Dilema Zaman; Paradokskah Kita?

Oleh: Badrul Novis*

(Sumber: unsplash.com)
Di tengah arus deras kemajuan zaman, manusia modern berdiri di persimpangan antara harapan dan kebingungan. Manusia hari ini hidup dalam zaman yang disebut ‘modern’, ‘maju’, dan cerdas. Akan tetapi, di balik semua label itu, ada pertanyaan besar yang menggantung di udara: benarkah kita sedang menuju peradaban yang lebih baik? Ataukah justru kita terjebak dalam bayangan-bayangan kemajuan semu yang menyisakan kekosongan makna? Dunia telah berubah begitu cepat; beriringan dengan itu, manusia tetap dihantui oleh kegelisahan lama dalam bentuk baru. Segalanya tampak lebih cepat, lebih mudah, dan lebih canggih. Namun, di balik segala pencapaian itu, kita menyaksikan munculnya paradoks-paradoks yang menggelitik nurani. Apakah kita sedang maju, atau justru mundur dalam balutan kemajuan? Inilah dilema zaman yang menyisakan pertanyaan: “Paradoks kah kita?”

Zaman ini memuliakan koneksi. Namun, manusia kian merasakan kesepian. Kita terhubung dengan ribuan orang melalui media sosial, tetapi kehilangan makna dari percakapan tatap muka. Ironisnya, di tengah segala bentuk komunikasi digital, kita justru mengalami krisis komunikasi yang paling mendasar, yaitu perihal 'memahami' dan 'dipahami'. Dunia menjadi ruang gemuruh yang penuh suara, tapi miskin akan makna.

Di sisi lain, akses terhadap pengetahuan tak pernah semudah ini. Informasi hanya sejauh sentuhan jari. Akan tetapi, justru di era banjir informasi ini muncul generasi yang skeptis terhadap kebenaran, mudah termakan hoaks, dan rentan kehilangan arah. Kita tahu lebih banyak, tapi hanya mampu untuk memahami lebih sedikit. Ilmu yang sejatinya membebaskan, kini terancam menjadi beban karena kehilangan nilai dan orientasi.

Kemajuan teknologi juga melahirkan dilema etis yang pelik. Di satu sisi, kecerdasan buatan dan otomasi menjanjikan efisiensi. Di sisi lain, manusia mulai kehilangan ruang untuk berkontribusi secara otentik. Bekerja bukan lagi soal berkarya, tapi bertahan dari digantikan. Kita menciptakan alat untuk memudahkan hidup, tapi sering kali menjadi budak dari ciptaan kita sendiri. Di bidang spiritualitas dan moralitas, tantangannya tak kalah besar. Zaman mengajarkan toleransi, tapi juga menghadirkan relativisme nilai. Apa pun menjadi boleh, asalkan tidak mengganggu. Kebaikan menjadi kubur, dosa menjadi biasa, dan kebenaran dipersepsikan sebagai opini. Dalam iklim semacam ini, keberanian untuk memegang prinsip sering dianggap fanatisme.

Maka, kita memang hidup dalam dilema yang rumit. Kemajuan dan kemunduran berjalan beriringan. Di tengah kebebasan, manusia terbelenggu oleh kegelisahan. Di puncak pengetahuan, manusia dirundung kebingungan. Paradoks-paradoks ini bukan sekadar gejala zaman, melainkan cermin diri kita. Kita adalah generasi yang berteriak mencari makna di tengah zaman yang membisikkan kesementaraan. Paradoks bukan sesuatu yang harus ditakuti. Ia adalah undangan untuk berpikir, merenung, dan memilih jalan yang bijak. Maka, pertanyaannya bukan sekadar “Paradoks kah kita?”, tapi apakah kita cukup sadar untuk keluar dari jebakan dilema dan membentuk zaman yang lebih utuh? Jawabannya ada di dalam pilihan-pilihan kecil yang kita buat hari ini.

Tantangan-Tantangan Zaman:

1. Kesepian dalam Keterhubungan
Kita hidup dalam dunia yang terhubung secara digital. Sayangnya, media sosial yang diciptakan untuk memperdekat hubungan malah menciptakan jarak emosional yang dalam. Sering kali kita lebih mengenal wajah-wajah asing di internet ketimbang lingkungan sekitar. Komunikasi yang terjadi hanya sebatas layar, bukan hati. Maka, keterhubungan tidak selalu bermakna kedekatan.

