Dinding Teleportasi
Oleh: Zarvia Li'aunillah*
“Excuse me, can you take the picture?”
Namanya Aiman, seorang pelajar remaja. Ia tersenyum sendiri sambil memandangi selembar kertas di tangannya, sebagian senyumannya ia pantulkan pada orang yang menyapa, lalu buru-buru berlagak cool man.
Aiman menerima tawaran. Seperti biasa, menyembunyikan kegugupan. Jepret, lalu mengembalikan ponsel, setelah itu ia meresapi rasa malunya. Kini Aiman benar-benar tak bisa diganggu, teman sekamar yang memanggilnya beberapa kali pun, ia tetap budek.
Gambar di tangannya itu hanya foto biasa, membentuk siluet bangunan segitiga raksasa yang menjulang ke langit. Pikirannya terlontar antara menghitung limas di kelas atau cat kayu yang berserakan di ruang tengah.
Ingatannya melayang ke portal masa. kali ini pintu kemana sajanya Doraemon benar-benar ada di depan. Tiba-tiba batu besar di sampingnya bergeser perlahan, tanpa ba-bi-bu Aiman melangkah masuk. Waktu seakan menyihir dirinya, ia benar-benar tak mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Di dalam ruangan yang bukan sekadar gelap, dipenuhi dengan dinding yang berbentuk relief aneh, kotak-kotak seperti bingkai layar. Sulit ia perhatikan kotak yang dipenuhi dengan berbagai kode tak jelas, sebab tak pernah ia lihat sebelumnya.
Di akhir kotak, muncul sosok yang nyaris mirip dengannya, mukanya kelewatan tua, tatapannya penuh teka-teki. Sosok itu melangkah keluar, menatap ke arah Aiman. Setelah teka-teki kotak, di ujung jalan tampak sebuah pintu misterius, bentuknya kecil seperti pintu gudang. Pak tua menyapa dengan perintah “Ikuti aku, sekarang bukalah pintu ini,” suaranya bergema di dalam ruang.
Aiman menegang. Dari sudut mata, ia melihat relief lain bergetar, menampilkan bayangan samar, tampaknya kini otak Aiman berfungsi, baru sekarang ia terpikir bagaimana cara pulang.
“Siapa kau sebenarnya?” Desah Aiman.
Pak tua tersenyum, seperti mengenal setiap keraguan Aiman. Gayanya sangat kakek-kakek, tangan kanannya terulur kebelakang mengenggam pergelangan tangan kiri. “Kau tak perlu tahu siapa aku.” Tampang wajahnya terlihat plin-plan, senyumannya suka tulus suka ketus. “Jika kau tidak mengikuti apa yang aku diktekan, maka kau tak akan bisa kembali ke tempat asal.” Tegasnya.
Relief di dinding menyala samar, dari satu kotak ia bisa melihat lukisan kota yang kebarat-baratan dan bangunan megah lain terpajang seadanya.
Kotak lain memperlihatkan langkah tergesa seorang bocah, botol-botol bekas digenggam erat, dilanjutkan bayangan tangan menukar botol itu dengan receh, dan seulas senyum muncul ketika sebuah buku lusuh berhasil dibawa pulang. Buku dengan sampul usang, entah apa yang membuatnya bangga, padahal itu hanya buku bekas.
Sesi berikutnya menampakkan ruangan remang dengan pantulan kata asing terbata-bata, diucapkan berulang kali, berbagai coretan di buku catatan. Pada satu pajangan terlihat sebuah lukisan anak kecil dengan setelan santri, sarung kebesaran, gulungan pinggang yang mencekik baju koko. Tangannya sibuk dengan dua buku besar yang beratnya hampir setara berat badannya.
Cahaya meredup. Aiman merasa dirinya terkapar dalam sebuah labirin, kini malah dihadapkan dengan sebuah api yang sangat besar, dalam keadaan sadar Aiman baru teringat Tuhannya. Dalam gulungan api itu terlihat anak kecil yang sedang duduk sambil membaca buku. Batin Aiman sibuk mengheran, tiba-tiba langkah lain terdengar, Pak tua tadi rupanya.
