Urgensi Penggunaan Bahasa Aceh untuk Generasi Sekarang
Oleh: Hazis*
Aceh merupakan sebuah provinsi di ujung barat Indonesia yang mempunyai ragam budaya dan kaya akan hasil alam. Dengan jumlah penduduk lima juta lebih yang tersebar di 18 kabupaten dan 5 kota, maka Aceh memiliki ciri khas dan tradisi tersendiri bagi setiap daerah. Namun, perbedaan ini tidak membuat perpecahan satu sama lain bagi rakyat Aceh, bahkan orang Aceh saling menghargai dan menjunjung tinggi aneka tradisi di antara mereka.
Tak hanya sampai disitu, Aceh juga kaya akan bahasa dan dialeknya, seperti; bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet Singkil, Heloban, Pakpak, Devayan, Sigulai dan Lekon. Namun, perkembangan zaman semakin pesat dan munculnya bahasa-bahasa anak zaman sekarang yang terkadang merusak kaidah tata bahasa, akankah bahasa indatu (red: leluhur) mereka tetap bertahan atau akan memudar pada generasi sekarang?
Mereka yang berdomisili di kota, penggunaan bahasa Indonesia lebih dominan dari pada penggunaan bahasa Aceh. Bisa jadi penyebabnya karena banyak pengunjung dari luar Aceh yang mendesak mereka untuk berbahasa Indonesia. Tapi yang sangat disayangkan sekarang adalah orang Aceh sendiri tidak paham bahasa Aceh, entah itu sebab pengunjung dari luar atau emang tidak pernah diajak untuk berbicara bahasa Aceh.
Hal tersebut sangat memprihatinkan, bahasa leluhur dulunya sangat dijaga dan dikenalkan ke penjuru dunia mulai dilupakan. Terkadang bahasa & dialek khas suatu daerah hilang dan asing di mulut pengguna itu sendiri.
Laporan Badan Pusat Stasistik (BPS) Aceh menyebutkan bahwa penggunaan bahasa daerah semakin menurun. Penurunannya mencapai 82,27% pada generasi gen x, 72,76 % pada gen milenial, 74,77 % pada gen z dan 64,36 % pada generasi post z.
Penurunan tersebut juga tampak pengaruh dari yang sudah berumah tangga. Mereka yang membiasakan berbicara dengan anaknya menggunakan bahasa Indonesia, sehingga berimbas kepada anaknya tidak tau akan bahasa tanah kelahirannya.
Begitu juga mereka yang pergi ke luar Aceh, jangan sampai melupakan bahasa tanah kelahirannya dan malu untuk memperkenalkan kepada orang lain. Sungguh aib bagi mereka yang lupa akan dialek bahasanya sendiri disebabkan jarangnya berbicara bahasa Aceh.
Oleh sebab itu, perlunya edukasi kembali bagi generasi sekarang ini betapa pentingnya menjaga bahasa daerah. Bersyukurlah bagi mereka yang menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari, walaupun mereka berada di luar Aceh tanpa menafikan pentingnya berbahasa nasional.
Hendaknya bangsa Aceh memperkenalkan bahasa Aceh dan dialeknya bagi yang non-Aceh, sehingga mereka tau bahwa bahasa Aceh merupakan bahasa daerah jalur pertama masuknya Islam ke Indonesia.
Berbanggalah dengan hal tersebut, jangan malu dengan dialek yang kita gunakan dan jangan merasa hina ketika kita berada di suatu kelompok yang mayoritasnya berbicara bahasa Indonesia, juga jangan merasa ketinggalan zaman ketika kita tetap melestarikan bahasa daerah. Tunjukkan pada mereka bahwa kita punya ciri khas sendiri dan jangan biarkan budaya luar menghilangkan budaya kita.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat dua fakultas Syari'ah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Editor: Taufiqurrahman Samsul Qamal
Posting Komentar