Luka yang Dibalut Senyuman
Oleh: Blueira
| (Sumber: Pinterest) |
Kala itu, semburat merah bercampur jingga menghiasi langit perkampungan. Jalanan sepi. Azan magrib terdengar dari pengeras suara yang terpasang di setiap sudut kampung.
“Arini jangan lupa nyalakan lampu templok, Nak!” teriak Ibu dari arah dapur. Mendengar teriakan itu, Arini segera menyalakan lilin dan meletakkannya di beberapa sudut rumah. Di kampung ini aliran listrik sudah masuk, tetapi hanya rumah Arini yang masih mempertahankan tradisi lilin. Bukan karena mereka lebih menyukai lilin, tapi karena mereka terlalu miskin untuk bisa membayar listrik.
Arini bergegas mengambil wudu, kemudian melangsungkan salat Magrib. Dahinya turun menyentuh sajadah di bawah sana, belum selesai bacaannya, terdengar seseorang mendobrak pintu depan dengan paksa. Ibu yang berada di dapur segera bangkit untuk melihat siapa gerangan yang sudah memasuki paksa rumah mereka. Arini terus melanjutkan salatnya walaupun perasaannya gelisah. Tak lama jeritan Ibu memasuki gendang telinganya, ingin sekali rasanya Arini membatalkan salatnya, tapi ia sudah berada di tahiyyat akhir, ia mempercepat bacaannya. Jeritan Ibu semakin keras masuk ke pendengarannya.
Arini menyelesaikan salatnya kemudian buru-buru mencari Ibunya yang masih berjerit, ditambah teriakan laki-laki yang tak dikenal.
“Tolong lepaskan Ibuku!” teriak Arini begitu melihat Ibunya dihantam keras di dinding. Beberapa lelaki lain hanya menonton tanpa mau membantu.
“Di mana ayah Kau?” tanyanya. Arini yang ketika itu berusia tujuh tahun hanya menggeleng lemas, lidahnya kelu. Ia hanya menangis melihat kepala Ibunya yang dihantam keras ke tembok. Di sela-sela bayangan tarian api ia melihat darah segar mengalir di wajah Ibunya.
Ia tak begitu mengerti apa yang dikatakan oleh para lelaki itu, yang ia dengar hanyalah bentakan yang terus diteriakkan di telinga Ibunya. Tak lama Ibunya ditarik paksa keluar rumah, ia ditinggalkan seorang diri di rumah yang hanya disinari lampu teplok. Naluri seorang anak yang melihat Ibunya disiksa, hanya ada satu kata dalam pikirannya. Ikut.
Baca Juga: Dinding Teleportasi
Rumah yang dibangun dari susunan kayu, menyisakan rongga sempit di sela-selanya, memungkin seseorang untuk mengintip lewat celah tersebut. Arini berjingkrak di luar bangunan, matanya nyalang mencari Ibu dari sela kayu. Suara teriakan terdengar dari dalam rumah, tapi itu teriakan yang asing baginya. Arini melihat orang-orang dewasa yang digantung seperti kelelawar, kepalanya ditendang bagaikan bola sepak yang biasanya dimainkan anak-anak di lapangan kampung. Tapi bukan itu yang dicari, matanya terus menjelajah setiap sudut. Dari sudut yang gelap, tampak sang Ibu ditampar keras oleh laki-laki yang berbeda dari sosok yang sebelumnya meneriaki Ibu di rumah.
| (Sumber: Gemini) |
“Jawab pertanyaanku!” Suaranya dalam, tapi serak. “Di mana suamimu?”
Ibu menggeleng keras, “Suami saya di luar pulau, sudah satu tahun tidak ada kabar.” Ibu berusaha menjawab meski tercekat. Ditambah bahasa Indonesianya yang terbatas, membuatnya kesulitan menjelaskan yang sebenarnya. Laki-laki itu tampak tidak puas dengan jawaban Ibu, ia terus bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Hukum dia sampai dia buka mulut,” ucap lelaki yang bertubuh besar kepada beberapa laki-laki di sekitarnya. Mereka semua memakai baju hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, susah sekali untuk membedakannya.
“Siap, Komandan!” jawab mereka kompak.
Kedua tangan dan kaki Ibu Arini mulai diikat, mereka menggantungnya seperti yang lain, persis seperti kelelawar pada malam hari. Sebuah kotak didorong ke arahnya, seseorang menekan beberapa tombol, alat seperti penjepit diarahkan ke dadanya. Jeritan kesakitan tak terelakkan, rasanya seperti disetrum aliran listrik yang bertegangan tinggi, kejadiaan itu dilakukan berkali-kali, pertanyaan yang sama juga diulang berkali-kali, tetapi Ibu Arini hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah, lidahnya sudah tidak bisa digerakkan, bekas setruman di sana masih terasa sakit, hampir seluruh tubuhnya sudah menjadi korban dari penjepit laknat, tempat sensitifnya pun tidak terelakkan dari alat itu.
Arini yang masih berdiri di luar menyaksikan semua penyiksaan itu, air matanya terus membasahi pipinya, ia masih terdiam, tetapi hatinya bergemuruh ingin masuk ke dalam, tapi ia tahu ia hanya seorang anak kecil yang tak punya kendali, jika ia memaksa masuk, nasibnya tak beda jauh dari ibunya, dan itu hanya membuat kesedihan Ibunya bertambah. Ibu Arini yang masih setia dengan jawabannya, kemudian di tarik paksa ke sebuah ruangan, Arini yang melihat itu, bergegas mencari sisi bagian dari ruangan itu, mencari celah kayu di sana. Ibunya dilempar ke sebuah dipan, beberapa lelaki menarik paksa pakaian ibu hingga semuanya hilang dari tubuhnya, ibu menjerit sekuat yang ia bisa, tetapi laki-laki itu hanya tertawa kesenangan, satu persatu dari mereka mulai membuka baju dan mendekati ibu yang menjerit kesetanan di atas dipan, tapi semua itu sia-sia, tangan dan kakinya diikat, ia hanya bisa meronta dan meminta pertolongan di tengah neraka dunia. Kemudian mereka merangkak di atas dipan dan mengukung Ibu.
***
Jari kakinya mulai berkerut diterpa ombak sangking lamanya dia melamun, tiap kali ia merindukan Ibunya, segala memori tentang Ibunya terus berputar bagai kaset rusak, dan selalu ditutup dengan kisah yang memilukan. Itu memori terakhir yang ia miliki tentang Ibunya. Sebelum ia melihat penyiksaan selanjutnya, tangannya ditarik dibawa pergi dari rumah terkutuk itu. Hingga sekarang tak pernah sekalipun ia menginjak kaki di tanah itu lagi.
| (Sumber: Unsplash.com) |
Arini merebahkan kepala di pundak suaminya, semua luka itu ia balut dengan rapi, ia tak mau melupakannya, ia juga tidak mau membencinya, semua itu ia balut dengan sebuah senyuman, senyuman yang ia ciptakan puluhan tahun lamanya.[]
Editor: Siti Humaira
Posting Komentar