Apa hadiah Baswara untuk Dipa?
Oleh: Timphan*
“Dasar sok suci!” Umpat Baswara. Setetes air ludahnya muncrat di atas meja.
“Kau kenapa?” Tanyaku sambil mengambil tisu. Menjulurkannya pada Baswara.
“Danastri,” ketusnya.
Uh, lagi-lagi wanita ini. Bosan sekali aku mendengarnya. Sudah tiga bulan sepuluh hari sejak Baswara dan Danastri putus. Sudah tiga bulan sepuluh hari dia tak berhenti membahas urusan mereka. Sudah tiga bulan sepuluh hari meja tongkrongan kami isinya hanya membahas wanita itu. Sampai aku sudah hafal luar dalam apa yang dikatakan Baswara. Berapa kali sudah dia mengumpat atas nama wanita yang boleh jadi tidak bersalah. Bahkan pernah ada wanita lain yang tersinggung tidak sengaja lewat di depan meja.
“Dasar wanita gak punya otak.” Hampir saja Baswara ditimpuk pakai tas mahal.
Dan kali ini, untuk ke seratus delapan puluh empat kali dia mengumpat. Dan aku, menjadi tempat pembuangan sampah kisah keseharian mereka.
“Danastri lagi-lagi menceramahiku di share-an grub WhatsApp kemarin,” ucap Baswara kemudian menyeruput kopi hangatnya.
Sebenarnya aku malas melanjutkan arah percakapan ini. Namun, saking terbiasanya mulutku akan pembahasan ini, kalimat itu keluar.
“Memangnya apa lagi kali ini?”
Baswara mulai bercerita perihal tempo hari dia yang baru saja membalas pesan di grup Whatsapp. Berkaitan dengan teman SMA mereka yang baru saja diberkahi buah hati. Dengan gaya Baswara dia mengucapkan, "Semoga lebih soleh dari ayahnya" dimana yang lain malah mengucapkan selamat dan mendoakan keberkahan— yang mana teman-teman Baswara tau kalau itu hanya candaan.
Di lain waktu, Danastri menganggap hal itu perkara serius.
“Memangnya dia balas apa?” Lagi-lagi mulutku seperti bergerak impulsif membalas kalimat Baswara.
“Katanya tak baik membalas seperti itu. Membuat orang-orang yang diberkahi jadi pesimis. Kemudian bilang kalau orang diberkahi itu harus kita doakan supaya keberkahan itu juga keciprat pada kita.
Dia sampai mengirim link website perihal pentingnya mendoakan sesama muslim. Dan semua hal yang dikatakan itu tidak dibalas secara privat, malah dipampang di grup dan dibaca oleh semua anggota grup. Kemudian menulis kalimat terakhir, 'Semoga kedepannya lebih baik.' Hah? Buat apa? Cuma untuk mempermalukanku? Menyebalkan sekali, bukan?”
Aku menahan tawa, apalagi saat Baswara mencoba menirukan gaya bicara Danastri saat dia membaca pesan-pesan yang dikirim. Memonyongkan mulutnya di setiap kata.
“Itu persis waktu itu kau bilang sama Abimana, pas dia nikah. Udah bisa berhenti like postingan selebgram cantik, Bro."
Lalu Danastri balas, ‘Jangan doakan yang enggak-enggak.”
“Ya, persis. Dasar sok suci. Itu kan cuma permasalahan konteks semotaktis saja.” Baswara menyeruput kopinya. Satu-satunya yang bisa membuat dia tenang adalah seruputan kopi.
“Kontek semotaktis?” Tanyaku.
“Iya, itu perkara ringan masalah bahasa.”
“Apaan tuh?”
Baswara selalu saja membuatku tertarik setiap dia mengucapkan istilah-istilah aneh. Anak semrawut ini sebenarnya sangat pintar. Wawasannya luas. Bacaannya banyak. Sayang sekali dia sering mengurus hal-hal yang tidak ada gunanya. Juga, dia terlalu dramatis dan emosional dalam menanggapi hal-hal kecil. Persis seperti apa yang akan dia katakan.