“Ikutilah bocah itu, belajarlah darinya, dan jangan terlalu banyak berpikir tentang anomali yang akan terjadi.” Ucap Pak tua.
Aiman patuh mengikuti perintahnya, karena hal yang paling ia ingat kalau-kalau dirinya tak bisa kembali lagi.
Sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang, terlihat di sana seorang bocah dengan suara lantangnya terus mengulang kalimat-kalimat Arab dengan sangat fasih, Aiman mencerna, dan jelas ini bukan bagian dari ayat Al-Quran.
Aiman memang sangat suka hal yang berbau bahasa asing, tapi kali ini kalimat yang dilantunkan benar-benar membuatnya terpana, nada tiap baitnya terdengar persis dengan penceramah di masjid-masjid Arab.
“Permisi, wahh suara kamu bagus sekali persis dengan khatib-khatib Arab?” Sapa Aiman pada seorang anak kecil dengan baju kebesarannya, ditemani dua buku yang benar-benar besar.
“Eh mana mungkin, Ustaz, masih jelek ini.” Jawabnya tersipu.
“Tapi bagus banget lho pidatonya, kamu buat sendiri?”
“Hehe, tidak, Ustaz, ini hanya coba-coba saja, soalnya Aku kepingin lulus di seleksi lomba pidato Bahasa Arab kali ini, sudah lima kali ikut tapi belum rezeki.”
“Wah… Mantap tu, saya yakin kali ini kamu pasti lolos,”
Si bocah menggelengkan kepala sembari mengayunkan telunjuk ke kanan dan ke kiri.
“Ustaz baru lihat Aku seorang, coba kalau lihat peserta yang lain, pasti dengan tegas mengatakan NO! padaku, bersaing dengan mereka yang keren-keren itu sangat sulit,” ucap si bocah dengan penuh keyakinan. Aiman tertawa, Ia mengingat lagi masa-masa dirinya berjuang untuk mengikuti seleksi lomba antar sekolah, benar-benar mirip dengannya, dirinya yang rempong, bukan hanya membawa teks tapi juga dua kamus besar Indonesia-Arab dan Arab-Indonesia, dua benda ini ia bawa seperti menggendong adiknya sendiri.
Pembicaraan yang singkat, lonceng pun berbunyi. “Eh ana izin masuk kelas dulu ya, Ustaz.” Pamit si bocah buru-buru. Di pondok ini asal wajahnya tampak tua dan bukan santri tetap dipangggil Ustaz.
Lagi-lagi Aiman dikejutkan dengan posisinya sekarang, ia berdiri tepat di depan sebuah pesantren, gapuranya tertuliskan sebuah nama “DAARUL HIKMAH”
Saat sedang menatap gapura, ia pun teralihkan dengan para santri yang berlarian sambil membawa buku di tangan mereka, tak seorang pun tangannya kosong.
Aiman berbalik arah, di telinganya terdengar suara gemuruh yang ternyata berasal dari ujung utara, sebuah gumpalan asap yang membumbung ke udara, membesar dari jauh sana, persis seperti gerombolan kuda hendak menyerbu lawan, tapi lama kelamaan gerombolan ini mengarah ke dirinya, Aiman yang sadar pun segera berlari agar tak terinjak oleh mereka. Nahas. Aiman sih saat temannya ajak jogging ia lebih memilih golek-golek, makanya ia jatuh, badannya nyaris remuk, bagi yang menyaksikan pasti mengira Aiman sudah tak tertolongkan lagi.
Ia menyesal tak mengikuti si bocah masuk kelas “Mungkin setelah ini, aku benar-benar tidak bisa berjumpa lagi dengan teman-teman.” batinnya bersedih.
***
Padahal baru saja kepala Aiman gepeng, tapi semenjak tadi ada saja orang ribut dengan tounge twister, udah pronounce-nya campur aca aca nehi nehi, makin gepeng kepala.
