Kekasih

Oleh : Keiz Tozu
Sumber: Pinterest
Ombak semakin deras hingga sepatu Alisya basah terkena percikannya. Setelah tiga puluh menit melamun memandangi laut yang terpampang luas membuat hatinya berdetak kencang karena merindui Sang Pencipta.

Gadis itu tersenyum meninggalkan pesona senja di pantai Alexandria, salah satu kota yang berada di Mesir. Ia mengambil tas dan berlari kencang meninggalkan sang kawan. Temannya, Ayra seketika diselimuti oleh bayang kebingungan, ia juga ikut mengambil ransel dan terpaksa berlari mengejar sahabat.

“Sya, tungguin!” teriak Ayra tanpa menghiraukan sekeliling.

“Ra, buruan nanti ketinggalan kereta!” Alisya juga tak ingin kalah.

Ayra menutup wajahnya malu karena telah membuat keributan. Kemudian berhenti di depan sebuah angkutan umum, menyeka keringat ditengah musim dingin melanda negeri seribu petuah. Mengipas-ngipas wajahnya sedangkan khalayak merapatkan jaket.

“Ayo naik, Ra!” ajak Alisya.

Ayra menaiki mobil tersebut tanpa berkutik. Sejuta pertanyaan masih melayang di dalam pikirannya. Dia tak ingin bertanya karena hal tersebut akan merubah suasana hati sahabatnya yang beberapa hari lalu terlihat buruk.

Alisya menarik jendela mobil dan membiarkannya terbuka, gadis itu menikmati perjalan dengan seribu jawaban yang sudah ia persiapkan. Namun, akankah sang kakek masih berada di stasiun kereta api? Tidak ada yang tahu.

Ayuwaa `ala ghanbeh, ya Rais!” Alisya menghentikan mobilnya.

Keduanya turun dan kembali berjalan mencari angkutan selanjutnya untuk menuju stasiun kereta api. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah Ayra masih belum dapat berjalan di samping Alisya.

“Kok buru-buru sih Sya?” Ayra terlihat kelelahan mengejar langkah Ayra.

“Kita harus segera tiba di Kairo. Kamu masih ingat kakek yang jual tisu dekat mahattah di Ramsis?” Alisya menatap Ayra sumringah.

“Iya, terus?” Ayra mengangkat alis keheranan.

“Aku mau menemuinya.” Balas Alisya singkat.

“Kalo gitu ayo cepat kita beli tiket! itu sidi gabirnya udah nyampe.”

Sekarang giliran Ayra yang berlari membeli tiket di sebuah konter dekat kereta yang akan mereka naiki. Ia bergegas sebelum kereta tersebut meninggalkan keduanya.

Dua gadis itu menaiki kereta yang hampir mirip dengan kereta api, tapi lebih kecil dan sesak. Mereka tertawa menahan suara agar tidak menjadi pusat perhatian para penumpang lainnya. Hari yang melelahkan.

Alisya dan Ayra merupakan mahasiswi lulusan Al-Azhar. Tiga bulan terakhir mereka hanya ingin menikmati destinasi-destinasi yang ada di Mesir sebelum pulang ke Indonesia.

Keduanya sudah menghabiskan waktu selama tiga hari di Alexandria, membuang beban, mengambil semangat baru, dan melepaskan rindu. Alisya seakan telah berhasil melupakan cinta pertamanya yang selama ini sangat merepotkan pikiran serta membebani hatinya.

Jatuh cinta adalah sebuah beban baginya, selama hidupnya dia belum pernah menyukai seseorang. Hingga ia menjejaki bumi kinanah dan bertemu dengannya, seorang lelaki baik hati yang telah menarik perhatian Alisya.

“Sya, ayo turun!” Ayra menarik lengan gadis berbaju biru dengan jilbab motif yang melingkar di kepalanya.

Alisya terhenti, “Lah, tiketnya jam berapa?”

“Ini nih tiketnya, bentar aku liatin dulu.” Ujar Ayra sambil membuka ransel dan menarik dua lembar tiket dari dalam tasnya.

“Jam 19:45!” spontan Ayra teriak.

“Tenang say, kita masih punya waktu sepuluh menit lagi.” Ujar Alisya.