“Kau gak tau konteks semotaktis? Polisemi? Meta bahasa?” teriak Baswara, suaranya mengeluarkan nada ejekan di setiap hurufnya.
Aku menggeleng.
“Hei, konteks semotaktis, loh.” lagi, Baswara berteriak mengejek.
Aku menggeleng.
“Bukan berarti dengan kau berteriak akan membuatku tahu arti kata itu. Juga dengan mengulangnya dua kali bukan berarti aku berhenti menggeleng.”
“Padahal kau itu anak bahasa, loh. Pantes saja IPK-mu anjlok!”
Dasar! Hampir saja aku menimpuknya dengan kopi panas. Tapi kutahan karena aku kenal baik dengan perangai Baswara. Aku tahu kalau aku menimpuknya dengan kopi panas, dia akan balik menimpukku dengan kopi panas miliknya. Dan ujung-ujungnya kami akan berkelahi. Membuat keributan yang tidak dibutuhkan. Apalagi sekarang dia lagi emosi-emosinya. Peraturannya adalah kalau salah satu di antara kami ada yang emosi, yang lain tidak boleh emosi.
Melihat aku diam saja beberapa detik, Baswara mulai menjelaskan maksud kata tadi. Konteks semotaktis adalah makna unsur bahasa dalam sebuah situasi. Jadi perkataan itu harus dilihat dari konteksnya, salah paham konteks, maka salah pula nanti maksud dari unsur bahasa tersebut.
“Bukannya hal tersebut biasanya diaplikasikan dalam karya sastra?” tanyaku meneruskan penjelasan Baswara.
“Lah, memangnya pesan yang kuketik dan kukirim itu bukan karya sastra? Aku itu mikir sebelum menulis. Meskipun aku menulis sebuah candaan, itu adalah karya sastra. Itu adalah buah dari pikiranku sebelum kutekan tombol kirim. Kalau dia gak tau konteks dari kalimatku, seharusnya dia bertanya apa maksud dari karya milikku. Bukan malah seenaknya menghakimiku.”
“Memangnya apa maksud dari kalimatmu?”
“Tentu saja aku gak bermaksud menjelekkan orang lain. Aku juga ikut merayakan keberkahan teman-temanku. Buktinya aku ikut kumpul uang untuk membeli hadiah. Aku juga ikut berdoa. Hanya saja doa tersebut tersirat dalam kata-kata yang kutulis.”
“Di dalam kata mana doamu tersirat?” tanyaku bingung.
“Gak heran IPK-mu dibawah rata-rata. Itu saja gak tahu.”
Baswara tak memperdulikan pertanyaanku. Kembali menyeruput kopi yang sudah setengah gelas sirna. Aku pun tidak memaksanya untuk menjawab. Aku tahu kalau Baswara punya banyak cara berkelit dalam kalimat-kalimatnya.
“Gak habis pikir aku sama orang yang suka mengurus urusan orang lain. Seakan-akan dia nabi yang yang baru diutus untuk menyelesaikan urusan orang.”
“Walaupun begitu, dia itu mantanmu, loh.”
Baswara kembali mengumpat. Menatapku galak.
“Tapi memang begitu orang-orang baru hijrah sifatnya. Baru belajar hal baru sedikit udah mulai sok pintar. Dikit-dikit ceramahin orang. Ini salah. Itu gak boleh. Berusaha jadi pahlawan kesiangan,” lanjut Baswara.
Aku mengangguk-angguk. “Bukan hanya orang yang baru berhijrah saja yang begitu sikapnya.”
“Maksudmu?” tanya Baswara. Mengerutkan keningnya.
“Kau tahu Dipa sepupuku?”
“Yang banyak gayanya itu?”
Aku mengangguk.
“Yang kalau kemana-mana selalu pamer hape iphone barunya?”
Aku mengangguk.
“Yang kalau nongkrong harus di tempat yang punya kopi overprice. Dan seakan-akan dia tahu kalau kopi itu enak padahal baru suka minum kopi selama seminggu?”
