Abu Teupin Raya, Ulama Produktif Jebolan al-Azhar

Oleh: Muhammad Farhan Sufyan*
(Sumber: ypidarussaadah.id)
Sejarah keilmuan Aceh telah pernah mencapai puncak tertinggi. Kemajuan literasi telah tampak tempo hari. Tentu dengan bukti-bukti yang telah absah, melalui epigrafi, filologi pada manuskrip-manuskrip dan lain sebagainya. Bahkan tidak hanya kemajuan pesat di alam Melayu, diplomasi kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda telah terjalin kuat. Tidak hanya dengan bangsa timur, bahkan melintasi Benua Eropa dengan bangsa barat.

Namun, di saat penjajah datang. Aceh dikacaukan dari berbagai segi. Walaupun ia menjadi tanah modal untuk kemerdekaan Indonesia, tapi banyak sisi dan segi yang terkuras. Terutama di sosio-intelektual. Perjuangan rakyat Aceh demi membela dirinya sendiri telah melibatkan banyak masyarakat, uleebalang serta ulama turun gunung. Begitulah keadaan tanah rincong dari 1900-2000.

Dalam masa tersebut, dunia intelektual menjadi sangat terperosot. Kurikulum pendidikan menjadi amburadur karena kependudukan Belanda dan Jepang. Sehingga dibutuhkan sosok pembaharu yang dapat diterima oleh khalayak masyarakat.

Selayang Pandang Hidup Abu Teupin Raya

Pada 17 Ramadhan 1339 H, di Gampong Kayee Jatoe, lahirlah sosok pelita umat, Tgk. Muhammad Ali Bin Muhammad Irsyad yang selanjutnya dikenal dengan Abu Teupin Raya atau Abu Lampoh Pala. Silsilah keluarganya merupakan keturunan bangsawan dan ulama. Ayahnya merupakan pahlawan berjasa ketika perang melawan Belanda. Sementara lewat ibunya mengalir darah ulama. Pendidikan yang didapat oleh Ali saat kecil sangat dinamis. Semuanya didapatkan dari asuhan dan didikan sang ayah yang menjadi guru sejati dalam hidupnya.

Abu Teupin Raya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara (dua laki-laki, satu perempuan). Sejak usia dini, Abu Teupin Raya telah memperlihatkan kecenderungannya mendukung perubahan dan menggunakan nalar intelektual moderatnya dalam melakukan proses transfomasi ilmu pengetahuan. Sejak belajar dari orang tuanya ia telah menunjukkan kemapanan pemahamannya terhadap substansi kitab kuning dan ilmu-ilmu alat lainnya, seperti nahwu, sharf, balaghah dan lain-lainnya.

Ketika beranjak di umur delapan belas tahun, beliau beranjak dari pendidikan umum di sekolah Boemipoetra besutan Belanda. Ia lebih memilih hijrah ke Gampong Uteun Bayu Ulee Gle, Pidie Jaya sekarang. Demi menimba ilmu dari Teungku Abdul Majid bin Abdurrahman selama delapan tahun. Lalu Abu menikah dengan seorang anak putri dari keuchik Kayee Jatoe, yakni ummi Aminah binti Badai. Usia Abu kala itu 22 tahun, usai menikah dibawanya istri mendampinginya belajar di dayah.

Tahun 1947 M, setelah mendapat izin dari gurunya, Teungku Abdul Majid bin Abdurrahman, Abu melanjutkan pendidikannya ke Dayah Pulo Kiton, Bireuen. Di sini ia menetap tak begitu lama, lebih banyak mengajar ketimbang belajar. Kemudian Abu melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Geurugok, pada Teungku Syeikh Usman Makam, seorang ulama kesohor asal Gampong Meuse Gandapura yang pulang dari Mekkah setelah puluhan tahun belajar ilmu falak pada Madrasah Darul Ulum al-Diniyah pimpinan Syeikh Said Mukhsin Ali al-Musawa sehingga menjadi ahli dalam bidang ilmu tersebut. 

