Kepadamu, 60 Tahun yang Lalu

Oleh: Seumu*

https://unsplash.com/s/photos/time

"Kenapa Nenek senang memeliharanya? Apa Nenek menyukai dia?"
"Sama sekali tidak, Darwis!"
"Kalau begitu, kenapa? Kenapa tiap aku ke rumah ini, acap kulihat dia menggosok-gosokkan tubuhnya di kakimu, Nek?"
"Kau tahu, Darwis? Karena mencintai seseorang, kau pun akan suka terhadap apa pun yang disukainya!"

***

3 April. Aku ingat hari itu. Kebanyakan orang akan menganggap jika tanggal tersebut sebagaimana hari normal lainnya. Namun bagiku, ia tercipta untuk perpisahan. Kau tahu, Darwis, mengapa gubuk ini masih ingin aku tempati? Ia adalah peninggalan berharga. Saat aku melihat rumah ini, yang terbayang adalah peluhnya bersama warga desa kala meratakan bukit kecil sampai jadi landai seperti sekarang. Mereka bekerja sama demi tempat tinggal kami—tempat aku dan mendiang kakekmu menyemai biji kopi, merawatnya, hingga pohon-pohon itu abadi sampai sekarang.

Benar yang Nenek katakan, ratusan pohon di kebun dan biji kopi yang dijemur di halaman adalah buktinya. Belum lagi, tripleks berukuran 20x10 cm dengan cat merah dan putih bertengger di pintu depan sebagai isyarat bahwa rumah ini dan seisinya berada di pihak negara. Bagiku, terlalu hina jika kugambarkan sebagai gubuk, terlalu mewah jika kukatakan sebagai istana megah. Tapi satu hal yang pasti, di Rimba Raya ini mereka bermandikan peluh demi mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

"Tapi, Nek, ada satu hal yang mengganjal. Kurasa di usia sekarang adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya."

Aku memperbaiki posisi duduk di lantai yang beralaskan tikar dan lantai kayu. Tak seperti Close The Door, podcast kami berlangsung di ruangan dapur. Nenek membangun rumahnya dalam dua bagian: ruang tamu dan kamar tidur yang berdindingkan beton, sedangkan dapur yang bertamengkan kayu.

"Bagaimana cerita yang sebenarnya mengenai Kakek? Sedari dulu, aku hanya mengenalnya berperantara nama saja. Sejak kecil, saat Ramadan tiba, Ibu selalu mengajakku ke mari. Kabarnya ada kenduri untuk mendoakan Kakek. Namun, Ibu tak sekalipun memberitahuku tentangnya. Bisakah cucumu yang manis ini mengetahuinya, Nek?"

"Kau ini pandai merayu, gemar memainkan frasa! Tampaknya bakat itu turun dari mendiang kakekmu, kah?"
"Aku mencintai sastra, Nek, bukan sekadar perayu! Kata-kataku itu penuh makna," sahutku berbalut senyum tipis.
"Dasar, Kakek dan cucu sama saja! Kalau begitu, baiklah, akan kuceritakan kepadamu. 60 tahun yang lalu..."

***

Salman adalah penulis ulung. Tulisannya sangat indah, rentetan kata-katanya sarat akan makna. Bahkan aku benci mengakui itu. Sejak pertama kali kubaca tulisan kakekmu, hatiku berdecak kagum. Aku menunggu tiap minggu untuk membeli koran dari Mimbar Swadaya (sekarang Serambi Indonesia), untuk kubaca, gunting, dan simpan.

"Sebentar, akan kuambilkan untukmu." Nenek melangkah ke kamarnya dan membawa kembali sebuah kotak.
"Ini dia! Diam-diam kusimpan semua tentangnya di sini."
"Nenek sudah melirik Kakek semenjak itukah?"
"Tidak juga! Aku hanya kagum dengan tulisan kakekmu, tidak lebih!"

Nenek menjawab ketus. Ia melipat senyum, tapi mukanya merah jambu. Aku tahu dia malu.
"Dasar wanita!" celetukku dalam hati.

Apa pun bentuk tulisan dan gagasan yang ia sampaikan, pasti mengundang pembaca, membuat mereka menunggu-nunggu. Nahasnya, Salman tak menghiraukan kondisi. Kakekmu rela mengorbankan kariernya untuk mengajak orang membuka mata. Ia tak peduli dengan negara yang berkecamuk perang. Suaranya lantang lewat tulisan. Tak ayal, berita tersebut sampai ke telinga para pembesar. Mereka pasti tak akan tinggal diam.

Sebagaimana kau tahu, Darwis, kami tinggal di rumah paling ujung dan agak jauh dari rumah warga. Akses tercepat hanyalah melewati jalan setapak yang hanya muat untuk pengendara motor.

Pada suatu hari, hatiku tak tenang. Aku tahu kami sedang diintai. Hingga kularang ia pulang malam itu. Kuminta padanya menginap di kebun, jangan pulang! Kakekmu pun patuh, bukan karena ia tak mau mendampingiku yang sedang hamil besar. Salman melakukan itu hanya karena tak ingin melihatku sedih. Kau tahu? Aku adalah wanita yang penuh cemas.

Baca juga: Menjaga Kesehatan, Menjaga Janji

Setelah salat Zuhur, berangkatlah ia ke kebun, bermalam di sana. Kakekmu itu pria jujur dan menepati janji—walau kadang ia mengingkarinya. Saat rembulan sempurna terang, Salman mulai khawatir akan keadaanku. Dengan menyibak pohon-pohon kopi yang baru berbunga, ia kembali ke rumah. Suasananya sangat mencekam. Firasatku semakin tak karuan. Sudah kukatakan jangan pulang, dia tak mendengarkan. Kami beranggar lidah. Dia tak lagi menjawab, senyap. Aku pun masuk kamar, tidur dalam keadaan tak tenang.