“The phapher phapher pen wurt wurt kok susah ya, oke terus the phapher phapher pejk lanjut kalimat berikutnya the chikin chikin cef ceks the chikin chikin chop nah ini mudah,”
Sudah puluhan kali Aiman mendengar kalimat ini, puluhan kali juga dibuat pusing. Aiman menyadarkan diri untuk menghentikan suara itu, “Udah! jangan diterusin, pronounce kamu jelek!” Tegas Aiman sambil meremas bagian kepalanya yang sakit.
“Eh, Ustaz sudah bangun? Maaf Ustaz tadi ana lagi latihan,” Aiman terkejut bukan main, walau kepala sudah gepeng tapi ingatannya tidak amnesia, “Kamu, bocah yang tadi kan?” Tanya Aiman. “Iya, ini ana, Ustaz tadi pingsan di tengah jalan terus dibawa ke UKS karena tidak ada yang kenal dengan Ustaz, jadinya ana bawa antum ke rumah, bukan rumah sih lebih tepatnya gubuk tempat ana menghafal, hehe.” Segitu effort-nya bocah ini menjelaskan, padahal Aiman tidak tanya.
“Oh gitu ya, maaf, saya tak tahu… Tadi itu karena saya pusing banget, sorry yaa.” Si bocah tersenyum paham, namun raut wajahnya bercampur dengan rasa bersalah dan malu, karena sudah berkali-kali ia belajar agar pronounce-nya bagus tapi hasilnya tetap sama “Iya, tidak mengapa, ana paham kok.” Setelah itu ia pun pamit keluar sambil membawa kutaib nya.
Aiman yang merasa bersalah pun juga membuang rasa sakit kepalanya, lalu menyamperi anak itu. Dengan langkah pelan, Aiman terus berjalan dengan bantuan topangan dari dinding kamar hingga dinding ruang tamu, sebelum ia tiba di tempat bocah itu duduk, lagi-lagi ia dikejutkan dengan ruang tamu yang tak seperti biasanya, padahal katanya ini gubuk, lantas mengapa tiba-tiba ada sebuah ruangan yang nyaris berbeda?
Ruang tamu yang dipenuhi dengan beberapa atlas, sebuah globe, kardus-kardus yang tersusun menjulang tinggi, cat krayon dengan berbagai ukuran mulai dari seruas hingga sejari, juga ada berbagai macam lem mulai dari manual yang bertepung dan bernasi hingga yang bermerek. Pandangan seperti ini masih di pojok pertama.
Di pojok satu lagi dipenuhi dengan susunan kamus Bahasa Asing Arab dan inggris, berbagai kutaib, berbagai diary yang isinya kisah sehari-hari si pemilik buku dengan berbahasa Arab dan Inggris, semua diary dan kutaib-nya penuh terisi dengan tulisan, semua lembaran kamusnya lusuh bahkan ada yang hampir robek, sebab saking seringnya dibuka.
Ada lagi, di bagian tengah ruangan, berbagai miniatur monumen terkenal di dunia, mulai dari La Tour Eiffel, Big Ben, Tokyo Tower, CN Tower, Burj Khalifa, Kuala Lumpur Tower, hingga Piramida Giza pun nyaris sempurna terletak di atas meja miniatur ruangan ini, tepat di atas dindingnya bertuliskan
“Man, someday you will definitely come here.”
Tak hanya itu, miniatur-miniatur ini sudah diletakkan sesuai peta negaranya, tiap negara ia letakkan miniatur bandara, seolah-olah suatu saat ia akan tahu di bandara mana saja tempat transitnya untuk mengunjungi beberapa negara.
(Sumber: Unsplash.com) |
***
Lamunan Aiman teralihkan dengan suara isak tangis si bocah, “Maaf… Maafkan Aiman Ayah, Aiman tidak bisa membawa pulang banyak piala dan medali ke rumah, seperti rumah kawan-kawan Aiman yang lain, Aiman cuman bisa serakin lantai dan kotorin dinding dengan mimpi yang tak jelas itu… maafkan Aiman Ayah…” Ucap si bocah sambil bersimpuh pada Ayahnya.
