Di Balik Cahaya, Kutemukan Bayangmu

Oleh: Ismunandar*
Sumber: google.com

Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan alat pengambil gambar bernama kamera. Baik kamera yang sering dipakai oleh seorang fotografer maupun yang melekat pada ponsel pintar, seakan-akan terasa kurang berkesan jika memiliki handphone tanpa kamera.

Terlepas dari pesatnya perkembangan sebuah teknologi di masa sekarang, pada dasarnya kamera digunakan untuk menangkap dan mengabadikan momen-momen yang seharusnya berlalu dalam bentuk dua dimensi. Bahkan di lain tempat, kamera sangat diperlukan sebagai alat perekam yang nantinya juga digunakan untuk mengungkap sebuah kasus. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sadari bahwa kehadiran kamera sangat penting di zaman sekarang.

Namun, tahukah kita bahwa kompleksnya perangkat juga cara kerja kamera hari ini diilhami oleh lubang yang ada di dinding rumah seorang cendekiawan muslim? Jauh seribu tahun lalu, saat Mesir berada di bawah kekuasaan dinasti Fatimiyah, ide dan teori kamera muncul dari pemikiran cendikiawan muslim bernama Ibnu Haitham. Betapa banyak hasil dari buah pikirnya yang diadopsi oleh Barat hingga saat ini. Lantas, siapakah Ibnu Haitham ini? Bagaimana kegilaannya ia terhadap ilmu? Dan mengapa justru ia dipenjara? Mari kita buka satu persatu kisah menariknya.

Sebelum berpetualang ke Mesir, Haitham kecil lahir di Bashrah (salah satu kota di Irak sekarang). Namanya adalah Hasan bin Haitham (965-1038 M). Sedari belia, ia memiliki semangat belajar yang tinggi dan tekun. Semangat itu ia jaga hingga beranjak dewasa. Ilmuwan yang memiliki kuniyah Abu Ali ini menggemari beragam ilmu, mulai dari fisika, filsafat, astronomi, bahkan ilmu kedokteran, sehingga suatu hari orang-orang menjulukinya sebagai Muhandisul Bashri, insinyurnya kota Bashrah.

Namanya kian masyhur, penduduk memintanya untuk merancang sketsa bangunan, tak terkecuali pemimpin Bashrah. Sang pemimpin pun meminta untuk dibuatkan gambar rancangan istana barunya dan menyuruh Ibnu Haitham agar ikut andil dalam pembangunan. Karena tidak ingin waktu penelitiannya terganggu dengan pekerjaan itu, sang ilmuan pun melarikan diri ke kota Baghdad. Tidak sampai disitu, pemimpin Bashrah bahkan mengirimkan mata-mata ke sana, sehingga Ibnu Haitham pun kembali melarikan diri ke Syam (Suriah sekarang) dan menetap disana.


Di lain tempat, tepatnya di Mesir, Hakim Biamrillah sebagai khalifah Mesir kala itu sedang disibukkan dengan bencana kekeringan. Disebutkan, bahwa sungai Nil mengering selama beberapa tahun. Namun, masalah yang terjadi tidak hanya itu. Setelah kekeringan yang berkepanjangan, bencana baru berupa banjir bandang muncul akibat dari meluapnya air sungai Nil. Khalifah mencari cara untuk mengatasi hal ini. Karena sebab inilah Ibnu Haitham bertandang ke Mesir sebagai penyelamat.

Setelah mempelajari letak geografis Mesir, arsitek Bashrah mencari cara untuk membangun tembok besar sepanjang sungai Nil dan membuat bendungan di baliknya untuk menampung aliran banjir. Sekalipun sebagian petinggi kerajaan kurang menyetujuinya karena akan menghabiskan banyak sekali kas kerajaan, tetapi proyek besar itu mesti dilaksanakan. Disamping itu, luapan air yang ditampung bisa dimanfaatkan sebagai solusi apabila terjadi kemarau di masa mendatang. 

Ibnu Haitham ikut mengobservasi sepanjang garis sungai, namun rencananya harus terhenti disebabkan bongkahan batu besar yang tidak dapat dihancurkan dengan alat pada zaman itu. Merah padamlah muka khalifah mendengar pengakuan dari saintis legendaris yang dikenal dengan Al Hazen itu. Menurut ahli sejarah, Hakim Biamrillah terkenal sebagai diktator yang mencintai ilmu dan ahli ilmu. Berkat itulah Ibnu Haitham selamat dari hukuman. 

Namun, khalifah sangat mengetahui cara memanfaatkan peluang. Ia melarang Ibnu Haitham meninggalkan Mesir dan hanya diperbolehkan keluar rumah sekedar ke perpustakaan dengan pengawasan prajurit. Saking penasaran dengan kegiatan ilmuwan itu, sampai-sampai para prajurit melubangi dinding rumahnya. Akibat perbuatan merekalah ide jenius muncul dari kepala Ibnu Haitham yang menjadi awal mulanya ilmu optik. 

Dari lubang tadi, cahaya merambat masuk kedalam bilik dan sampai ke dinding sebelahnya. Cahaya yang membentuk kerucut itu mulai membesar dan memantulkan bayangan di luar rumah secara terbalik. Dari sinilah ide brilian itu muncul yang kemudian terkenal sebagai kamera pertama di dunia, kamera obscura. Sebagian lain mengenalnya dengan istilah ruangan hitam dan kamera lubang jarum.

Ilustrasi Ibnu Al Haitham. Sumber: Tirto.id

Tidak hanya di bidang optik, Ibnu Haitham mempunyai banyak teori, penelitian, dan peninggalan besar di banyak bidang, terkhusus fisika. Salah satunya adalah metode istiqra’ atau metode penelitian, sebuah metodologi untuk menelaah objek secara langsung. Namun, ilmuwan barat mengatakan pelopor pertamanya adalah filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1662 M).

Dalam sebuah acara haul Ibnu Haytsam di Pakistan tahun 1969 M, Hakim Muhammad Said mengatakan, “Saat ini manusia bisa mengetahui bentuk permukaan bulan itu berkat teknologi yang mutakhir. Namun, jika ditinjau dari asal-usul penemuan teknologi ini, maka Ibnu Haitham lah panutan bagi para ilmuwan Amerika yang datang kemudian. Karena banyaknya teori dan karya mereka diambil dari penemuan Ibnu Haitham. Oleh karena itu bisa saya katakan bahwa pemikiran Ibnu Haitham sebanding dengan ilmuwan di abad ke-20 M, meskipun ia hidup di abad ke-11 M.”

*Penulis adalah Mahasiswa Tingkat 1 Jurusan Syariah Islamiyah, Fakultas Syari'ah wal Qanun, Universitas Al-Azhar Cairo. 

Editor: Chairil Munanda Kaloko

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top