Merayakan Cinta, Merawat Tradisi: Kisah Maulid Nabi dari Masa ke Masa

Oleh: Hanif Maulana*
Sumber (Pinterest)
Diriwayatkan dalam kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad, Syekh Abu Musa al-Zarhuni berkata:

“Aku melihat Nabi Saw. dalam mimpi, lalu aku menyebutkan kepadanya apa yang dikatakan oleh para fuqahā’ tentang membuat jamuan dalam perayaan maulid.”
Maka Nabi Saw. bersabda:
“Barang siapa bergembira karena kami, maka kami pun bergembira karena dia.”

Imam al-Sakhawi (w. 902 H) pernah ditanya tentang maulid, beliau pun menjawab:
“Belum ada penukilan yang menyebutkan bahwa para salafusshalih (tiga generasi pertama) membuat perayaan maulid. Akan tetapi, perayaan ini muncul setelahnya, dan kaum Muslim di berbagai negeri serta kota besar terus merayakan bulan kelahiran Nabi Saw. yang mulia dan agung."

Mereka mengadakan jamuan yang indah, penuh dengan hal-hal yang menggembirakan dan luhur. Mereka bersedekah pada malam-malamnya dengan berbagai bentuk sedekah, menampakkan kegembiraan, dan meningkatkan kebaikan. Bahkan mereka memberi perhatian khusus terhadap pembacaan kisah kelahiran beliau yang mulia, dan tampak pada mereka keberkahan dari segala keutamaan yang melimpah, hingga menjadi sesuatu yang terbukti manfaatnya.”

Imam Syamsuddin Ibn al-Jazari (w. 833 H) berkata:
“Di antara keistimewaannya (maulid) adalah bahwa ia menjadi keamanan sempurna sepanjang tahun itu, dan segala urusan menjadi mudah serta sesuai dengan yang diharapkan.”

Sejarah Awal Perayaan Maulid Nabi

Dari sini muncul pertanyaan: kapan pertama kali maulid Nabi dirayakan? Dan siapa yang pertama kali membuat acara besar-besaran untuk maulid?

Dalam buku Sejarah Perayaan Maulid Nabi karya Muhammad Khalid Tsabit dijelaskan bahwa Dinasti Fatimiyah pernah merayakan maulid Nabi saat mereka menguasai Mesir (362–567 H). Akan tetapi, para sejarawan ketika menyebutkan orang yang pertama kali membuat perayaan maulid secara besar-besaran, sepakat bahwa ia adalah Raja al-Muzaffar Abu Sa‘id Kukuburi (w. 630 H), penguasa kota Erbil, Irak, pada masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.

Barangkali hal ini disebabkan karena tidak adanya titik perbandingan antara perayaan agung Raja al-Muzaffar—yang para sejarawan panjang lebar dalam menggambarkannya—dengan perayaan Fatimiyah yang lebih lemah, sebab perhatian utama mereka tertuju pada peringatan-peringatan Syiah, seperti hari kelahiran khalifah Fatimiyah dan hari penobatannya di atas takhta.

Sebelum Raja al-Muzaffar, ada seorang waliyullah besar di Mosul, Irak, yaitu Syekh Umar al-Malla (w. sekitar 570 H), sahabat dekat Nuruddin Zanki—pemimpin sebelum Shalahuddin al-Ayyubi—yang juga telah mengadakan perayaan maulid.

Abu Syamah al-Maqdisi (w. 665 H) berkata:
“Setiap tahun, ia (Syekh Umar al-Malla) mengadakan sebuah perayaan khusus pada hari-hari kelahiran Rasulullah saw., yang dihadiri oleh penguasa Mosul. Para penyair pun turut hadir dan melantunkan pujian terhadap Rasulullah saw. dalam majelis tersebut.”

Namun, perayaan maulid besar-besaran pertama kali adalah yang dicetuskan oleh Raja al-Muzaffar Abu Sa‘id Kukuburi.