Ayra terus melirik sekitar kemudian ia memergoki sebuah bangku kosong, tanpa pamit meninggalkan Alisya.

Ayra duduk tanpa permisi di sebelah laki-laki berpakaian serba hitam, memakai masker, dan kepala ditutupi topi. Alisya merasa kecewa karena tidak dapat tempat duduk, dia terpaksa berdiri hingga jadwal keberangkatan.

Bunyi nyaring seketika mengisi stasiun yang awalnya sepi tak bersuara. Tidak percuma mereka menunggu selama sepuluh menit sambil menikmati keindahan sekeliling yang dihias dengan lampu kuning dan bangunan tinggi di setiap sisinya.

Orang berbondong-bondong menaiki kereta api dan mencari tempat duduk masing-masing. Kedua sahabat itu melempar ransel dan duduk manis diatas kursi yang telah tersedia. Memandang satu sama lain, kemudian menutup mata dalam keheningan.

“Sampai jumpa Alexandria,” Ayra pamit melambaikan tangan keluar jendela.


Empat jam berlalu, kereta kembali berbunyi nyaring dan berhenti di tempatnya. Mereka yang sudah menyadarkan diri turun secara teratur meninggalkan kereta dan segala kenangan di dalamnya.

Ahlan wa sahlan, Kota sejuta kenangan!” Alisya menyambut kedatangannya penuh bara.

Baru keluar satu langkah dari sana mereka kembali di perlihatkan kubri (jembatan/jalan layang) yang berjejer rapi. Menghirup udara penuh polusi di tengah malam tanpa bintang. Namun, keduanya tetap tersenyum indah.

Bayang pertanyaan sang kakek kembali terngiang di benak Alisya. Membuat gadis itu menggerakkan langkah mencari sosok misterius yang ditemuinya tiga hari lalu di tempat kumuh tanpa sandaran di seberang jalan.

Sayangnya, pria lansia tersebut tidak meninggalkan jejak. Entah kemana perginya, tapi Alisya yakin akan kembali bertemu dengannya di tempat yang sama. Dia telah berjanji akan kembali dengan jawaban yang meyakinkan.

“Masih mau nunggu disini?” Tanya Ayra gugup.

“Iya,” balasnya singkat.

“Ini udah larut malam beb!” tegur Ayra.

“Yaudah kamu duduk dulu sana!”

Ayra berkali-kali menguap dan menarik ranselnya keatas pundak. Melihat Alisya yang begitu gigih membuatnya tak punya pilihan lain. Dia melangkah mendekati laki-laki yang pernah ditemuinya di stasiun dan kembali duduk di sebelanya.

Alisya kewalahan mondar-mandir dan belum menemukan jejak, alhasil gadis itu mendekati sang sahabat dan meminta maaf karena telah merepotkannya. Melihat tidak ada tempat duduk yang tersisa Alisya berdiri menunggu taxi.

Tidak lama kemudian laki-laki tersebut berdiri dan mempersilahkan Alisya untuk duduk di tempat miliknya. Tanpa basa-basi Alisya menerobos duduk di samping Ayra. Di tengah malam yang tak pernah sepi keduanya berharap ada seorang yang berbaik hati untuk mengantar mereka pulang.

“Makasih ustadz.” Tutur Ayra polos menyindir temannya, yang tak tahu berterima kasih.
Sumber: Pinterest
“Sama-sama Alisya.” Jawabnya singkat ikut menyindir pemilik nama.

Deg! Jantung Alisya berdetak kencang. Suara itu! Akankah mimpi? Ayra juga tidak kalah syok. Ayra memalingkan kepala dan melihat perlahan wajah di balik masker yang dikenakannya. Topi itu…

Begitulah doa dipanjatkan dan jawaban dari doa menyelimuti negeri penuh keajaiban. Laki-laki tersebut melambaikan tangan memanggil taxi, berbincang dengan pemilik taxi lalu kembali melambai ke arah kedua gadis yang duduk tak jauh darinya. Melihat keduanya tidak bergerak dari posisi mereka, terpaksa dia melepas maskernya.

“Ka Fahmi!!!” keduanya terkejut.

