengajarkan kita bahwa perkataan itu adalah doa. Maka jangan heran kalau kitab Al-Mu’tamad ini menjadi mu’tamad dari masa ke masa berkat penamaannya yaitu Mu’tamad. Jadi pening bacanya yah? Ya sudah kata “mu’tamad” ini akan saya ganti menjadi “pegangan”.
Setelah karangan fenomenal sekaligus perdana dari Imam Asy-Syafi’i di bidang Usul Fiqih, yaitu Ar-Risalah. Hadirlah empat kitab yang menjadi “Tulang Punggung” umat di bidang Usul Fiqih yaitu Al-Burhan karya Imam Al-Haramain, Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali, Al-Umad karya Qadi Abdul Jabbar dan Al-Mu’tamad karya Abi Husain Al-Basyri. Kitab Al-Umad dan Al-Mu’tamad merupakan karangan dari dua ulama kibar Al-Mu’tazilah. Meski pandangan di bidang akidahnya sering dibantah, namun di bidang Usul Fiqih mereka diterima, begitulah ulama dalam memandang ilmu, bukan karena si fulan berakidah Mu’tazilah terus disalahkan pendapatnya di semua bidang!
Baca Juga: KMA Mesir Kembali Adakan Upgrading Pengurus Periode 2023-2024
Jujur, sebenarnya penulis sama sekali belum pernah pegang kitab Al-Mu’tamad
itu, apalagi membacanya. Adapun pengambilan buku ini sebagai resensi karena
hanya bermodalkan nama kitabnya yang menarik. Walau tidak pernah membacanya
langsung, tapi setidaknya penulis pernah membaca pandangan-pandangan Abi Husain
al-Bashri (pengarang Al-Mu’tamad) yang dinukilkan oleh Imam Al-Baidhawi dan
Imam Al-Isnawi dalam kitab Minhaj Al-Wushul dan Nihayatus Sul.
Kitab Minhaj Al-Wushul dan syarahnya memiliki silsilah yang
bersambung sampai ke kitab Al-Mu’tamad, Al-Umad, Al-Mustashfa, Al-Burhan. Dari
empat kitab pegangan yang penulis jelaskan di atas lahirlah intisarinya yaitu al-Mahshul
karya Imam ar-Razi, kemudian kitab al-Mahsul di ringkas oleh ulama asal Armiyah
(Azarbaijan), Tajuddin dan Sirajuddin dengan masing-masing kitab berbeda
bernama Al-Hashil dan At-Tahshil. Dua ringkasan ini digabung oleh Qadi Al-Baidhawi
dalam kitab Al-Minhaj sampai kemudian dijelaskan lagi oleh Imam Isnawi (Isnawi
ya, bukan Asnawi, kalau Asnawi mah pemain bola). Nah dua kitab terakhir ini lah
yang saya pelajari. Agak jauh memang perjalanan ke kitab Al-Mu’tamadnya tapi
gak papa lah.
Saat menelaah kalam Imam Abi Husain al-Bashri (pengarang al-Mu’tamad)
kita akan mendapati kepuasan tersendiri terutama dari segi pendalilannya dan
arah pengambilan hukumnya (wajhud dilalahnya). Bahkan, pendapat beliau yang berbeda
dengan jumhur pun tidak lepas dari pendalilan yang sangat kuat. Sampai-sampai
penulis sendiri kadang-kadang terdoktrin untuk mengikuti pendapatnya itu, seperti
dalam hati berkata “iya juga yah!”. Tapi doktrinan itu sesaat lepas ketika
ujung-ujungnya pendapat beliau dibantah oleh Imam Isnawi dengan begitu tajam.
Kita ambil contoh pada masalah “Mengakhirkan penjelasan dari
waktu pembicaraan (perintah)”. Sederhananya apakah syariat boleh mewajibkan
sesuatu tanpa menjelaskan kaifiyah sesuatu itu? Contoh: Syariat
memerintahkan salat, apakah syariat boleh memerintahkan salat tanpa menjelaskan
apa itu salat sampai jangka waktu tertentu sebelum masuk waktu pengamalannya.
Di sini ada tiga mazhab, tapi yang dominan menurut penulis hanya dua mazhab, jumhur
dan Abi Husain al-Bashri wa man wafaqahu.
Mazhab jumhur: Membolehkan dalam masalah ini tanpa syarat.
Mazhab Abi Husain:
Dirincikan menjadi dua gambaran:
1. Apabila tidak menimbulkan kesalahpahaman maka boleh. Seperti
perintah untuk melaksanakan “iddah selama tiga quru”. Seorang pasti
akan menanti penjelasan, quru’ yang dimaksud itu suci atau haid? tidak
langsung mengamalkannya.
2. Apabila perintah itu akan menimbulkan mist maka gak boleh.
Seperti salat, apabila syariat memerintahkan salat tanpa menjelaskan kaifiyah-nya
maka tidak boleh, karena dikhawatirkan seseorang akan berdoa ketika
diperintahkan salat, sedangkan yang di maksud salat bukan dari segi bahasanya,
akan tetapi dari segi istilahnya (perbuatan yang diawali dengan takbir dan…).
Gambaran kedua ini perintahnya harus dibarengi dengan penjelasan walaupun
penjelasan itu secara ijmali, misal dengan penjelasan “bahwa salat yang
dimaksud ini bukan dengan arti doa” atau penjelasan serupanya.
Tanpa melihat faktor-faktor lain, saya rasa mungkin pembaca akan
setuju dengan pendapat Abi Husain ini atas kecemerlangannya dalam merincikan
masalah ini. Namun setelah dianalisis lagi bahwa jumhur memiliki dalil yang
kaya dan kuat. Diantaranya dalil dari Al-Quran.
“Apabila kami telah selesai membacakan (kepada Nabi Muhammad), maka
ikutilah bacaan itu. Kemudian sesungguhnya kami yang akan
menjelaskannya” (Al-Qiyamah 18 &19).
Ditambah lagi dalil yang menceritakan terjadinya perintah tanpa
penjelasan di surat Al-Baqarah ayat 67. Teman-teman bisa merujuknya sendiri,
akan sangat panjang tulisan ini jika dijelaskan.
Intinya kitab Al-Mu’tamad tetap menjadi di antara kitab mu’tamad
yang menjadi rujukan para ahli Usul Fiqih, hanya saja untuk membaca kitab ini
diharuskan memiliki ilmu yang mumpuni. Wallahu'alam.
Identitas Buku
Judul Buku: Kitab Al-Mu’tamad
Pengarang: Muhammad bin Ali At-Tayyib Abu
Husein Al-Basyri Al-Mu’tazili
Cetakan: Maktabah Azhariyah Litturast,
Kairo
Muhaqqiq: Usamah Abdul Azim
Tahun Terbit: 2023
Tebal Buku; 2 Jilid, 1297 Halaman
*Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Jurusan Syariah Islamiyah.
Editor: Salsabila Ulfah
Posting Komentar