Aku mengangguk.
“Ah, yang kalau pakai baju mahal tapi merek bajunya ditulis besar-besar di dadanya. Mau bilang kalau bajunya itu merk terkenal.”
Lagi.
“Yang kalau–”
“Iya, kau benar. Tampaknya kau lebih kenal dia daripada aku.” Aku memotong kalimat Baswara.
“Ah, baiklah. Padahal masih banyak lagi hal-hal yang mau kujelaskan perkara ciri-ciri sepupumu itu. Juga sifat sepupumu itu adalah sifat kebanyakan manusia saat ini. Takut ketinggalan zaman, mengikuti hal-hal yang mereka sendiri gak paham. FOMO istilahnya kalau kau gak tahu.”
Aku melambaikan tangan. Kemudian aku menjelaskan tentang Dipa yang tepat empat belas hari lalu menemuiku. Dia baru saja belajar soal investasi di salah satu seminar. Dengan berapi-api menjelaskan padaku akan betapa pentingnya manajemen keuangan. Dia ingin aku ikut dengannya berinvestasi di perusahaan-perusahaan besar di ibukota sana. Bilang kalau itu adalah cara terbaik untuk mencapai financial freedom di masa tua.
Baca juga: Kepadamu, 60 Tahun yang Lalu
Kemudian dia melanjutkan menjelaskan dimana saja aku harus menanamkan uangku. Sialnya, banyak hal yang dibicarakan hanya hal-hal teknis yang tak ada manfaatnya buatku. Juga, aku tahu kalau dia membahas ini bukan untuk memberitahuku akan sesuatu, tapi untuk membuatku merasa bodoh di hadapannya.
“Aku tahu perusahaan yang kau bicarakan itu. Aku juga sudah punya saham di salah satu perusahaan yang mengelola energi alam di ibukota sana.” tentu saja aku berbohong. Tujuanku adalah untuk membuat Dipa berhenti bicara.
Sayangnya, si sok tahu ini bukan berhenti, namun malah menantangku. Menyuruhku menjabarkan apa saja yang aku dapat dari perusahaan itu. Tentu bukan karena penasaran, tapi hanya untuk membuktikan betapa dangkalnya pemahamanku.
Lanjutku menjelaskan sudah berapa banyak portofolio yang aku punya. Bilang kalau aku dapat pembagian dividen setiap tahunnya. Terus saja kujelaskan saham-saham yang dianjurkan oleh pakar saham dunia. Kumasukkan pula kalimat-kalimat motivasi mereka. Dipa bukan main kagetnya. Terkejut karena ternyata aku tahu lebih banyak yang dia perkirakan.
Dari mana aku tahu begitu banyak tentang saham? Dari seminar-seminar keuangan yang diselenggarakan di kampus-kampus. Tentu bukan untuk ilmunya aku hadir disana, tapi seminar itu kebanyakan menyediakan makan siang yang enak. Itulah satu-satunya yang aku incar. Meski sebelum semua itu aku harus mendengar puluhan panelis bicara panjang lebar akan betapa pentingnya mengelola finansial di masa muda. Intinya hanya satu, harus pelit sekarang agar bisa foya-foya di hari tua nanti.
Sayangnya, teori itu tidak ada gunanya buatku. Uang untuk menyambung hari ke hari saja tidak cukup. Apalagi untuk ditanamkan di saham-saham yang tidak jelas apakah untung atau tidak.
Setelah Dipa mendengarkanku mengurai berbagai masalah perkara saham, aku berharap dia diam dan berhenti membahas topik ini. Rupanya, dia malah semakin berapi-api.
Dia mulai menunjukkan grafik statistik di telepon pintarnya. Akan satu perusahaan yang sekarang dipegang oleh ustadz kondang. Ulama yang kerap berdakwah akan pentingnya bersedekah. Tabungan akhirat, katanya. Mengelaborasi keuntungan-keuntungan yang akan kudapatkan kalau aku menanam uang disana.
