Kebun Ayah Namira
Oleh: Siti Humaira*
Kairo, musim dingin di awal tahun.
Masih di dalam kamar berukuran 3x4 persegi, dinding polos berwarna kuning pucat, Namira baru saja menyelesaikan wirid paginya sejak selesai ibadah salat subuh tadi. Di pojok sebelah kiri, kasur empuk, sepasang bantal dan selimut tebal yang masih berantakan, cukup menggoda tubuh untuk bermalas-malasan. Ah, di pojok sebelah kanan sana, setumpuk diktat kuliah beserta kitab-kitab pengampunya mulai melambai-lambai. Seolah berkata, “Baca aku, ada beberapa bab lagi yang belum kau garap.”
“Huft...,” Namira mengeluh kebosanan.
Memasuki tahun keempat perkuliahannya di Universitas Al-Azhar dan tahun kelima sejak ketibaannya di sini, dibandingkan teman-temannya, Namira belum pernah pulang ke tanah air selama masa perantauannya. “Rindu pulang,” bisikan benak yang menghantuinya setiap hari. Bahkan setiap pekan, bulan dan tahun. Terlebih di masa-masa menyambut ujian termin seperti saat ini. “Sabar, sedikit lagi,” mantranya selalu.
Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, menuju sepasang jendela di depan sana, menggesernya perlahan. Pukul tujuh pagi, matahari musim dingin terlihat siap menyoroti kehidupan manusia. Sayup-sayup udara sejuk menyentuh wajahnya. Seperti biasa, Namira mulai menyisir pemandangan Hadiqah Al-Azhar dengan kedua bola matanya dari lantai lima, Namira sangat beruntung kebagian pemandangan indah ini. Di tengah tumpukan flat dan bangunan berwarna tanah yang berantakan, komplek Darbul Syughlan bagian sini punya keistimewaan sendiri. Karena bertetangga dengan kebun kebanggaan warna pribumi maupun penduduk asing yang berdomisili di sekitarnya, Hadiqah Al-Azhar.
Jauh di ujung kanan, siluet kubah dan menara Benteng Shalahuddin kabur-kabur tertutup kabut. Di depan sini, taman Al-Azhar yang begitu luas dan menanjak pun tak pernah bosan memanjakan mata. Lihatlah, bola putih raksasa yang terang itu muncul dari balik ranting-ranting pohon. Sinarnya tak mengganggu penglihatan. Mungkin karena tertutup sebagian kabut, atau belum waktunya menggantung di puncak langit.
Pagi, selalu memberi semangat dan janji baru untuk Namira. Kini gadis itu menyoroti barisan bunga-bunga dan tetumbuhan di kebun yang hijau itu. Pandangannya tertuju kepada seorang Paman yang tak dikenalnya, agaknya cukup mudah mengklaim Paman tersebut sebagai tukang kebun. Pasalnya, ia memegang sebuah selang air besar dan panjang. Sejak tadi sibuk menyiram-nyiram dan mengurusi aliran selang tersebut.
Namira tersenyum, pemadangan ini membawanya kepada kehidupan di rumah.
“Ayah...” bisiknya sembari merekahkan gerakan kedua bibirnya.
***
Memori itu berputar cukup lembut dalam ingatanku. Ayah yang setiap sore menghabiskan waktu di halaman samping rumah, menyirami puluhan jenis tumbuhan hijau milik Ibu. Aku heran, kenapa Ibu begitu senang mengoleksi tumbuhan hijau yang tak berbunga itu.
Pernah sekali aku penasaran bertanya, “Jangan dipetik, nanti tangannya gatal,” tegur Ibu. Atau, “Biar bunganya gak dipetik anak-anak, jadi Ibu tanam yang hijau saja. Merawatnya juga jauh lebih mudah,” Jelas Ibu. Padahal, di mataku tumbuhan itu lebih mirip tanaman keladi liar di pinggir kali, atau tumbuhan air sejenisnya yang subur di sekitaran empang. Tidak menarik sama sekali. Haha, semoga Ibu tidak tahu aku sering berpikir seperti ini. Jika ia tahu, pasti Ibu akan marah besar.
Tapi Ayah tak pernah berkutik tentang itu. Ayah hanya melakukan tugas dan hobinya setiap sore, menyirami tumbuhan hijau kesayangan Ibu. Padahal Ayah juga punya kebun miliknya sendiri di halaman belakang. Aku jauh lebih setuju dengan ide Ayah, menanam pohon mangga, jambu, pisang dan pepaya. Kata Ayah, “Jika musim panennya tiba, kita bisa menikmati buah-buah sepuasnya, bahkan dibagi-bagi untuk tetangga.”
Aku ingat sekali, ketika menghabiskan masa liburan pondok di rumah. Setiap akhir pekan, Ayah mengajakku membersihkan kebunnya. Memetik buah pepaya yang mulai menguning, membersihkan daun-daun kering dan menyirami tanah gembur itu dengan air ajaib, pupuk tumbuhan racikan Ayah sendiri.
