Transformasi Uang Kertas Menuju Uang Digital, Bagaimana Perspektif Uang Tersebut Dalam Islam?

Oleh: Wahyu Hidayatullah*

https://unsplash.com/s/photos/uang

Di zaman yang serba modern ini, melakukan segala hal dapat dilakukan dengan sangat mudah dan praktis, termasuk melakukan kegiatan transaksi. Ingatkah kita kalau beberapa tahun silam masih bertransaksi dengan uang kertas atau cash? Mengikuti modernisasi, sekarang mekanisme berbelanja pun sudah berubah.

Kegiatan transaksi jual beli yang sebelumnya hanya dilakukan menggunakan uang tunai sudah mulai beralih ke nontunai (cashless) atau lebih akrab disebut e-money atau uang digital. Pemberlakuannya pun sudah beragam, baik sektor ekonomi mikro maupun makro. Mulai dari berbelanja melalui e-commerce, pasar modern (mal), bahkan UMKM sekalipun sudah mengaplikasikan pembayaran digital.

Menanggapi fenomena tersebut, kita perlu tahu bagaimana perspektif kacamata syariat Islam dalam hal ini. Syariat Islam memiliki sifat yang relevan dan dapat diterapkan di setiap masa dan lini kehidupan. Maka, mari kita telaah secara komprehensif pendapat-pendapat para ulama mengenai uang kertas dan uang digital. Namun sebelum itu, kita perlu memahami terlebih dahulu definisi dari masing-masing jenis uang, fungsinya, serta hukum Islam yang terkait dengannya.

Secara sederhana, uang menjadi salah satu alat transaksi atau alat pembayaran yang sampai sekarang digunakan oleh mayoritas masyarakat. Dalam ekonomi Islam, uang menurut bahasa berasal dari kata nuqud yang berasal dari akar kata al-naqdu yang mengandung beberapa pengertian, yaitu al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai atau pembayaran kontan.

Dalam Al-Qur’an dan hadis tidak terdapat kata nuqud, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Sedangkan kata fulus (uang selain dari emas dan perak, misalnya dari tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.

Menurut istilah, uang adalah segala sesuatu yang digunakan untuk bertransaksi, berupa dinar dari emas, dirham dari perak, atau fulus (dari tembaga, atau berupa uang kertas). Para fuqaha menjelaskan bahwa uang tidak terbatas pada emas dan perak yang dicetak saja, tapi juga mencakup seluruh jenis lainnya seperti dinar, dirham, dan fulus. Tetapi fuqaha berbeda pendapat mengenai fulus, apakah fulus termasuk dalam istilah naqdain atau tidak. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa fulus tidak termasuk naqd, sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa naqd mencakup fulus.

Baca Juga: Implikasi dari Inflasi Ekonomi Mesir Terhadap Eksistensi Mahasiswa Asing Di Mesir

Uang juga didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur barang dan tenaga. Misalkan harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang ukuran itu diperkirakan menggunakan satuan uang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa uang adalah segala sesuatu yang diterima oleh manusia secara umum dengan ketetapan urf atau pemerintah, atau memiliki nilainya sendiri, digunakan sebagai timbangan nilai-nilai, perantara tukar-menukar, instrumen simpanan, dan wasilah untuk pembayaran bertempo.

Uang Kertas dan Pandangan Fikih Islam Terhadapnya

Uang kertas adalah alat pembayaran yang sah dan terbuat dari kertas, biasanya dicetak dengan gambar dan cap resmi. Pada awalnya, uang kertas dikenal dalam bentuk banknote, yaitu surat janji dari bank untuk membayar pemiliknya dengan uang logam (emas atau perak) jika diminta. Karena banknote ini dijamin oleh kepemilikan emas dan perak, masyarakat menerimanya sebagai alat tukar.

Seiring waktu, uang kertas diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai alat tukar yang sah, dan penggunaannya pun meluas di masyarakat. Mayoritas ulama kontemporer (mu'ashir) menganggap uang kertas memiliki kedudukan yang sama dengan emas dan perak dalam hukum Islam. Mereka menetapkan bahwa uang kertas wajib dizakati dan dapat terkena hukum riba.

Pendapat ini dianggap kuat karena beberapa alasan: uang kertas sudah menjadi standar nilai dalam perdagangan, menggantikan fungsi emas dan perak; dianggap sebagai uang yang sah menurut kebiasaan masyarakat (urf) dan hukum negara; serta dijamin oleh pemerintah—yang siap menggantinya jika rusak atau hilang—karena tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilainya.

https://unsplash.com/s/photos/uang

Uang Kertas, Apakah Ada Ribanya?