Brukk! Seseorang jatuh dari atap rumah. Mendarat tepat di kaki kakekmu. Salman terperanjat, bergegas keluar melompati jendela. Lari dengan sekuat tenaga, kembali melewati lereng bukit, kebun-kebun kopi yang berbunga. Bayangnya pun hilang ditelan kelam malam.

"Wah, apakah Kakek seorang ninja? Punya jurus-jurus hebat seperti di film-film, Nek?"
"Dasar korban film! Kakekmu itu lahir sebelum skrip filmmu terpikirkan! Satu-satunya jurus yang dia punya hanyalah kebesaran hati. Banyak salahku, luas pula maafnya."

Nenek menimpali, membuatku terkekeh. Aku tahu itu tidak mungkin. Namun, jika tak kupotong, nampaknya sekotak tisu harus segera kusediakan. Mata Nenek sembab, air terjun akan mengalir deras melintasi kerutan pipinya.

"Terlalu banyak salahku dengannya..." Nenek melanjutkan. Sial, bukannya membuat dia tertawa, candaanku malah memecahkan tanggul air matanya. Lihatlah, Nenek sempurna menangis. Tampaknya aku baru saja memecahkan rekor pelawak sedunia. Bodoh!

Kenapa tidak dari dulu aku memuji semua tulisannya? Aku terlalu mempedulikan ego dan prinsipku. Salman selalu menunjukkan tulisan pertamanya untuk kubaca. Responku hanya sebuah senyuman, tak membaca hingga akhir, tak pula mengomentari di depannya.

Bagiku, memetik kopi lebih dibutuhkan untuk membiayai pendidikan ibumu. Aku tahu dia sedih. Tapi kau tahu bagian paling menyakitkan, Darwis? Kakekmu selalu membalasnya dengan senyuman hangat—senyuman yang tak lagi bisa kunikmati sekarang. Aku benar-benar istri yang payah. Mungkin jika dari dulu tulisannya itu sedikit kutanggapi, pasti ceritanya tidak akan begini. Tidak akan ada tentara yang menjadi tamu tak diundang malam itu. Aku menyesal.

Tapi semuanya telah berlalu. Nasi sudah jadi lontong. Tak ada gunanya terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Di umur senja ini, yang harus aku lakukan hanyalah menjaga peninggalan Salman—semua tulisannya dan semua tulus cintanya.

"Bagaimana dengan dia? Kenapa Nenek memeliharanya? Apakah Nenek menyukainya?"
"Sama sekali tidak. Aku khawatir bulu-bulunya membuat salatku batal, Darwis!"
"Kalau begitu, kenapa? Kenapa setiap kali aku ke rumah ini, acap kulihat dia menggosok-gosokkan tubuhnya di kakimu, Nek?"
"Kau tahu, Darwis? Karena mencintai seseorang, kau pun akan suka terhadap apa pun yang disukainya. Sayangnya, dulu aku terlalu malu mengakui itu."
"Jadi, Nenek yang rela bolak-balik Meureudu–Rimba Raya, rela tinggal di sini sendirian dan mengurusi kebun kopi—itu semua karena Kakek, Nek? Karena cintamu padanya?"

Kalian tahu apa jawaban Nenekku? Dia hanya tersenyum datar, menunjukkan gusi dengan beberapa gigi yang sudah tanggal.
"Dasar Nenek, masih saja suka menutupi-nutupi perasaan!" pekikku dalam hati.

***

Sejak malam itu, tak kudengar lagi kabar kakekmu. Adikku yang mencarikan beritanya

pun sudah menyerah. Baru setelah dua tahun lebih, kudapati kabar bahwa kakekmu mendekam di penjara pulau seberang.

Tidak hanya dia seorang, satu organisasi mereka masuk daftar buronan, dituduh sebagai pelaku makar. Bahkan ada yang dibunuh. Sebab itu, banyak dari mereka yang mencari suaka ke negeri seberang.

Enam tahun berlalu, barulah ia dibebaskan. Aku sangat bersyukur, kakekmu tampak sehat walafiat, tak ada yang kurang darinya. Yang melemah hanyalah tulisannya yang tak tajam seperti dulu kala. Mungkin enam tahun tanpa secarik kertas dan pena cukup untuk meninabobokan tangan ajaibnya.

Dua minggu kemudian, Salman jatuh sakit. Seminggu dokter tak membolehkannya pulang dari rumah sakit. Dan akhirnya, kakekmu mengembuskan napas terakhir di sana.

Tak ada lagi tulisan-tulisannya yang bisa kusimpan, tak ada lagi senyum manisnya. Setelah ia pergi, cintaku pun ikut bersamanya.

"Terima kasih, Nek. Aku turut prihatin, tetapi kisahmu sangat menakjubkan. Tak terbayang perjuangan kalian di tanah dingin ini! Sebentar, Ibu menitipkan ini sebelum aku berangkat. Kata Ibu, Nenek pasti akan suka dengan isi di dalamnya. Ibu bilang, ini makanan favoritmu. Selamat menikmati, Nek!"

Kotak bekal hijau itu perlahan dibuka. Lihat! Senyum tua itu kembali menganga di bibirnya.

Bersambung...


Editor: Arief Munandar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top