Antara Budaya dan Agama; Mengenal lebih Dekat Peusijuek di Kalangan Masyarakat Aceh

Oleh : Nisa Kamila*
Sumber: Google
Budaya merupakan suatu elemen yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Budaya sebagai warisan leluhur yang dijaga secara turun-temurun, hingga terjaga kelestariannya. Budaya membentuk kebiasaan suatu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, budaya menjadi bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat.

Setiap daerah memiliki budaya dan adat istiadat tersendiri. Mulai dari tradisi, perilaku, syair, lagu, busana, alat musik, dan lainnya. Semuanya memiliki filosofi yang begitu dalam sehingga layak untuk dipertahankan. Aceh yang terkenal dengan keragaman budaya memiliki berbagai budaya yang sudah ada semenjak dahulu, bahkan sebelum masuknya Islam.

Agama Islam merupakan agama yang diturunkan bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk satu golongan atau bangsa saja, tapi untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta diterima oleh semua lapisan masyarakat. Islam juga merupakan agama yang memiliki banyak norma yang mengatur kehidupan agar lebih baik. Lantas bagaimana ketika budaya dan agama dipertemukan?

Memang benar bahwa Islam memiliki banyak norma dibandingkan agama lain, tapi jangan lupakan bahwa Islam juga sangat fleksibel dan dapat mengakomodasi budaya yang sudah melekat pada masyarakat, peusijuek bisa dijadikan contoh dalam hal ini.

Peusijuek atau tepung tawari adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh yang masih dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek berasal dari kata sijuek yang berarti dingin, kemudian ditambah awalan peu yang berartti membuat sesuatu menjadi, berarti peusijuek dapat dikatakan membuat sesuatu menjadi dingin atau mendinginkan.

Adat ini sudah ada semenjak bangsa Aceh masih menganut agama Hindu, sebelum datangnya Islam. Dulunya peusijuek diisi oleh mantra-mantra yang digunakan oleh agama Hindu. Kemudian saat masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M yang dibawa oleh para pedagang Arab, terjadilah islamisasi di Aceh. ulunya diisi dengan mantra-mantra digantikan dengan doa-doa serta selawat. Memang membutuhkan waktu yang lama dalam islamisasi ini sampai menuju kesempurnaan ajaran Islam karena Islam masuk ke Aceh dengan damai bukan penaklukan, tapi itu semua terwujud.

Peusijuek biasanya dilakukan saat ada sesuatu yang harus disyukuri dan dirayakan seperti saat pernikahan, hendak pergi haji, naik pangkat, membeli kendaraan baru dan lainnya. Prosesi umumnya dilakukan oleh orang yang sudah tua, dan memiliki ilmu agama yang memumpuni di kalangan masyarakat.

Bahan-bahan yang digunakan juga berbeda-beda, tergantung daerah dan kegiatan peusijuek yang dilakukan. Adapun barang yang sering digunakan diantaranya: dedaunan dan rerumputan yang diikat menjadi satu melambangkan keharmonisan, keindahan, kerukunan, dan kekuatan. Beras dan padi melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan semangat. Air dan tepung melambangkan kesabaran dan ketenangan. Nasi ketan sebagai pelekat, dan lambang persaudaran.

Sumber: Google
Adapun gerakan-gerakan saat peusijuek sangat unik, gerakan-gerakan ini hampir menyerupai gerakan pada saat pemujaan dalam agama Hindu. Namun, gerakan ini karena mengikuti arah saat memercikkan air dari kanan ke kiri atau sebaliknya dan sesekali disilang. Banyak para ‘alim berpendapat bahwa adanya kesamaan ritual peusijuek dengan praktik pemujaan dalam agama Hindu bukan berarti bahwa hal tersebut merupakan ritual agama Hindu. Karena keduanya sangat berbeda baik dari segi tujuan, cara, dan isinya.

Doa-doa yang dilantunkan saat peusijuek merupakan doa-doa keselamatan, kedamaian, dan kemudahan rezeki. Namun lebih tepatnya sesuai dengan tujuan diadakan peusijuek. Setelah memercikkan air yang disertai dengan doa, orang yang dipeusijuek disuapkan nasi ketan oleh tokoh 'alim tadi, lalu ditutup lagi dengan doa. Selanjutnya adalah proses teumetuek (pemberian uang). Orang yang melakukan peusijuk dan kerabat akan memberikan amplop berisikan uang kepada yang di-peusijuek.


Para ulama di Aceh memperbolehkan dan masih mempertahankan budaya nan mulia ini dengan dalil;

الأصل في الأشياء مباحة حتى يأتي الدليل على تحريمها

Selain itu mereka juga mengambil dalil dari kitab kuning, berdasarkan perbuatan Rasulullah saw. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah pernah memercikkan air ketika Ali dan Fatimah menikah.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri tetap ada kelompok-kelompok yang menolak tradisi peusijuek ini. Karena menurut mereka prosesinya mengandung unsur syirik dan tidak ada dalilnya dalam al- Quran maupun Hadist, serta tidak dipraktikkan juga oleh para sahabat, thabi’ dan thabi’in. []

*Penulis merupakan mahasiswi Universitas al-Azhar, jurusan bahasa Arab dan sastra.


Editor : Muhammad Farhan Sufyan

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top