2. Informasi yang Berlimpah, Pengetahuan yang Dangkal
Zaman yang terlalu banyak informasi justru menciptakan kebingungan. Banjir konten setiap hari menenggelamkan kita dalam lautan data tanpa arah. Akibatnya, manusia lebih mudah terdistraksi dan kehilangan fokus. Kita tahu banyak hal, tapi tidak memahami secara mendalam. Bahkan dalam dunia akademik pun, muncul kecenderungan pragmatis: belajar untuk lulus, bukan untuk paham.

3. Kemajuan Teknologi dan Krisis Kemanusiaan
Kemajuan teknologi memang memudahkan kehidupan. Namun, di sisi lain, ia membawa efek samping yang serius, yaitu dehumanisasi. Ketika mesin menggantikan tenaga manusia, banyak orang kehilangan makna dari bekerja. Kita menciptakan kecerdasan buatan, tapi lupa bagaimana cara menjadi manusia yang utuh. Akhirnya, yang berkembang adalah otak, bukan nurani.

4. Relativisme Moral dan Krisis Nilai
Dalam semangat toleransi, muncul relativisme bahwa semua nilai dianggap setara, bahkan yang menyimpang sekalipun. Apa pun bisa dibenarkan atas nama ekspresi diri. Norma agama dan nilai moral mulai dianggap usang. Kebebasan menjadi dewa baru, sementara kebenaran menjadi sesuatu yang relatif. Ini bukan kemajuan, tapi kebingungan yang dibungkus dengan retorika hak individu.

5. Kehidupan yang Serba Instan
Generasi sekarang dibentuk oleh budaya serba cepat dan instan. Ingin sukses, tapi enggan proses. Ingin terkenal, tapi tidak mau belajar. Dalam kehidupan seperti ini, kesabaran dianggap kelemahan. Akibatnya, muncul generasi yang rentan stres, tidak tahan uji, dan mudah menyerah karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan.

(Sumber: unsplash.com)
Solusi: Jalan Menuju Kesadaran Kritis dan Keseimbangan

1. Memulihkan Relasi yang Bermakna
Solusinya bukan meninggalkan teknologi, tapi menggunakannya secara sadar. Kita perlu kembali membangun relasi yang otentik, mulai dari lingkungan terdekat. Luangkan waktu untuk hadir secara nyata, bukan hanya sekadar lewat layar.

2. Menjadikan Ilmu Sebagai Jalan Pencarian Makna
Belajar bukan hanya untuk nilai atau pekerjaan, tapi untuk menghidupkan akal dan hati. Kita perlu menumbuhkan semangat tafaqquh fi ad-din, yaitu memahami ilmu dengan kedalaman dan keikhlasan agar pengetahuan menjadi cahaya, bukan hanya data kosong. Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia seutuhnya yang kaya akan ilmu pengetahuan, bukan hanya sekadar untuk bisa bekerja.

3. Menempatkan Teknologi Sebagai Alat, Bukan Tujuan
Teknologi harus kembali menjadi pelayan manusia, bukan malah menjadi tuannya. Kita perlu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap aspek perkembangan teknologi. Etika dan tanggung jawab moral harus menyertai setiap inovasi. Inilah saatnya ilmu dan iman berjalan beriringan.

4. Sikap Apa yang Harus Kita Ambil?
Di tengah berbagai dilema ini, kita harus mengambil sikap sebagai seorang manusia yang sadar (insan wa’i). Sadar akan waktu, sadar akan tujuan, sadar akan nilai yang harus dijaga. Kita tidak boleh larut dalam arus tanpa arah. Kita harus memilih untuk menjadi pelita, bukan sekadar mengikuti cahaya palsu. Sikap kritis, selektif, dan bijaksana perlu ditanamkan. Selain itu, kita juga perlu memperkuat komunitas positif, baik itu dari lingkaran pertemanan yang saling mengingatkan, saling menasihati, dan bersama berjalan menuju kebaikan. Kita tidak bisa bertahan sendiri di tengah zaman yang membingungkan ini. Kita butuh sinergi dalam kebaikan.

Paradoks zaman ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari beragam dilema ini, kita bisa memulai kesadaran baru. Di tengah kebingungan ini, muncul kesempatan untuk memilih, dan pilihan itulah yang akan menentukan apakah kita sekadar korban zaman atau akan membentuk peradaban baru. Maka, benar: kita hidup dalam dilema. Tapi, kita juga punya daya untuk bangkit, merenung, dan melangkah ke arah yang berarti. Dunia boleh berubah, tapi kita harus tetap berpijak pada nilai-nilai yang tidak lekang oleh zaman.[]

*Penulis merupakan mahasiswi Universitas Al-Azhar, Kairo, jurusan Syariah Islamiyyah.

Editor: Siti Humaira

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top