Hari Guru; Momen Refleksi Minimnya Kesejahteraan Guru Bangsa

Oleh: Ali Akbar Al-Fata*

(sumber foto: Instagram/1000_guru_medan)

Beberapa hari lalu, rakyat Indonesia baru saja memperingati hari guru nasional. Tentu saja, hal tersebut bukanlah hal yang baru mengingat perayaan serupa dilaksanakan setiap tahun. Berbagai lembaga, instansi, serta perusahaan-perusahaan ikut memperingatinya, karena memanglah jasa guru tiada duanya.

Dalam menata sebuah bangsa, guru merupakan sosok anchor man yang sangat berpengaruh. Guru bertugas membentuk karakter anak-anak yang akan menjadi penopang bangsa di terang gelapnya masa depan.

Mengajar, mendidik, dan melatih adalah sudah menjadi standar kewajiban seorang guru. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, mendidik berarti meneruskan dan membangun nilai-nilai kehidupan, dan melatih berarti mengembangkan keterampilan serta implementasinya dalam kehidupan.

Dalam Islam, guru adalah kemuliaan dan penghormatan itu sendiri. Dalam Al-Quran Allah Swt. telah menitahkan tentang terangkatnya derajat-derajat orang yang berilmu, dan guru merupakan wasilah bagi ilmu itu sendiri serta tangga menuju kemuliaan. Allah berfiman,

“Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian “Luaskanlah tempat duduk“ di dalam majelis-majelis maka luaskanlah (untuk orang lain), maka Allah SWT akan meluaskan untuk kalian, dan apabila dikatakan “berdirilah kalian” maka berdirilah, Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat, Allah maha mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11).

Baca juga: Sikap Penting Dalam Beribadah

Dalam karya monumental Ta’limul Mutallim, Imam Az-Zarnuji secara rinci menjelaskan kemuliaan ilmu, guru dan murid dari berbagai aspek. Salah satu poin yang dijelaskan adalah bahwa kemuliaan atau kegagalan seseorang itu tidak akan terlepas dari pengaruh seorang guru.

 ما وصل من وصل إلا بالحرمة، وما سقط من سقط إلا بترك الحرمة

“Tidaklah berhasil seseorang kecuali dengan penghormatan (Kepada gurunya), dan tidaklah gagal seseorang itu kecuali ia meninggalkan penghormatan (terhadap gurunya)”

Dengan segala kemuliaan tersebut, tentulah para guru berhak mendapatkan hak yang lebih besar dari sekedar apa yang kita lihat sekarang ini. Sebuah ironi apabila kita mengetahui seberapa kecil bangsa kita menghargai jasa guru. Tentu, bentuk penghargaan yang minim tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada satu pihak, Karena pemerintah sudah melakukan beberapa langkah menyikapi hal tersebut. Namun, pemangku kebijakan pendidikan di negara kita harusnya bisa melakukan lebih, mengingat jumlah guru khususnya honorer juga banyak.

Kesejahteraan yang kita bicarakan direpresentasikan melalui upah atau gaji. Rata-rata, gaji guru honorer itu masih dibawah UMK (Upah Minimum Kabupaten), padahal mayoritas mereka merupakan lulusan strata satu (S-1). Lagi-lagi hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat mulianya tanggung jawab dan tugas yang harus guru-guru ini emban.

Momen hari guru yang sudah dilaksanakan 26 kali di negara kita ini belum cukup membuat kesejahteraan mereka meningkat. Di pelosok, guru-guru masih menjerit dengan upah serta infrastruktur pendidikan yang tidak memadai. Tak lupa pula, jumlah peserta didik meningkat pesat yang membuat guru semakin kewalahan.

Baca juga: Ekstrem Kiri dan Kanan

Di sisi lain, suara-suara yang menuntut peningkatan kualitas pendidikan juga muncul, sayangnya lagi, ada yang melemparkan tanggung jawab itu hanya semata kepada para guru. Perlu digarisbawahi bahwa kualitas pendidikan tidak akan jauh meningkat apabila para guru belum mendapatkan cukup kesejahteraan, baik dari sisi upah maupun fasilitas mengajar. Boro-boro ingin meningkatkan kualitas, perut saja harus menahan lapar, sesimpel itu.

Kalimat-kalimat seperti “guru harus ikhlas” baiknya tidak lagi menjadi alasan. Keikhlasan adalah satu hal, upah adalah hal lain. Jangan menunggangi kebaikan-kebaikan seperti rasa ikhlas untuk menjadi pembenaran.

Berharap pada pemangku kebijakan sepertinya bukan hal baik untuk dilakukan, bukan tidak optimis, kita juga menghargai langkah-langkah pemerintah, hanya saja semuanya berjalan begitu lambat karena satu dan lain hal, sehingga kita perlu bergerak sendiri. Memulai dari sendiri, meskipun sangat mainstream, tapi mau tak mau harus menjadi jawaban terdekat yang mampu kita lakukan.

Murid dan orang tuanya lah yang bahu membahu membantu guru-guru kita yang kesusahan, perlakukanlah guru yang mengajarkan anak, adik, atau saudara kita sebagai keluarga, bukan malah disalahkan karena menurut kita keliru dalam mendidik anak-anak. Sudah cukup ketidaksejahteraan yang membunuh guru-guru kita, jangan tambah lagi kesulitan yang mereka alami.

Penghargaan dan penghormatan kepada guru tidak boleh berhenti di status, caption, serta berbagai bentuk retorika yang hanya sekedar teori tersebut. Semua pihak harus sama-sama saling mengingatkan untuk memberikan bantuan yang nyata. Sehingga, Guru pun bisa mendidik dengan tenang serta dapat menghasilkan putra putri terbaik.

Di masa depan nanti, murid yang menjadi cahaya penerang agama dan bangsa akan menuntun orang-orang pada kebenaran, di sisi lain, ada sosok yang tersenyum bangga, sosok pahlawan tanpa tanda jasa, sosok guru.[]


*Penulis merupakan mahasiswa fakultas ushuluddin universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Editor: Teuku Rizki Maulana Utama

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top