Imam Ibn Khallikan (w. 681 H) dalam kitabnya Wafayāt al-A‘yān mendeskripsikan panjang lebar perayaan maulid yang dilaksanakan oleh Raja al-Muzaffar:
“Adapun perayaannya terhadap Maulid Nabi Saw., maka sungguh gambaran dan deskripsi tak mampu sepenuhnya menjelaskan keagungannya. Namun kami akan menyebutkan sebagian darinya: Penduduk negeri-negeri telah mendengar tentang kuatnya keyakinan dan kecintaan beliau terhadap Nabi Saw. Maka setiap tahun, datanglah kepadanya dari negeri-negeri sekitar Erbil—seperti Baghdad, Mosul, Jazirah, Sinjar, Nisibin, negeri-negeri Ajam, dan wilayah sekitarnya—rombongan besar dari kalangan fuqaha, sufi, para penceramah, qari, dan penyair. Mereka terus berdatangan sejak bulan Muharram hingga awal Rabiulawal.”

Imam Sibth Ibn al-Jauzi (w. 654 H) juga menceritakan:
“Seseorang yang pernah menghadiri perayaan itu pada salah satu tahun menceritakan kepadaku: Aku menghitung di atas meja hidangan terdapat seratus ekor kuda jenis qashlamash, lima ribu kepala panggangan (daging), sepuluh ribu ekor ayam, seratus ribu mangkuk, dan tiga puluh ribu piring berisi makanan manis. Setelah itu, diberikan pakaian kehormatan (khil‘ah) kepada para tokoh dan pembesar negara.”

Tradisi Perayaan Maulid di Aceh

Di Aceh, tradisi perayaan maulid termasuk hal yang unik. Masyarakat Aceh melaksanakan perayaan maulid selama tiga bulan berturut-turut, dimulai dari Rabiulawal (buleun molod), berlanjut ke Rabiulakhir (buleun adoe molod), dan diakhiri pada bulan Jumadilawal (molod seuneulheuh).
Suasana Maulid di Aceh (Kumparan.com)
Menurut situs resmi Dinas Dayah Aceh dinasdayahaceh.acehprov.go.id, tradisi maulid Nabi di Aceh sudah ada sejak era Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh. Dalam surat wasiat Sultan Ali Mughayat Syah yang diterbitkan pada 12 Rabiulawal 913 H (23 Juli 1507), disebutkan bahwa pelaksanaan maulid Nabi dapat menyambung tali silaturahmi antarkampung di Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, tidak diketahui apakah tradisi maulid Nabi saat itu sama seperti kenduri maulid di Aceh saat ini.

Mengutip NU Online, Ketua LPT PWNU Aceh, Tgk. Muhammad Yasir, menjelaskan bahwa perayaan maulid Nabi selama tiga bulan dimulai ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Menurut sejarawan Husaini Ibrahim, perayaan tradisi maulid tiga bulan sudah dilakukan sejak masa Sultan Iskandar Muda, ketika kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat. Ulama-ulama menganjurkan peringatan maulid sampai tiga bulan sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah Saw. sekaligus bentuk syiar Islam.

Perayaan maulid Nabi selama tiga bulan ini sudah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Aceh, yang masih dilaksanakan hingga kini. Panjangnya masa kenduri dimaksudkan agar setiap desa bisa melaksanakannya secara bergiliran. Dengan demikian, ketika satu desa mengadakan perayaan maulid, masyarakat dari desa tetangga bisa datang untuk merayakannya.

Persiapan perayaan maulid di Aceh biasanya didahului dengan rapat kepala desa bersama teungku imum untuk menentukan jadwal kenduri maulid. Lalu dibentuk panitia yang bertugas mengumpulkan dana dari masyarakat.

Beberapa menu khas kenduri maulid di Aceh antara lain:
Bu kulah: nasi dimasak dengan paduan rempah dan dibungkus daun pisang berbentuk kerucut.
Kuah pacri: masakan berbahan buah nanas dengan kuah encer berbumbu rempah, cabai merah, dan daun pandan.
Bulukat: nasi ketan yang diberi kelapa dan dibungkus daun pisang berbentuk limas.
Aneka gulai: seperti gulai kambing, ayam, dan ikan.

Semoga kita diberikan kemudahan dan umur panjang untuk terus memeriahkan hari kelahiran Sang Pelita Dunia, Nabi Mulia Muhammad Saw.

*Penulis merupakan mahasiswa tingkat IV Fakultas Ushuluddin Jurusan Hadist, Universitas Al-Azhar, Kairo

Editor: Muhammad Arief Munandar

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top