Kepadamu, 60 Tahun yang Lalu
"Kenapa Nenek
senang memeliharanya? Apa Nenek menyukai dia?"
"Sama sekali tidak, Darwis!"
"Kalau begitu, kenapa? Kenapa tiap aku ke rumah ini, acap kulihat dia
menggosok-gosokkan tubuhnya di kakimu, Nek?"
"Kau tahu, Darwis? Karena mencintai seseorang, kau pun akan suka terhadap
apa pun yang disukainya!"
***
3 April. Aku ingat
hari itu. Kebanyakan orang akan menganggap jika tanggal tersebut sebagaimana
hari normal lainnya. Namun bagiku, ia tercipta untuk perpisahan. Kau tahu,
Darwis, mengapa gubuk ini masih ingin aku tempati? Ia adalah peninggalan
berharga. Saat aku melihat rumah ini, yang terbayang adalah peluhnya bersama
warga desa kala meratakan bukit kecil sampai jadi landai seperti sekarang.
Mereka bekerja sama demi tempat tinggal kami—tempat aku dan mendiang kakekmu
menyemai biji kopi, merawatnya, hingga pohon-pohon itu abadi sampai sekarang.
Benar yang Nenek
katakan, ratusan pohon di kebun dan biji kopi yang dijemur di halaman adalah
buktinya. Belum lagi, tripleks berukuran 20x10 cm dengan cat merah dan putih
bertengger di pintu depan sebagai isyarat bahwa rumah ini dan seisinya berada
di pihak negara. Bagiku, terlalu hina jika kugambarkan sebagai gubuk, terlalu
mewah jika kukatakan sebagai istana megah. Tapi satu hal yang pasti, di Rimba
Raya ini mereka bermandikan peluh demi mewujudkan pendidikan terbaik bagi
anak-anaknya.
"Tapi, Nek, ada
satu hal yang mengganjal. Kurasa di usia sekarang adalah waktu yang tepat untuk
menanyakannya."
Aku memperbaiki posisi
duduk di lantai yang beralaskan tikar dan lantai kayu. Tak seperti Close The
Door, podcast kami berlangsung di ruangan dapur. Nenek membangun rumahnya
dalam dua bagian: ruang tamu dan kamar tidur yang berdindingkan beton,
sedangkan dapur yang bertamengkan kayu.
"Bagaimana cerita
yang sebenarnya mengenai Kakek? Sedari dulu, aku hanya mengenalnya berperantara
nama saja. Sejak kecil, saat Ramadan tiba, Ibu selalu mengajakku ke mari.
Kabarnya ada kenduri untuk mendoakan Kakek. Namun, Ibu tak sekalipun memberitahuku
tentangnya. Bisakah cucumu yang manis ini mengetahuinya, Nek?"
"Kau ini pandai
merayu, gemar memainkan frasa! Tampaknya bakat itu turun dari mendiang kakekmu,
kah?"
"Aku mencintai sastra, Nek, bukan sekadar perayu! Kata-kataku itu penuh
makna," sahutku berbalut senyum tipis.
"Dasar, Kakek dan cucu sama saja! Kalau begitu, baiklah, akan kuceritakan
kepadamu. 60 tahun yang lalu..."
***
Salman adalah penulis
ulung. Tulisannya sangat indah, rentetan kata-katanya sarat akan makna. Bahkan
aku benci mengakui itu. Sejak pertama kali kubaca tulisan kakekmu, hatiku
berdecak kagum. Aku menunggu tiap minggu untuk membeli koran dari Mimbar
Swadaya (sekarang Serambi Indonesia), untuk kubaca, gunting, dan
simpan.
"Sebentar, akan
kuambilkan untukmu." Nenek melangkah ke kamarnya dan membawa kembali
sebuah kotak.
"Ini dia! Diam-diam kusimpan semua tentangnya di sini."
"Nenek sudah melirik Kakek semenjak itukah?"
"Tidak juga! Aku hanya kagum dengan tulisan kakekmu, tidak lebih!"
Nenek menjawab ketus.
Ia melipat senyum, tapi mukanya merah jambu. Aku tahu dia malu.
"Dasar wanita!" celetukku dalam hati.
Apa pun bentuk tulisan
dan gagasan yang ia sampaikan, pasti mengundang pembaca, membuat mereka
menunggu-nunggu. Nahasnya, Salman tak menghiraukan kondisi. Kakekmu rela
mengorbankan kariernya untuk mengajak orang membuka mata. Ia tak peduli dengan
negara yang berkecamuk perang. Suaranya lantang lewat tulisan. Tak ayal, berita
tersebut sampai ke telinga para pembesar. Mereka pasti tak akan tinggal diam.
Sebagaimana kau tahu,
Darwis, kami tinggal di rumah paling ujung dan agak jauh dari rumah warga.
Akses tercepat hanyalah melewati jalan setapak yang hanya muat untuk pengendara
motor.
Pada suatu hari,
hatiku tak tenang. Aku tahu kami sedang diintai. Hingga kularang ia pulang
malam itu. Kuminta padanya menginap di kebun, jangan pulang! Kakekmu pun patuh,
bukan karena ia tak mau mendampingiku yang sedang hamil besar. Salman melakukan
itu hanya karena tak ingin melihatku sedih. Kau tahu? Aku adalah wanita yang
penuh cemas.
Baca juga: Menjaga Kesehatan, Menjaga Janji
Setelah salat Zuhur,
berangkatlah ia ke kebun, bermalam di sana. Kakekmu itu pria jujur dan menepati
janji—walau kadang ia mengingkarinya. Saat rembulan sempurna terang, Salman
mulai khawatir akan keadaanku. Dengan menyibak pohon-pohon kopi yang baru berbunga,
ia kembali ke rumah. Suasananya sangat mencekam. Firasatku semakin tak karuan.