Ulama telah menganalogikan uang kertas dengan emas dan perak atas dasar ‘illah tsamaniyyah (nilai harga). Oleh karena itu, uang kertas memiliki hukum-hukum seperti emas dan perak, seperti riba fadhl. Hal tersebut telah menjadi ketetapan al-majami’ al-fiqhiyyah, majalis al-buhuts, al-mu’tamarat al-fiqhiyyah, dan Hai’ah Kibar al-‘Ulama. Semua mata uang telah menjadi jenisnya sendiri, dan asas perbedaan jenisnya adalah perbedaan tempat penerbitannya. Maka, Riyal Saudi adalah satu jenis, dan Riyal Yaman jenis lainnya.

Keduanya memiliki hukum seperti emas dan perak, yaitu ketika seseorang membeli Riyal Yaman dengan Riyal Saudi maka disyaratkan taqabudh dan hulul tanpa tamatsul. Kemudian apabila pusat penerbitnya sama sehingga memiliki kesamaan jenis, seperti Riyal Yaman dengan Riyal Yaman, maka disyaratkan taqabudh (serah terima), hulul (pada waktu itu juga), dan tamatsul (memiliki nilai yang sama).

Uang Elektronik dalam Pandangan Fikih Islam

Uang elektronik adalah alat pembayaran elektronik yang diperoleh dengan menyetorkan terlebih dahulu sejumlah uang kepada penerbit, baik secara langsung maupun melalui agen-agen penerbit, atau dengan pendebitan rekening di bank, dan nilai uang tersebut dimasukkan menjadi nilai uang dalam media uang elektronik seperti PayPal, DANA, ShopeePay, GoPay, dan sejenisnya, yang dinyatakan dalam satuan Rupiah. Digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran dengan cara mengurangi secara langsung nilai uang pada media uang elektronik tersebut.

Sedangkan Septiano Pratama mengatakan bahwa uang elektronik adalah uang yang disimpan menggunakan suatu chip atau biasa dikenal RFID (Radio Frequency Identification) dan terkoneksi dengan jaringan komputer dan internet. Cara melakukan transaksi dengan uang elektronik ialah dengan menempelkan kartu yang merupakan bentuk dari uang elektronik tersebut pada alat yang bernama EDC (Electronic Data Capture).

Kartu yang berfungsi sebagai pengganti uang Anda sudah tertanam sebuah chip RFID dan terkoneksi dengan jaringan komputer dan internet. Sebagai penyimpanan media digitalnya menggunakan EFT (Electronic Funds Transfer). Uang elektronik menjadi perhatian masyarakat dari sudut pandang syariah (hukum Islam) mengenai keabsahan fenomena baru ini. Lebih dari itu, ini menjadi suatu tantangan bagi hukum Islam di mana harus menjawab secara cepat dan tepat.

الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها

(Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya atau meniadakan kebolehannya.)

Maksud prinsip ini adalah bahwa dalam setiap muamalat dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, kerja sama (mudarabah dan musyarakah), perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang sudah tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba. Islam tidak menafikan apalagi melarang bentuk teknologi selagi tidak bertentangan dengan ajarannya.

https://unsplash.com/s/photos/atm-card

Terlebih dalam rangka memberikan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Ibnu Taymiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa menjelaskan bahwa tiada kekhususan fisik mengenai tsaman yang digunakan sebagai alat tukar dalam jual beli, seperti halnya membatasi bahwa hanya dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai alat tukar yang sah dalam jual beli. Karena pada dasarnya tujuan penggunaan keduanya hanyalah sebagai dasar alat tukar dalam bertransaksi yang mengandung ukuran nilai atau harga.

Tidak cukup sampai di sini, pasti akan muncul kebingungan mengenai akad apa yang termasuk dalam pengamalan uang elektronik. Uang elektronik boleh digunakan sebagai alat pembayaran dengan mengikuti ketentuan dan akad-akad sebagai berikut:

a. Akad wadi’ah dan akad qardh, akad ini diperuntukkan antara penerbit dan pemegang uang.
b. Akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah. Akad yang digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik: pedagang (merchant), penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir.
c. Akad yang dapat digunakan antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

Demikian penjelasan singkat mengenai uang kertas dan uang digital dalam perspektif syariat Islam. Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca yang budiman.[]

*Penulis merupakan mahasiswa tingkat III jurusan Syariah Islamiyyah, Universitas Al-Azhar, Kairo.

Editor: Hafizul Aziz

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top