Menceritakan Ayah, memang tidak ada habisnya. Ayah selalu menyenangkan dan mengagumkan bagiku.
***
Berdiri di bingkai jendela hampir seperempat jam cukup membuat kakinya pegal. Namira mulai menoleh ke arah lemari. Benda balok dari kayu tersebut, berukuran sedikit lebih tinggi dari Namira. Di salah satu daun pintunya, cermin bundar berukuran diameter 30 cm menggantung dengan paku kecil. Gadis itu membuka pintu lemarinya tanpa tujuan. Sama seperti nalurinya yang setiap kali menuju dapur, lantas membuka pintu kulkas tanpa tahu apa yang ingin diambil.
Prang!!!
Cermin bundar itu jatuh menimpa ubin putih, tepat di samping kedua kaki Namira.
“Astaghfirullah...” kagetnya tak terduga.
Spontan kakinya ingin menghindar dari pecahan kaca yang berceceran itu. Tapi hatinya menahan. Kejadian ini membawanya kepada ingatan lima belas tahun lalu. Hatinya berdegup tak beraturan, perasaan yang sama ketika ia memecahkan gelas bening milik ibunya.
“Ayah...” keluhnya penuh khawatir. Namira menunduk lesu dan mundur berapa langkah ke arah dinding. Matanya menjaga-jaga tapakan kaki penuh hati-hati. Ia duduk menyenderkan bahunya, meratapi pecahan kaca yang kini tak dapat memantulkan cahaya yang sama.
“Ceroboh sekali perempuan ini!” kesalnya dalam hati.
Dengan wajah cemberut, ia kembali menyeru sosok pahlawan hatinya.
“Ayah...”
***
“Ayah!!!...” teriakku kencang.
Tanganku kepanasan karena air mendidih yang mengalir dari mulut dispenser itu. Dua tangan mungil yang menggenggam gelas bening milik Ibu, kaget dan spontan melepas genggamannya. Gelas bening itu pecah, air panasnya tumpah. Pecahan kacanya berceceran nyaris ke seluruh ruang dapur. Hatiku berdegup kencang. Pikiranku kalang kabut. Aku bingung harus berbuat apa. Yang aku tahu hanya satu, memanggil Ayah.
Ayah muncul dari arah yang aku tidak tahu.
“Kenapa, Nak?” tersentak Ayah keheranan melihat tubuh kecilku menangis pilu.
“Jangan bergerak dulu, sebentar Ayah ambilkan sendalmu.” Ayah langsung memahami apa yang terjadi.
Ayah kembali dalam hitungan detik, membawa sepasang sendal kecilku dengan satu tangannya, dan segayung air di tangan lainnya. Aku buru-buru memakai sendal itu, lantas berjalan jauh dari pecahan gelas yang tak tahu lagi nasibnya. Ayah mengikutiku.
“Tenang, ya! Kamu duduk di sini sebentar. Rendam tanganmu dalam air ini.” Sambil meletakkan gayung itu di hadapanku.
Dari sini aku hanya memerhatikan apa yang Ayah lakukan. Ia mengambil sapu dan kain lap. Mengutip pecahan kaca perlahan, mengeringkan lantai yang basah. Dan memastikan pecahan beling itu tidak tertinggal. Di bawah lemari piring, meja makan bahkan di sudut-sudut ruangan.
Setelah selesai dengan urusannya, Ayah menghampiriku. Melihat kedua tanganku yang sudah kemerahan.
“Ayah, kakiku berdarah...” kataku lemas.
Secuil goresan darah menggaris di jari kakiku. Untuk anak kecil berumur 10 tahun sepertiku, ketakutan terus menghantui. Bagaimana kalau pecahan kacanya masuk ke kulitku. Apakah aku harus diamputasi. Dan bayangan-bayangan menakutkan lainnya.
![]() |
(Sumber: 123RF) |
Ayah tersenyum, bangkit dan pergi sejenak. Lantas kembali membawa kotak obat-obatan.
“Ayah, Namira minta maaf, tidak hati-hati.”
Ayah membersihkan telapak kakiku dengan handuk bersih yang sudah dibasahi. Mengolesinya dengan obat merah dan meniup-niupnya perlahan.
“Ini hanya luka kecil, besok sudah sembuh.”
“Ayah, Namira hanya ingin menyeduh teh sendiri. Tadi air panasnya mengenai tangan Namira. Jadi gelasnya jatuh.” Aku menjelaskan tanpa dimintai penjelasan.
“Ayah tahu kau ingin mencobanya sendiri. Tapi, Namira tahu tidak, kalau gelas kaca mudah panas jika diisi dengan air panas. Dan itu berbahaya. Kenapa Namira tidak menggunakan botol minum yang biasa dibawa ke sekolah?”