“Ayo naik! Saya antarkan pulang.” Ajaknya santai.

Dengan sengaja Ayra menyenggol Alisya kemudian berbisik, “Allah maha tahu kan, Sya?”

Alisya tidak menanggapi. Langkah keduanya seakan tergerak tanpa sadar, tersenyum dengan wajah kaku dan mengangguk pelan seakan ini semua hanya mimpi.

Taxi melaju kencang tanpa suara, di tengah keheningan menjadikan malam tersebut terasa semakin dingin. Dua gadis dengan warna baju menonjol terdiam saling menatap. Dari depan laki-laki yang akrab dipanggil Fahmi memerhatikan tingkah aneh kedua adik kelasnya.

“Kenapa pulangnya selarut ini?” Sebuah pertanyaan menghantam keduanya.

“Emmm…” Ayra mencari celah.

“Sekarang musim dingin, kalian tahu kan resikonya?” Lagi-lagi pertanyaan yang diajukannya.

“Tadi mondar-mandir cari siapa, Alisya?” Fahmi membalikkan wajah dan menatap gadis yang disebutkan namanya.

“Kakek bersorban hijau, ka.” Jawabnya kaku tak berani menatap.

“Yasudah. Ingat ya, lain kali jangan pulang lewat dari jam Sembilan malam. Apalagi pulang dari tempat yang jauh, ditambah kalian itu perempuan, jalan hanya berdua di tengah malam itu sangat bahaya.” Fahmi membekali mereka sedikit nasehat.

Keduanya mengangguk tanpa suara, menyadari kesalahan dan malu untuk mengingatnya.

Keesokan harinya Alisya terbangun mendengar bunyi alarm milik Balqis, salah satu teman kamarnya. Masih pukul tiga pagi. Alisya bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian melaksanakan shalat sunnah sembari menunggu azan Subuh.

Setelah menunaikan salat Subuh, gadis berwajah putih dengan hidung mancung yang menghiasi wajahnya tersebut menengadahkan tangan dan memanjatkan banyak doa,

“Ya Allah, jika dia bukan ditakdirkan untukku maka bantulah aku untuk menghilangkan-nya dari pikiran serta mengiklaskan dirinya. Karena tujuan dari semua kehidupan yang aku jalani hanyalah diri-Mu. Jangan Engkau biarkan keberadaan orang ketiga menjauhkan-ku dari-Mu. Rabbana hab lana min azwajina wa zurriyatina qurrata a`yun waja`alna lil muttaqina imama. Rabbana atina fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina `azabannar. Aamiin.”

Setelah salat Subuh, rumah dihiasi dengan lantunan Al-Quran serta shalawat yang terdengar indah di telinga. Beberapa jam kemudian penghuni rumah satu per satu menghilang dan memulai kesibukan masing-masing di luar rumah.

Alisya juga bergegas keluar rumah menuju kampus, karena masih ada berkas yang harus ia selesaikan. Dia menuruni anak tangga dan berjalan perlahan menikmati udara pagi yang masih sejuk. Di tengah perjalanannya, Alisya kembali teringat sang kakek.

“Kamu mahasiswi Al-Azhar?” Tanya kakek tempo hari.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum ramah kepadanya.

“Tidak penasaran dengan perjalanan kepercayaan pribumi sebelum mengimani kalimat Allahu Ahad?” Pria lansia tersebut mengulurkan sebuah tisu.

Alisya mengambil tisu dari tangannya dan menukar dengan uang 5Le.

“Saat kamu memandangi keindahan alam, apa yang terlintas di benakmu? Pesonanya? Ataukah Penciptanya? manusia lupa bahwa pertanyaan itu ada. Kenapa kita melupakannya? Beri aku jawaban, Nak! Di mata manusia semesta hanyalah lelucon, terlihat seperti karya yang tak ber-tuan.”

Mendengar pertanyaan kakek tersebut, Alisya berjanji akan mencari jawaban dan memberitahu kepadanya. Namun, takdir berkata lain.