Di dayah inilah Abu Teupin Raya mulai tertarik dan kemudian mempelajari ilmu falak dari Waled Usman Makam. Selain belajar, Abu juga dipercayakan mengajar santri pemula di bidang ilmu nahwu. Metode Abu dikenal sangat mudah dipahami sehingga dengan kepeduliannya menyikapi kesulitan ilmu ini, beliau berhasil menulis satu kitab di ilmu nahwu dan ilmu sharf.

1949 M, Abu bersama beberapa murid dari dayah Geurugok pulang kembali ke Teupin Raya. ada sebidang tanah wakaf yang kelak menjadi tanah pertama Abu mendirikan dayahnya. Salah satu yang menarik di sini ialah penjelasan materi qawaid dengan metode yang sangat mudah. Mempelajari dan menulis apa yang telah dipelajari.

Waktu terus berjalan, 1953 meletuslah peristiwa DI/TII sehingga proses pembelarajan di dayah Lampoh Pala ini mengalami stagnasi. Santri banyak yang kembali ke halaman masing-masing. Sementara Abu, memilih untuk berjuang dengan pasukan Daud Beureueh, membela ketidakadilan Soekarno terhadap wibawa tanah rencong.

Setelah begitu banyak peristiwa berkecamuk, semasa damai. Pemerintah pusat memberikan amnesti kepada para pejuang. Ada yang berupa fasilitas tanah, kebun dan lainnya. Kala itu, Abu Teupin Raya tanpa ragu meminta fasilitas berupa program pendidikan luar negeri. Beliau diterima di Universitas al-Azhar, Mesir. 

Selama belajar di Mesir, Abu banyak berguru kepada salah seorang Azhari yang hebat di bidang ilmu Falak, sehingga dengan kealimannya beliau juga mendapat gelar pengakuan sebagai ­al-Falaki asy-Syar’i.

Sepulangnya dari pengembaraan keilmuan, Abu mendapat banyak inspirasi dalam membangun kembali pendidikan dayah yang berbeda dari pendidikan yang telah ada. Dengan mengikuti dan mengadopsi beberapa kelebihan dari sistem Al-Azhar. Maka pada 1968, Dayah Darussa’adah kembali diresmikan di bawah Yayasan Pendidikan Islam Darussa’adah. Prinsip dasar pendirian yayasan tersebut adalah keikhlasan dan Darussa’adah bukan milik individu tetapi milik umat.


Sembari membangun dayah, Abu Teupin Raya juga sangat aktif mengadakan pengajian untuk masyarakat di gampong-gampong. Tidak hanya itu, abu juga tercatat sebagai ulama yang sangat produktif, banyak menulis karya ilmiah, mensyarah kitab. Sehingga jumlah yang tercapai dari berbagai hasil tulis 28 kitab dan 39 jilid dalam tiga bahasa (Arab, Melayu & Arab). Terdiri dari berbagai disiplin ilmu keagamaan. Mahakarya Abu Teupin Raya dikenal sangat berseni. Keterampilan beliau dalam menulis tak hanya perkara ilmiah, namun sesuai dengan fakta lapangan yang terjadi di masyarakat. Bahkan Abu juga berhasil menulis dengan bentuk-bentuk nadzam Aceh.
(Sumber: Gemarnews.com)

Posisi dan Pengaruh Abu Teupin Raya dalam konteks Pendidikan Aceh

Seorang ulama dalam sosial-masyarakat Aceh dipandang sebagai sosok yang sangat berpengaruh. Perannya tak hanya dinilai sebatas persoalan agama, namun mereka jadi tempat penyelesaian masalah masyarakat sehari-hari. Gelar ulama juga tak serta merta tersemat bagi semua kalangan yang mendalami ilmu agama. Tidak semua berasal dari keturunan, ada yang murni dari kealiman sosok tersebut. Sehingga tolok ukur dari itu semuanya ialah implementasi ajaran Alquran dan Sunnah ke dalam realitas kehidupan masyarakat.

