Bagaimana Al-Qur'an Sampai kepada Kita?

Oleh: Tgk. Zaky Mubarrak*
Sumber: Facebook Al-Azhar
Tidak diragukan lagi, Al-Qur'an dengan keasliannya sampai kepada kita secara mutawatir, baik dengan mantuqah (diucapkan) maupun secara maktubah (tertulis).

Setelah Rasulullah Menerima Wahyu dari Malaikat Jibril As, beliau menyampaikan kepada sahabat dengan cara mantuqah (diucapkan), lalu mereka pun menghafal dan mengulangnya kepada Rasulullah Saw.

Banyak sekali sahabat yang hafal Al-Qur'an, baik kaum Muhajirin maupun Anshar. Huffazh dari Muhajirin; Khulafa Ar-Rasyidin, Thalhah, Sa'dan, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas, Amru bin 'Ash, Muawwiyah, Aisyah Ummul Mukminin dan lain sebagainya.

Tak ketinggalan dari kalangan Anshar juga banyak tercatat Huffazh semisal: Ubay bin Ka'ab, Mu'az bin Jabal, Abu Darda', Zaid bin Tsabit, Abu Zaid, Anas bin Malik dan lain sebagainya.

Mereka semua berlomba-lomba menghafal kalamullah. Sebagian dari sahabat menghafal seluruhnya dan sebagian yang lain menghafal sebagian saja.

Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat mengajarkan Al-Qur'an kepada para tabi'in dengan cara yang diajarkan oleh Baginda Nabi Saw. Begitu juga tabi'in mengajarkan tabi' tabi'in dan seterusnya sehingga sampai kepada kita sekarang dengan sanad yang muttasil.

Sedangnkan periwayatan secara maktubah juga sudah dimulai sejak masa Rasulullah Saw (ketika wahyu diturunkan). Periwayatan secara maktubah pada saat itu terbagi menjadi dua jenis; resmi (diperintahkan oleh Nabi langsung) dan syakhshi (sahabat menulisnya untuk diri sendiri).

Diriwayatkan oleh Imam Tabrani bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata, "Saya menuliskan wahyu dan Rasulullah Saw mendiktekannya kepada saya. Ketika saya telah menyudahinya, Baginda Rasul mengatakan; "Bacalah!". Lalu saya membacakannya, saat semuanya telah sempurna dibaca barulah saya menyebarkannya kepada umat."

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa penulisan wahyu sudah dimulai dengan sempurna pada masa hidupnya Rasulullah Saw.

Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq terjadi perang Yamamah yang menyebabkan banyak Qurra' (pembaca Al-Qur'an) syahid. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran dari Al-Faruq Umar bin Khattab. Lalu ia pun berinisiatif untuk mengumpulkan Al-Qur'an yang telah ditulis pada masa Baginda Rasul.

Ide cemerlang ini diutarakan kepada khalifah. Namun, Abu Bakar enggan menanggapinya dikarenakan perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Umar Ra terus berusaha untuk meyakinkan Abu Bakar sampai akhirnya Allah menyakinkan hatinya dan menyetujuinya.

Abu Bakar dan Umar pun bergegas menemui Zaid bin Tsabit, sang penulis wahyu. Abu Bakar meminta Zaid untuk mengumpulkan seluruh Al-Qur'an yang ditulis pada masa Rasulullah. Namun, sikap Zaid sama seperti Abu Bakar saat pertama kali mendengar perihal ini, dan berkata: "Sungguh perkara ini lebih berat bagiku daripada memikul gunung Uhud. Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan Baginda Rasul?"

Namun Abu Bakar tak menyerah membujuknya hingga Allah membuka hati Zaid bin Tsabit dan ia pun menyetujuinya.

Mulailah Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur'an yang ditulis sahabat pada masa Rasulullah Saw. Tidak semua tulisan diterima begitu saja, melainkan harus disertakan dengan dua orang saksi yang mengakui bahwa ayat tersebut ditulis  atas perintah Rasulullah Saw. 

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, Zaid berkata; "Saya mengumpulkan Al-Qur'an dari pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan hafalan para Huffazh Al-Qur'an, hingga sampai akhir surah At-Taubah "ولَقَدْ جَآءَكُمْ", saya tidak mendapatkan tulisan tersebut kecuali hanya pada Abu Huzaimah dan Rasulullah telah mengakui syahadah-nya seumpama syahadah dua orang, maka saya meletakkan ayat tersebut pada surahnya."

Setelah semua tulisan Al-Qur'an terkumpul, Abu Bakar menyimpannya hingga beliau dipanggil ke haribaan yang Maha Kuasa. Lalu Mushaf tersebut diserahkan kepada Umar bin Khattab dan tetap bersamanya sampai ia wafat dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anaknya Umar.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Islam semakin tersebar luas ke seluruh penjuru negeri. Setiap negeri mempunyai Qurra'-nya sendiri, sehingga perbedaan bacaan tidak bisa dielakkan. Mereka saling membanggakan bacaan Al-Qur'an dengan cara masing-masing. Bahkan ada yang mengatakan, "Bacaanku lebih bagus dari bacaanmu."

