Pondasinya Diniyyah Puteri, Kartininya Minangkabau, Rahmah El-Yunusiyyah

Oleh: Zarvia Li'aunillah*
(Sumber: Google.com)
Semua bermula dari scroll iseng di akun Instagram @historymemes_nusantara. Sebuah unggahan yang menarik perhatian. Slide pertamanya menampilkan potret klasik R. A. Kartini, disandingkan dengan foto seorang perempuan berhijab anggun, mengenakan penutup kepala khas yang disebut lilik. Siapa dia? Kenapa bisa berdampingan dengan Kartini? Penasaran mulai merayap perlahan. Wajahnya memancarkan wibawa terlihat jelas bahwa ia pantas dijadikan panutan, terutama bagi para muslimah. Ternyata, ia adalah perempuan pertama yang secara terbuka menyuarakan soal hijab dalam Kongres PERMI di Jakarta. Sayangnya, kongres itu kemudian dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tapi keberaniannya, benar-benar tak pernah padam dari sejarah.

Bukan sekadar nama dalam sejarah lokal, dialah Rahmah El-Yunusiyyah. Julukan “Kartini-nya Minangkabau” bukan disematkan tanpa alasan. Jika Kartini dikenal lewat gagasan-gagasannya tentang pendidikan perempuan melalui surat-suratnya, maka Rahmah langsung turun ke medan aksi. Ia tak hanya menulis atau berwacana, tapi benar-benar mewujudkan gagasannya menjadi nyata.

Kalau di timur ada tokoh yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur', maka di barat, ada sosok 'Ayam Betina yang Berkokok'. Sebuah gelar untuk menggambarkan keberaniannya bersuara dan melangkah di tengah dominasi laki-laki. Rahmah adalah tokoh pendidikan, pejuang kemerdekaan, sekaligus ulama perempuan. Ia lahir di kota kecil Padang Panjang pada 24 Desember 1900, dan jejak perjuangannya tetap menginspirasi hingga kini.

Sejak kecil, Rahmah tak bisa dipisahkan dari buku. Bahkan saat makan pun sering ia cuekin, karena asyik tenggelam dalam bacaan. Ia dikenal sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu, pertanyaan-pertanyaan aneh khas anak kecil saja tak pernah ia anggap sepele. Semua dicernanya dalam-dalam, hingga menemukan jawaban. Kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy, adalah guru sekaligus panutan pertamanya. Dari beliaulah Rahmah banyak belajar. Sejak muda, ia punya kepekaan luar biasa terhadap kondisi di sekitarnya, terlebih terhadap nasib kaumnya: Perempuan.

Saat itu, perempuan benar-benar dimarjinalkan. Membawa buku saja dipandang tabu. Ucapan seperti, “Perempuan itu tempatnya di dapur, sumur, dan kasur lalu dengan putusan di rumah sahaja,” terdengar biasa di telinga banyak orang. Baginya, agama tidak pernah mengajarkan pembatasan semacam itu. Tapi negeri ini, dengan budaya patriarkinya, justru menjadikannya seolah sebuah kewajaran. Rahmah tidak tinggal diam. Ia menolak jika perempuan hanya dianggap pelengkap. Maka, ia pun bangkit mendirikan sekolah khusus bagi perempuan muslimah, agar kaumnya tak lagi dipandang sebelah mata.

Tepat pada hari Kamis, 1 November 1923 di usianya yang akan menginjak 23 tahun Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan sebuah sekolah perempuan di tengah gempuran kolonialisme. Sekolah itu bernama al-Madrasatu ad-Diniyyah li al-Banat, yang kelak dikenal luas sebagai Diniyyah Puteri. Sebuah lembaga pendidikan khusus perempuan yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum, jauh sebelum istilah 'pendidikan holistik' jadi tren.

Mendirikan sekolah saja sudah sulit, apalagi mempertahankannya di masa penjajahan, ketika kemerdekaan belum juga dinyatakan. Jadi incaran dan pantauan penjajahan? Sudah pasti. Tapi ini Rahmah, putri bungsu dari Syekh Muhammad Yunus, dan adik kandung pendiri PMDS (Persatuan Murid-Murid Diniyyah School) yang tak pernah menjabat tangan dengan rasa takut. Keberaniannya nyaris sebanding dengan benteng pertahanan sebuah negara. Bahkan Belanda pun dibuat gentar. Dalam diamnya, ada tekad yang tajam. Dalam langkahnya, ada perlawanan yang tak kentara tapi menghantam.

Rahmah bukan sekadar guru yang duduk mengajar di dalam kelas. Ia juga pahlawan bagi tanah kelahirannya, Padang Panjang. Saat kota ini diguncang gampo rayo yang goncangannya seperti ayakan tepung, Etek Amah lah yang sigap turun tangan. Ia tak tinggal diam. Dari dapur umumnya ia membagikan makanan, dari tangannya yang terampil ia mengobati warga yang terluka. Rangkayo Rahmah bukan hanya ahli dalam ilmu agama. Ia menguasai pula ilmu umum seperti keperawatan, kepanduan, seni, dan bahkan dunia literasi. Membaca media, memahami perkembangan zaman semua dikuasainya dengan cermat. Beliaulah sosok perempuan Minangkabau yang tak hanya satu warna. Kompleks, tangguh, dan berwawasan luas polemiknya perempuan Minang sejati.