Aku hanya menggeleng menyesal. Anak kecil yang awam mengenai konsep perpindahan panas saat itu ternyata terlalu percaya diri, ingin menyeduh teh di gelas kaca.
“Tapi Ayah, bagaimana kalau Ibu marah karena gelasnya pecah?”
“Ibu tidak akan marah, kok. Asalkan Namira mau jujur mengakui kesalahan dan berjanji lebih hati-hati dan tak mengulanginya lagi.”
Ayah mengolesi tanganku yang kemerahan itu dengan salep luka bakar. Rasanya jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Ibu tidak akan marah kepada gadis kecilnya. Tangan yang halus ini lebih berharga dari gelas itu, Nak. Tangan ini akan selalu melakukan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Mendoakan Ayah dan Ibu di setiap waktu salatnya, dan selalu sabar mengerjakan tugas dari Ibu Guru di sekolah, ya kan?”
“Ayahh...” Ayah senang sekali menggodaku dengan PR yang menumpuk. Karena Ayah tahu aku selalu mengeluh karena tugas-tugas yang tak masuk akal itu. Ayah tertawa.
“Kaki ini juga lebih berharga. Dua kaki mugil yang besok akan berkelana mencari ilmu. Meskipun lelah, ia tidak mudah menyerah. Anak Ayah akan tumbuh jadi perempuan yang berani mengejar cita-citanya.” Lanjut Ayah menenangkan hatiku.
Ayah selalu begitu, tenang dan menenangkan. Ternyata, selain hobinya menyirami tanaman, Ayah juga senang menyirami hatiku dengan ucapan-ucapan semangatnya. Setiap berbincang dengan Ayah, hari-hari layuku kembali merekah seperti bunga di musim semi. Ayah tak pernah menghakimiku. Ayah selalu menanyakan kabarku, perasaan hatiku lantas kembali menyirami buah hatinya ini dengan mantra-mantra ajaibnya.
Apakah Ayah juga melakukan itu kepada tumbuhan-tumbuhan di kebunnya? Pantas saja mereka selalu tumbuh sehat dan terhindar dari hama.
Aku jadi ingin menelepon Ayah.
***
Namira bangun dari lamunannya. Matanya menyenter ruang, mencari sendal rumah yang biasa ia pakai dan letakkan di balik pintu. Ia menuju ke sana dengan sangat hati-hati. Kembali dengan sapu lantai dan kresek hitam. Mengutip satu persatu pecahan cermin tadi. Memastikan tidak ada sedikit pun yang tersisa. Di bawah lemari, di dekat kasur, di pinggir rak buku dan meja belajar. Hingga ke seluruh sudut ruang.
Setelah semuanya selesai, gadis itu meraih gawainya. Membuka aplikasi yang biasa ia gunakan untuk menghubungi Ayah dan Ibu di rumah.
“Assalamualaikum, Ayah...” sapanya penuh rindu.
“Waalaikumussalam, Nak. Akhirnya calon mufassirah kebanggan Ayah kembali menelepon. Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Alhamdulillah, Namira sehat, Ayah. Ayah dan Ibu bagaimana kabarnya? Maafkan Namira sudah dua pekan tidak menelepon, akhir-akhir ini penuh dengan jadwal belajar diktat kuliah bersama teman-teman.”
“Tidak masalah, Nak. Ayah dan Ibu mengerti kesibukanmu. Ingin bicara dengan Ibu?”
“Ayah dan Ibu sedang apa?”
“Ibumu siang-siang sudah sibuk mengurusi putri barunya, anggrek ungu yang baru dibeli tiga hari yang lalu.” Ayah mengarahkan ponselnya ke arah Ibu Namira.
“Hai, Kakak... Lihatlah ayahmu, terlalu rajin menyiram tanaman. Anggrek Ibu hampir sekarat seperti kebanjiran.”
“Hahaha... Kok tumben Ibu mulai merawat bunga?”
“Katanya pengen coba pengalaman baru merawat anggrek, baru tiga hari sudah hampir punah.” Pungkas Ayah.
“Ayah sih, siramnya kebanyakan. Anggrek itu ndak boleh disiram keseringan, Ayah!!” Ibu mulai membantah.
Namira selalu ingin tertawa melihat tingkah ibunya, apalagi di depan Ayah yang senantiasa sabar menghadapi sang permaisuri. Momen hangat yang selalu didambakan Namira, cukup menghangatkan hari-hari musim dinginnya di perantauan. Seperti cahaya matahari di pagi ini, cukup ramah dan menghangatkan kerinduan yang hampir membeku. Seperti petuah dan nasihat Ayah Namira, yang membuatnya tumbuh mekar dan teguh menjalani hari-harinya. Seolah ia tumbuh bahagia, merekah penuh bangga, di kebun Ayah Namira.
Editor: Wirma Athirah Putri
Posting Komentar