Sumber WordPress.com
Hal ini terus meluas sehingga Hudzaifah bin Yaman melaporkannya kepada Khalifah Dzunnuraini karena ditakutkan akan terjadi perselisihan seperti yang terjadi pada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Khalifah Ustman langsung bertindak cepat setelah mendengarnya. Ia meminta Hafsah binti Umar memberikan mushaf yang disimpannya untuk ditulis ulang dan diperbanyak. Ustman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubir, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam untuk menulis ulang dan memperbanyak mushaf Al-Qur'an.

Ustman berkata, "Jika terdapat khilaf antara kalian, maka tulislah dengan lisan Quraisy. Sesungguhnya Al-Qur'an turun dengan lisan mereka, maka kerjakanlah."

Setelah semuanya selesai, mushaf asli pun dikembalikan kepada Hafshah binti Umar. Kemudian Ustman memerintahkan agar mushaf-mushaf tersebut dibagikan ke setiap negeri dan meminta semua mushaf selain Mushaf Ustmani dibakar untuk menghindari khilaf dikemudian hari.

Seiring berkembangnya zaman serta semakin luasnya wilayah Islam, maka semakin banyak pula mushaf-mushaf yang dicetak dan disebarluaskan.  

Pertanyaannya: Jika Mushaf Ustmani saja yang tersisa apa yang menyebabkan adanya qiraat asyarah?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami bahwa yang menyebabkan perbedaan qiraat tersebut adalah cara baca. Dan keseluruhan cara baca ini tidak keluar dari sab'atu ahruf.

Misalkan dalam riwayat Hafsh, kalimat "بيوت" dibaca dengan dhammah pada huruf ba' menjadi buyut, sedangkan dalam riwayat Syu'bah dibaca biyut dengan kasrah ba'. Padahal guru mereka berdua satu yaitu Imam 'Ashim. 

Adapun makna sab'atu ahruf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya bahwa pernah terjadi perselisihan bacaan Al-Qur'an antara Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim.


Al-Faruq pernah mendengar Hisyam membaca surah Al-Furqan dengan bacaan yang berbeda seperti biasanya. Umar pun menanyakan kepada Hisyam dari mana ia mendapatkan bacaannya tersebut. Hisyam menjawab bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw. 

Umar pun menanyakan langsung hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah membenarkan bacaan mereka berdua dan bersabda: "Demikian ayat ini diturunkan." Beliau Saw melanjutkan: "Inna hadzal Qur'an unzila 'ala sab'ati ahrufin faqra'u ma tayassara minhu."

Artinya baik bacaan Umar maupun Hisyam sama-sama benar dan bersumber dari Rasulullah. Hal ini karena Al-Qur'an diturunkan dengan sab'atu ahruf. Para ulama menafsirkan kalimat sab'atu ahruf di sini bermakna tujuh bahasa dari bahasa Arab. Dengan syarat memiliki sanad yang muttasil, sesuai dengan rasam ustmani dan juga ssuai dengan ilmu sharaf.

Mengenai sepuluh qiraat yang masyhur, hal tersebut dikarenakan mulazamah-nya para Qurra' dengan bacaannya sehingga terkenal qiraat itu dengan nama mereka. adapun kesepuluh Qurra' tersebut adalah: 
1. Imam Nafi' bin Abdirrahman bin Abi Nu'aim Al-Laitsi Al-,Madani (W.169 H)
2. Imam Abdullah Ibnu Katsir Abu Ma'bad Al-Makki (W. 120 H)
3. Imam Zayyan bin 'Ala' bin 'Amru Abu 'Amru At-Tamimi Al-Bashri (W. 246 H)
4. Imam Abdullah bin 'Amir bin Yazid Tamim Asy-Syami (W. 118 H)
5. Imam 'Ashim bin Abi Najud Abu Bakar Al-Asadi Al-Kufi (W. 127 H)
6. Imam Abu Hasan 'Ali bin Hamzah bin Abdillah Al-Kisa'i Al-Kufi (W. 189 H)
7. Imam Hamzah bin Habib Az-Ziyat Al-Kufi (W. 156 H)
8. Imam Yazid bin Al-Qa'qa' Abu Ja'far Al-Makhzumi Al-Madani (W. 130 H)
9. Imam Abu Muhammad Ya'qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadhrami (W. 205 H)
10. Imam Khalaf bin Hisyam bin Tsa'lab bin Khalaf Al-'Asyir Al-Baghdadi (W. 229 H)

Nama-nama ini telah Allah muliakan karena kegigihan mereka dalam ta'amul dengan Al-Qur'an.

Secara Singkat bisa disimpulkan penulisan Al-Qur'an mengalami tiga masa:
1. Masa Rasulullah
Di masa ini, terjadi penulisan dan penentuan tartib ayat dan surah namun belum dikumpulkan menjadi satu mushaf.

2. Masa Khalifah Abu Bakar
Pengumpulan Al-Qur'an yang tersebar pada para sahabat baik yang ditulis secara resmi maupun syakhshi untuk dijadikan satu mushaf dengan tujuan menjaga kemurnian Al-Qur'an dan menjadi maraji' (rujukan) utama.

3. Masa Khalifah Ustman 
pada masa ini mushaf Al-Qur'an diperbanyak untuk mempermudah kaum Muslimin membaca dan menghafalkannya dan mencegah khilaf di antara mereka.

*Tulisan ini merupakan Mimbar Dakwah el-Asyi Edisi 128 Tahun XXV Jumadil Akhir 1438 H/ 8 Maret 2017 M

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top