“Karena manusia terlalu lalai dengan kenikmatan, sehingga menganggap bahwa bumi dan segala isinya tak bertuan. Namun, manusia salah besar! Bumi dan seisinya adalah sebuah keajaiban dan bukti kesempurnaan Tuhan. Dimana Sang Pencipta telah mengatur segalanya begitu indah tanpa cela. Semesta bukan tak bertuan, melainkan manusia terlalu rakus. Sehingga ingin menjadikan dirinya sebagai tuan dari segalanya.” Alisya mengutarakan jawaban, membiarkan angin membawanya, berharap sang kakek dapat mendengarnya.

Kairo juga termasuk salah satu dari keajaiban. Kota yang senantiasa indah bagi mereka yang mensyukuri nikmat berlimpah di belahan bumi ini, menuai langkah serta melewati suka maupun duka dengan penuh keiklasan.

Hampir saja Alisya melupakan pertanyaan terakhir dari kakek yang tempo hari ditemuinya. Pertayaan yang membuat Alisya tidak dapat tidur nyenyak selama berada di Alexandria.

“Dimana letak keadilan Allah? Saya telah bekerja keras sejak remaja, tapi tetap saja hidup susah. Sedangkan kamu telah hidup serba berkecukupan sejak dini?” Kakek yang berumur hampir satu abad tersenyum manis di balik pertanyaannya.

Melihat kondisi kakek yang duduk di pinggir jalan sembari jualan tisu di usia tua, dengan badan yang sudah rapuh, pertanyaan tersebut harusnya menggores luka di hatinya.

Alisya tersentuh. Baru pertama kali ia mendengar seorang hamba mempertanyakan keadilan Tuhan dengan wajah tenang, dipenuhi senyuman. Seakan pemilik suara tak ingin bertanya, melainkan memberinya nasehat yang harus ia temukan.

Di tengah jalan Alisya tak sengaja menyenggol wanita tua yang sedang melantunkan ayat suci Al-Quran. Wanita tersebut duduk diatas tanah tak ber-alaskan apapun. Di hadapannya terdapat banyak sekali makanan.

“Tak perlu minta maaf, saya tahu kamu tidak sengaja.” Ujar wanita tua Iitu dengan senyum hangat.

Alisya termenung melihat kondisinya, dalam keadaan tanpa kedua kaki, badan lusuh, dia masih melantunkan Al-Quran tanpa mencela.

“Saya ridha atas segala ketentuan-Nya. Keadaan ini hanya sementara, tujuanku adalah kebahagiaan yang kekal. Aku tidak tertarik dengan sesuatu yang bersifat sementara.” Ujarnya seakan paham apa yang terlintas di pikiran Alisya. Wajahnya tenang tanpa merasa kekurangan.

“Allah itu maha adil. Kuncinya ialah ridha hamba, yaitu iklas terhadap segala yang telah Allah tetapkan. Serta bersyukur atas apa yang mereka punya. Tugas manusia sebagai hamba hanyalah berusaha dan berdoa. Iklas serta ridha adalah kunci dari segalanya.” Alisya membatin, sangat yakin dengan jawabannya.

Alisya sangat berterima kasih kepada mereka, yang telah memberinya kesempatan untuk sejenak mentadabburi semesta. Dimana selama ini dia telah dibawa oleh ombak duniawi. Jauh dari penglihatan batin.

Selain cinta, ada begitu banyak permasalahan dan topik yang harus ia pecahkan serta ia renungi. Selain Rindu, masih banyak bencana lain yang harus membuatnya tegar. Tanpa sadar dia telah mengabaikan kekasih yang sesungguhnya. Yang seharusnya ia cintai melebihi dirinya, yang seharusnya ia rindui melebihi si dia.

Cintanya kepada Fahmi hanya sementara. Rasa kagumnya kepada lelaki itu bahkan salah ia artikan. Bukan Fahmi pemilik semua itu, tetapi Allah hanya menitipkan saja kepadanya.

Kini hati Alisya sudah ikhlas, membiarkan lelaki itu bahagia bersama calon pasangannya. Alisya juga akan bahagia bersama dia yang ditakdirkan untuknya. Karena sekarang, Alisya paham. Sosok yang sesungguhnya ia kagumi ialah Pencipta Fahmi, bukan Fahmi. Kekasih yang selama ini ia rindukan adalah Tuhannya.


Editor: Muhammad Arief Munandar




Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top