“Nak, Ayah tak pernah memaksa kalian untuk mendapatkan juara kelas. Kami sebagai orang tua hanya selalu mengharapkan kalian untuk terus belajar dan tak pernah putus asa, menang kalah itu biasa tapi komitmen kita dalam memperjuangkan kebaikan, itulah yang luar biasa. Mungkin sekarang Ayah memang tak bisa melihat langsung hasil dari apa yang kalian dapatkan, tapi yang bisa ayah pastikan, suatu saat ketika ruang ini kosong, satu per satu anak ayah kami antarkan ke bandara… Lalu satu tahun berlalu… Dua tahun juga berlalu… Ruangan ini akan sepi, tapi dengan adanya karya-karya indah ini bisa menghibur kembali rasa sepi Ayah. Dengan miniatur-miniatur dan lukisan-lukisan ini, Ayah akan selalu teringat bahwa perjuangan anak Ayah ini tak berhenti setelah mereka menyelesaikan hiasan dinding rumah, tapi perjuangan anak Ayah ini bisa Ayah ceritakan kepada mereka yang suatu saat ia memang hilang arah tujuannya, agar semangat itu bisa kembali lagi.”
Kali ini Aiman benar-benar tertampar, perlahan Aiman sadar dan paham, ini bukan kisah si bocah, melainkan kisah dirinya, dialog tadi adalah rekaman yang pernah ia utarakan dulu pada sang ayah, portal waktu piramida benar-benar membawanya ke masa lalu, bocah santri itu hanyalah wujud dari siapa Aiman sebenarnya.
Air mata Aiman meluncur tanpa izin, ia berjalan menghampiri mereka, lalu duduk memandangi wajah sang Ayah. Aiman benar-benar merasa bersalah, Ayahnya yang di kampung pasti selalu merindukan anaknya yang sedang berjuang menuntut ilmu di negeri impiannya sedari kecil, ia selalu mengharapkan ketika anaknya pulang, Aiman sudah bisa mengajari orang kampung, berceramah di mana-mana.
Tapi Aiman mengkhianati ayahnya sendiri, nyatanya sekarang ia tak tahu harus kemana, waktunya tak pernah berguna, Aiman yang terlalu sombong dengan perjuangannya dulu hingga bisa kuliah di Negeri Kinanah, hingga untuk belajar pun ia merasa tak perlu, ia malas ikut kajian, enggan belajar bersama dengan anak-anak yang levelnya tak setara dengan Aiman, itulah akibatnya sekarang Aiman tak tahu harus kemana karena tak ada yang mengarahkan dirinya, entah itu guru ataupun teman, Aiman yang dulu bukanlah yang sekarang. Aiman menangis pada pangkuan sang Ayah.
Wajah Ayah pun tiba-tiba berubah menjadi sosok anomali yang pertama kali ia jumpai. Iya, siapa lain kalau bukan Pak tua pemandu dunia portalnya.
(Sumber:Unsplash.com) |
“Mulai lah dengan langkah baru dari sekarang, lalu selesaikanlah, negeri ini adalah ruang bagimu agar kau bisa menyelesaikan rajutan impianmu, coba ingat lagi bagaimana perjuanganmu dulu menghafal vocab, membaca kitab, latihan pidato, latihan toung twister hingga lidahmu sariawan. Kini kau lepaskan perjuangan itu tanpa kau ambil hasilnya? RUGI MAN.”
Aiman menyeka air matanya lalu ia tutup matanya, mengingat segalanya. Saat matanya dibuka ia pun bisa menatap kembali piramida Giza, bule yang tadinya meminta foto pada Aiman pun sudah berpindah ke tempat lain, entah kapan mereka ucapkan 'thank you' pada Aiman.
Sekarang Aiman benar-benar ingin memulai lagi kehidupannya, ia akan rangkai satu-satu lagi, menghidupkan lagi rasa cintanya pada impian yang sudah terkubur lama. Tapi sebelum itu Aiman harus makan dulu, sebab dari tadi perutnya kosong.[]
*Penulis merupakan mahasiswi Universitas Al-Azhar, jurusan Ushuluddin.
Editor: Siti Humaira
Posting Komentar