“Bukan hanya surga akhirat, temanku. Tapi juga surga dunia. Ini adalah investasi syariah.”
Setelah mendengar kata syariah, aku mulai memotong Dipa. Aku tidak suka kata itu disalah letakkan. Sudah berapa banyak orang yang terjebak dalam kerugian dengan buaian syariah di setiap ajakan.
“Sudah, hentikan. Aku gak mau mendengarkannya lagi.” Bukannya malah diam, dia masih saja melanjutkan kalimatnya. Terus membakar telingaku. Seolah-olah dia adalah juru bicara yang dikirim langsung oleh perusahaan ustadz kondang itu.
“Apa hubungannya ceritamu dengan ceritaku?” Baswara menghentikan.
“Lah, masa kamu gak paham?” tanyaku. Mengerutkan kening.
Baswara menggeleng.
“Percuma saja IPK-mu di atas rata-rata.”
Baswara menatapku galak. Hendak melempariku dengan dengan gelas kopi kosongnya di atas meja. Aku tertawa.
Sejenak kemudian Baswara tenggelam dalam telepon pintarnya. Sepertinya dia akan membuat masalah lain di dunia maya sana. Hingga esok lusa dia kembali menggorengnya di atas meja tongkrongan ini.
Aku sebenarnya ingin menjawab pertanyaan Baswara. Hubungan ceritaku dengan ceritanya. Bukan karena Dipa dan Danastri memiliki awalan huruf yang sama di nama mereka. Bukan juga karena dua orang ini suka sekali bicara bertele-tele perkara teknis dan melupakan hal yang esensial. Melainkan karena hubungan mereka berdua.
Hari itu, aku tidak bertemu dengan Dipa untuk mendengarkan dia bicara panjang lebar soal saham. Tapi dia datang padaku untuk memberikanku undangan pernikahan. Aku tidak ingin menyakiti hati sahabatku dengan membawakannya ‘kabar buruk’ ini. Meski sudah tiga bulan sepuluh hari berlalu lamanya.
“Dia mau menikah.” Baswara berkata lirih. Emosi yang sedari tadi terbakar lenyap begitu saja. Meninggalkan arang kesedihan berwarna hitam pekat.
“Siapa?” tanyaku pura-pura tidak paham.
“Danastri akan menikah. Guru ngajinya memperkenalkan mereka berdua.” nada suaranya semakin lemah.
Aku diam. Tidak berani berkomentar. Hati pria ini sangat rapuh sekarang. Meski cuma candaan kecil kulemparkan untuk mengobati, hatinya sudah terlanjur pecah berkeping-keping.
***
Tiga bulan tiga puluh hari kemudian.
Pesta meriah diselenggarakan di gedung mahal. Makanan dan minuman lezat dihidangkan. Ketika habis kembali diisi ulang. Ratusan orang megantre. Mulut mereka sudah tidak tahan untuk menyantap hidangan.
Semua itu tidak membuatku tertarik. Sejak sampai di pesta, mataku tak berhenti menatap sekitar. Mencari Baswara. Bagiku, bukan dua mempelai di atas panggung sana yang menjadi bintang acara ini, melainkan kehadiran Baswara.
Sayangnya, semakin kucari, semakin kecewa. Bayangan Baswara tak kunjung muncul.
Dari awal, pesta pernikahan tidak ada menariknya bagiku. Ditambah ketidakhadiran Baswara, makin turun saja levelnya. Perhelatan ini hanya euforia yang sirna dalam kedipan mata, hingga kemudian berujung akan kredit seumur hidup. Apalagi untuk mereka yang punya pendapatan pas-pasan setiap bulannya. Namun, dengan rayuan manis bernama perayaan sekali seumur hidup– meski terkadang terjadi berkali-kali– ratusan orang orang rela menghabiskan uang yang tidak mereka miliki. Berhutang sana-sini hanya untuk memuaskan nafsu orang lain. Aku kenal Dipa, uangnya habis di-invest dimana-mana. Tidak bisa diambil begitu saja. Keuntungannya belum tumbuh. Dengan harapan, masa depannya akan cerah. Semoga!