Pengorbanannya sungguh luar biasa. Hidupnya tak pernah dijalani dengan sia-sia. Sosok seperti Rahmah memang langka. Matanya mungkin lelah dan mengantuk, tapi hatinya tak pernah tidur. Bagi Rahmah, setiap peristiwa pasti membawa hikmah. Ia tak pernah menyalahkan gempa sebagai akibat dari perselisihan antar-kaum. Yang ia syukuri justru satu hal: bencana ini menghentikan pertikaian antara kaum agama, nasionalis, dan komunis yang kala itu memanas di Padang Panjang. Di tengah reruntuhan, Rahmah justru melihat awal dari persatuan.

Meski gempa masih kerap menyapa tanah itu, dan Diniyyah Puteri yang saat itu masih seumur jagung telah rata dengan tanah, bukan Rahmah El-Yunusiyyah jika keadaan ini membuatnya terpuruk parah hingga menyerah. Dengan akalnya yang terus bekerja dan semangat yang tak pernah padam, ia justru bangkit. Rahmah rela meninggalkan kotanya demi menggalang dana ke berbagai daerah di Sumatera mulai dari Pekanbaru hingga Aceh. Etek Amah ini sangat pantang menerima apalagi meminta bantuan dari tangan Belanda yang jelas-jelas penjajah. Ia memilih jalan yang lebih berat, tapi penuh kehormatan.

Tak disangka, nama Etek Amah dan Diniyyah Puteri ternyata sudah lebih dulu dikenal sebelum ia sendiri tiba di tempat-tempat itu. Warga yang tak mau kehilangan kesempatan, segera memintanya untuk mengajarkan mereka segala ilmu yang dikuasainya, terutama bagi kaum Perempuan.

Saat tiba di Aceh, Rahmah diperlakukan dengan sangat istimewa. Di tanah para ulama itu, ia bukan hanya dihormati tapi juga dicintai. Saking hangatnya sambutan, para ulama dan masyarakat memanggilnya dengan panggilan penuh kasih: “Ananda.”

Diniyyah Puteri mungkin dikenal luas, tapi jauh sebelum program pemberantasan buta huruf resmi diluncurkan pada tahun 1948, Encik Rahmah sudah lebih dulu memulainya, tepatnya pada tahun 1924. Semua berawal dari permintaan para ibuk-ibuk Minang saat itu, yang merasa malu karena anak gadis mereka sudah pandai membaca dan mengenal angka, sementara mereka sendiri belum bisa.


Encik Rahmah lah yang lebih dulu merasakan susahnya menggenggam jemari-jemari kasar yang belum terbiasa memegang pensil, hingga perlahan-lahan mereka mampu menulis huruf demi huruf. Ia tak hanya mengajarkan, tapi juga memanusiakan. Sayangnya, perjuangan ini jarang tercatat dalam buku-buku sejarah. Entah mengapa. Tapi kisahnya tetap hidup dalam ingatan, dalam jejak, dan dalam dampak yang ditinggalkannya.

Diniyyah Puteri bukan hanya harum di tanah Minang, namanya menembus batas, hingga semerbak sampai ke negeri para ulama: Mesir. Reputasinya bahkan menggema sampai ke jantung ilmu dunia Islam, Universitas Al-Azhar, Kairo.

Saat Rektor Universitas Al Azhar Dr. Syekh Abdurrahman Taj berkunjung langsung ke Diniyyah Puteri, ia terpesona. Dalam pidatonya, ia menyatakan dengan penuh kekaguman:

"Di negeri ini, di sebuah surga tersembunyi di balik keelokan alamnya, berdiri sebuah perguruan khusus bagi perempuan. Di Al-Azhar, bahkan belum ada lembaga seperti ini. Saya akan membawa pola pendidikan Diniyyah Puteri ini untuk diterapkan di Universitas Al-Azhar, Kairo."

Pada momen yang sama, Syekh Abdurrahman Taj menganugerahkan gelar kehormatan “Syekhah” kepada Rangkayo Rahmah El-Yunusiyyah sebuah pengakuan luar biasa yang menunjukkan bahwa ilmunya, kiprahnya, dan visinya tak lagi milik satu bangsa, tapi milik dunia Islam.

Rahmah adalah sosok pembaharu yang berpikir melampaui zamannya. Ia memahami bahwa membebaskan perempuan bukan berarti menanggalkan nilai-nilai agama atau identitas lokal. Justru dari nilai-nilai itulah ia merancang sistem pendidikan yang membentuk perempuan berilmu, beriman, dan berdaya. Ia membuktikan bahwa jilbab tak menghalangi pemikiran progresif, dan bahwa pesantren bisa menjadi ruang pembebasan perempuan. Beliau juga paling dulu mengibarkan Sang Merah Putih pada 1945 di Ranah Minang bahkan mungkin Sumatera.
(Sumber: Google.com)
Sejarah mungkin lebih sering menyebut Kartini, tapi bagi masyarakat Minangkabau, Rahmah El-Yunusiyyah adalah simbol lain dari perjuangan lebih dari sekadar simbol, ia adalah sistem. Ia bukan hanya suara, tapi juga pondasi yang kokoh bagi pendidikan perempuan di Indonesia. Kini, Diniyyah Puteri masih berdiri tegak di Padang Panjang, menjadi bukti bahwa cita-cita Rahmah tak sekadar angan, tapi warisan.

Hadirnya tokoh inspiratif ini menggerakkan tangan seorang penulis hebat, Khairul Jasmi, untuk mengabadikan kisahnya dalam sebuah novel biografi berjudul, “Perempuan yang Mendahului Zaman .” Buku yang sangat bangus untuk dibaca dan diresapi.

Referensi:

(1) Khairul Jasmi. (2020). Perempuan yang Mendahului Zaman. Republika.[]

*Penulis merupakan mahasiswi tingkat II jurusan Ushuluddin, Universitas Al-azhar, Kairo.

Editor: Siti Humaira

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top