Abu Teupin Raya adalah satu di antara banyak ulama Aceh yang berhasil mengintegrasikan karakteristik keilmuan sebagaimana dipaparkan di atas. Beliau bukan hanya cerdas dalam bidang Fiqh (terutama Syafi’iyyah) dan piawai dalam bidang ilmu tauhid (khususnya I’tiqad Asy’ariyyah) tetapi juga salah satu mursyid (guru spiritual) dalam mengembangkan tradisi tasawuf di Aceh melalui thariqat Syattariyah.

Ide-ide moderatnya dalam bidang Pendidikan menempatkannya pada posisi terhormat di kalangan elit para agamawan dan Pendidikan Aceh. Salah satu pemikiran moderat yang abu tuangkan dalam literatur Pendidikan Aceh ialah menggabungkan antara Pendidikan yang berbasis agama dan umum. Karena pada saat itu, realitas ini dianggap tabu dan bisa memicu lahirnya sekularisme.

Abu Teupin Raya sadar bahwa hakikat pendidikan sebenarnya seperti aktifitas menanam pohon yang berkualitas tinggi, tentunya harus disiapkan bibit yang unggul, penanam yang ahli, tanah yang subur, waktu yang tepat, lingkungan yang kondusif, pupuk yang sesuai dan siraman air yang cukup serta pengawasan secara berkesinambungan. Pendidikan tidak akan menuai hasil yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan jika dilakukan secara mendadak (instan), indisipliner dan serampangan akan tetapi harus dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi yang matang.

Hakikat revolusi intelektual yang dilakukan oleh Abu Teupin Raya bermula dari gejolak kegelisahan jiwanya saat melihat adanya tarikan antara pengalaman intelektualnya di satu sisi, bahwa nilai-nilai ajaran Islam yang ditranformasikan Rasulullah mampu mengadakan perubahan besar pada masyarakat. Tetapi, di sisi lain Islam yang dilihatnya dalam realitas nyata tak mampu mengadakan perubahan sosial. Kegalauan intelektualnya ini terus berlanjut hingga sampai pada suatu keputusan harus melakukan sesuatu yang berdampak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

Buah Pikiran dan Tulisan Abu Teupin Raya

Seorang cendekiawan muslim, tak pernah terlepas dari kegiatan menulis. Meskipun dalam kultur ulama Aceh lebih dikenal dengan karakteristik yang luhur nan karismatik bermasyarakat. Akan tetapi, sosok Abu Teupin Raya berhasil menuangkan berbagai ide dan ilmunya melalui tinta.

Berdasarkan data yang diperoleh di Dayah Darussa’dah. Sampai akhir hayatnya Abu telah merampungkan sebanyak 28 karya tulis dalam beberapa bidang ilmu, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Gayo, maupun bahasa Arab.

Di antara karya-karya Teungku Muhammad Ali Irsyad :

1. Awaluddin Ma’rifatullah dalam ilmu Tauhid.

2. Al-Qaidah dalam ilmu Nahwu.

3. Taqwimu al-Hijri dalam ilmu falak.

4. Ad-da’watul wahabiyah Gerakan dakwah wahabi.

Kehebatan Abu Teupin pun telah dibuktikan oleh seorang mahasiswa program doktor di universitas Hamburg, Jerman yang mempresentasikan analisis awal tentang aspek sosial, sejarah dan politik dari karya Abu Teupin Raya. Kitab yang menjadi objek penelitiannya ialah Faradis al-Jinan fi tarjamah al-‘Awamil al-Jurjani, kitab terjemahan ke dalam bahasa Aceh yang asalnya merupakan karya Imam ‘Abdul Qahir al-Jurjani, seorang ahli tata bahasa Arab dari Gorgan, Persia. Kitab ini ditulis untuk menjadi pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Arab, untuk memahami kitab-kitab di bidang ilmu lain, mengingat Nahwu ialah kunci dari segala kitab-kitab yang berbahasa Arab.

*Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar, Fakultas Ulum Islamiyah, Jurusan Lughah Al-'Arabiyyah

Editor: Muhammad Arief Munandar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top