Jelang satu jam penuh kebosanan, ketika aku hendak memutuskan untuk cabut dari pesta itu, ketika itu pula Baswara datang. Dia berjalan kikuk. Beberapa ada yang mengenali Baswara. Terutama teman-temannya Danastri.
Nafsu makanku akhirnya muncul. Langsung saja aku menghampirinya dan mengajaknya makan. Tapi dia menolak. Katanya sudah kenyang dengan omongan orang-orang yang hadir disana. Bilang kalau dia cuma disana sebentar saja. Cuma ingin mengucapkan selamat kepada pasangan pengantin dan memberikan hadiah. Kemudian mengangkat tas kecil yang sedari tadi dia bawa masuk.
“Kenapa kau gak berikan saja hadiah itu di meja depan sana?” tanyaku.
Baswara melambaikan tangan dan kemudian berjalan menuju panggung utama. Aku penasaran dan mengekornya dari belakang.
Begitu jaraknya sudah dekat dengan kedua pengantin. Baswara berjalan tegak membusungkan dadanya. Merasa kalau dia adalah orang yang paling gagah disana. Dia mulai menyalami mempelai wanita. Namun, Danastri menangkupkan kedua tangannya di dada. Mengisyaratkan kalau mereka berdua tidak boleh bersentuhan. Tidak muhrim.
“Mashaallah tabarakallah,” ucap Baswara. Mencoba menirukan gaya-gaya wanita hijrah yang seliwuren di instagram.
Aku semakin penasaran. Apa yang ada di kepala Baswara? Hal gila apa yang hendak dia lakukan? Apa isi tas kecil di tangannya itu?
Lantas Baswara beralih ke mempelai pria yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Bukan menyalaminya, Baswara malah memeluk Dipa. Menepuk-nepuk punggungnya. Tidak berhenti disana, Baswara memberikan tas kecil di tangannya. Membuat Dipa terheran-heran. Kemudian Baswara membisikkan sesuatu di telinga Dipa selagi Dipa membuka isi tas kecil tersebut. Aku semakin penasaran, mencoba menguping, tapi tidak terdengar apapun sama sekali. Juga mencoba melihat isi tas, tapi nihil.
Sejenak, wajah Dipa berubah. Senyumnya yang sedari tadi seperti monyet gila hilang begitu saja. Matanya melotot lebar seperti hendak keluar dari tengkoraknya dan menembak Baswara. Wajahnya merah padam berusaha menahan nafasnya dalam-dalam. Baswara berjalan santai melewati Dipa yang masih mematung marah. Memegang erat-erat tas kecil yang diberikan Baswara. Aku langsung mengejar Baswara.
“Kamu kasih apa tadi ke Dipa?” nafasku tersengal. “Kenapa dia bisa marah begitu? Juga, apa yang kamu bisikkan?”
“Gak ada. Bukan apa-apa.” Baswara mengangkat bahunya.
“Gak ada apanya? Kau gak lihat wajah Dipa, hah?” teriakku.
“Beneran gak ada. Aku cuma memberikannya hadiah pernikahan sama seperti orang lain yang hadir disini. Biar dia tahu kalau aku yang memberikan itu, makanya aku mengantarnya langsung. Kalau cuma kutuliskan namaku di hadiah dan kuberikan di meja depan, nanti bisa jadi ada orang lain yang bernama Baswara. Jadinya dia tidak tahu kalau itu dariku.” Baswara menjelaskan panjang.
Nafasku masih tersengal. Baswara balik badan dan melambaikan tangannya. Kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan riuh pesta pernikahan. Aku tidak bisa melihat ekspresi apa yang ditunjukkan Baswara sekarang.
Juga, kepalaku masih penuh rasa penasaran. Apa yang diberikan Baswara pada Dipa? Apa yang dia bisikkan di telinganya? Sampai membuat laki-laki itu murka.[]
Editor: Hafizul Aziz
Posting Komentar