Sudah kukatakan jangan pulang, dia tak mendengarkan. Kami beranggar lidah. Dia
tak lagi menjawab, senyap. Aku pun masuk kamar, tidur dalam keadaan tak tenang.
Brukk! Seseorang jatuh dari atap rumah. Mendarat
tepat di kaki kakekmu. Salman terperanjat, bergegas keluar melompati jendela.
Lari dengan sekuat tenaga, kembali melewati lereng bukit, kebun-kebun kopi yang
berbunga. Bayangnya pun hilang ditelan kelam malam.
"Wah, apakah
Kakek seorang ninja? Punya jurus-jurus hebat seperti di film-film, Nek?"
"Dasar korban film! Kakekmu itu lahir sebelum skrip filmmu terpikirkan!
Satu-satunya jurus yang dia punya hanyalah kebesaran hati. Banyak salahku, luas
pula maafnya."
Nenek menimpali,
membuatku terkekeh. Aku tahu itu tidak mungkin. Namun, jika tak kupotong,
nampaknya sekotak tisu harus segera kusediakan. Mata Nenek sembab, air terjun
akan mengalir deras melintasi kerutan pipinya.
"Terlalu banyak
salahku dengannya..." Nenek melanjutkan. Sial, bukannya membuat dia
tertawa, candaanku malah memecahkan tanggul air matanya. Lihatlah, Nenek
sempurna menangis. Tampaknya aku baru saja memecahkan rekor pelawak sedunia.
Bodoh!
Kenapa tidak dari dulu
aku memuji semua tulisannya? Aku terlalu mempedulikan ego dan prinsipku. Salman
selalu menunjukkan tulisan pertamanya untuk kubaca. Responku hanya sebuah
senyuman, tak membaca hingga akhir, tak pula mengomentari di depannya.
Bagiku, memetik kopi
lebih dibutuhkan untuk membiayai pendidikan ibumu. Aku tahu dia sedih. Tapi kau
tahu bagian paling menyakitkan, Darwis? Kakekmu selalu membalasnya dengan
senyuman hangat—senyuman yang tak lagi bisa kunikmati sekarang. Aku benar-benar
istri yang payah. Mungkin jika dari dulu tulisannya itu sedikit kutanggapi,
pasti ceritanya tidak akan begini. Tidak akan ada tentara yang menjadi tamu tak
diundang malam itu. Aku menyesal.
Tapi semuanya telah
berlalu. Nasi sudah jadi lontong. Tak ada gunanya terus-menerus menyalahkan
diri sendiri. Di umur senja ini, yang harus aku lakukan hanyalah menjaga
peninggalan Salman—semua tulisannya dan semua tulus cintanya.
"Bagaimana dengan
dia? Kenapa Nenek memeliharanya? Apakah Nenek menyukainya?"
"Sama sekali tidak. Aku khawatir bulu-bulunya membuat salatku batal,
Darwis!"
"Kalau begitu, kenapa? Kenapa setiap kali aku ke rumah ini, acap kulihat
dia menggosok-gosokkan tubuhnya di kakimu, Nek?"
"Kau tahu, Darwis? Karena mencintai seseorang, kau pun akan suka terhadap
apa pun yang disukainya. Sayangnya, dulu aku terlalu malu mengakui itu."
"Jadi, Nenek yang rela bolak-balik Meureudu–Rimba Raya, rela tinggal di
sini sendirian dan mengurusi kebun kopi—itu semua karena Kakek, Nek? Karena
cintamu padanya?"
Kalian tahu apa
jawaban Nenekku? Dia hanya tersenyum datar, menunjukkan gusi dengan beberapa
gigi yang sudah tanggal.
"Dasar Nenek, masih saja suka menutupi-nutupi perasaan!" pekikku
dalam hati.
***
Sejak malam itu, tak
kudengar lagi kabar kakekmu. Adikku yang mencarikan beritanya
pun sudah menyerah.
Baru setelah dua tahun lebih, kudapati kabar bahwa kakekmu mendekam di penjara
pulau seberang.
Tidak hanya dia
seorang, satu organisasi mereka masuk daftar buronan, dituduh sebagai pelaku
makar. Bahkan ada yang dibunuh. Sebab itu, banyak dari mereka yang mencari
suaka ke negeri seberang.
Enam tahun berlalu,
barulah ia dibebaskan. Aku sangat bersyukur, kakekmu tampak sehat walafiat, tak
ada yang kurang darinya. Yang melemah hanyalah tulisannya yang tak tajam
seperti dulu kala. Mungkin enam tahun tanpa secarik kertas dan pena cukup untuk
meninabobokan tangan ajaibnya.
Dua minggu kemudian,
Salman jatuh sakit. Seminggu dokter tak membolehkannya pulang dari rumah sakit.
Dan akhirnya, kakekmu mengembuskan napas terakhir di sana.
Tak ada lagi
tulisan-tulisannya yang bisa kusimpan, tak ada lagi senyum manisnya. Setelah ia
pergi, cintaku pun ikut bersamanya.
"Terima kasih,
Nek. Aku turut prihatin, tetapi kisahmu sangat menakjubkan. Tak terbayang
perjuangan kalian di tanah dingin ini! Sebentar, Ibu menitipkan ini sebelum aku
berangkat. Kata Ibu, Nenek pasti akan suka dengan isi di dalamnya. Ibu bilang,
ini makanan favoritmu. Selamat menikmati, Nek!"
Kotak bekal hijau itu
perlahan dibuka. Lihat! Senyum tua itu kembali menganga di bibirnya.
Bersambung...
Posting Komentar